Mohon tunggu...
RAUF NURYAMA
RAUF NURYAMA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Masalah Media, Sosial, Ekonomi dan Politik.

Sekjen Forum UMKM Digital Kreatif Indonesia (FUDIKI); Volunteer Kampung UKM Digital Indonesia; Redaktur : tinewss.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Budi Itu Sangat Jahat

14 Februari 2015   07:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:12 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba istriku bilang seperti demikian, "Budi itu sangat Jahat". Kenapah...?

Ceritanya begini:

Kebetulan kami sedang diskusi tentang pekerjaan yang sedang dijalankan bersama dengan mitra-mitra kerja. Usaha pribadi ini, menjadi bisnis keluarga. Manajemen keluarga, akhirnya lebih kental. Ass profesional, kami coba melakukannya. Ketika berbicara keluarga, saya sebagai Suami, dan tentunya Istri tercinta sebagai Istri. Tapi ketika berbicara sebagai pimpinan di perusahaan, kami sebagai partner. Sebagai partner, bersama dengan istri adalah pilihan saya bersama dia. Beberapa orang sukses bersama istri mereka mengelola bisnis dan pekerjaannya. Contoh: Mario Teguh dan Ibu Lina, atau Kompasianer Pak Tjiptadinata Effendi bersama Istrinya juga. Semoga ke depan saya pun sukses bersama dengan istri. hehehe...

Kembali ke topik,

Salah satu mitra bisnis kami, memberikan bantuan yang sangat membantu kami dalam menjalankan usaha yang sedang kami geluti. Dan itu saya pikir wajar. Namun kebaikannya dia ini yang membuat kami agak sulit menolak ketika dia minta tolong untuk membantu pekerjaannya. Kebaikan ini pulalah yang membuat kami menjadi tidak lagi berhitung untung dan rugi. Bahkan, pernah kami relakan waktu dan tenaga serta pikiran untuk membantunya, walaupun akhirnya kebaikannya tidak pernah dapat kami kembalikan.

Apakah mungkin seseorang berlaku baik, untuk mendapatkan bantuan? Ya bisa jadi. Tapi ketika kita berbuat baik dengan orang lain, maka sebaiknya biarkan Tuhan yang membalas kebaikannya dia. Tidak mesti dari diri kita. Begitu pun sebaliknya, jika kita berbuat baik sama orang, jangan berharap orang itu memberikan hal yang sama kepada kita, karena itu tidak mungkin.

Orangtua, adalah contoh yang paling berharga. Dia memberikan yang terbaik untuk anaknya. Apakah si anak, bisa memberikan balasan atas kebaikannya. Tidaklah mungkin. Demikian akhirnya kami memutuskan, agar tetap berbuat baik, tapi tidak mengorbankan yang lainnya.

Kalau kita punya Hutang. Hutang uang, hutang kekayaan, hutang makanan, hutang janji. Masih bisa kita membayarnya dengan menepati janji, membayarnya, bahkan bisa dengan melakukan cicilan. Tetapi Hutang Budi, susah sekali membalasnya.

Sampai-sampai, karena namanya sama-sama Budi, kami bicara agak nyerempet kepada Calon Kapolri. Budi Gunawan, dan Budi Waseso. Ada pertanyaan yang sangat mendalam dari istri saya, "Apakah Budi Gunawan, sudah memberikan kebaikan kepada Pak Jokowi, sehingga Pak Jokowi harus berbuat kebaikan yang sama? Ketika Pak Jokowi naik pangkat dari Gubernur menjadi Presiden, apakah kebaikan dari Pak Budi? (Sekedar catatan yang sangat ketara adalah saat Budi Gunawan menjadi saksi pada saat sidang di MK, terkait kasus pertemuan dengan Tim dari PDIP sewaktu Debat Capres). Dan akhirnya, MK memutuskan Jokowi sebagai Pemenang, karena pertemuan tersebut "tidak disengaja". Mungkinkah kebaikan Budi ini, yang membuat Jokowi memberikan hal serupa berupa kenaikan Pangkat dari Komjen menjadi Jen. Dari Pati menjadi Kapolri. Halah... pikiran sesat yang sudah diketahui umum....

Lalu bagaimana dengan Budi Waseso, Mungkinkah karena kebaikan Budi Waseso membela Budi Gunawan dengan Melawan KPK juga sebagai bentuk Balas budi dari Budi Gunawan kepada Budi Waseso, sehingga Naik Pangkat menjadi Komjen dan menjadi Kabareskrim? Tentunya, tidak. Tidak hanya itu. Karena prestasi Budi Waseso juga cukup bagus. Keberanian dia menjebloskan Mantan Kabareskrim Susno Duadji, ke Penjara konon katanya karena keberanian dia juga. Banyak pula prestasinya. Itu katanya....

Lalu, apakah karena politik balas budi ini pulalah yang membuat Jokowi tidak berani mengambil keputusan segera terkait pengangkatan Budi Gunawan menjadi Kapolri? Malam tadi, DPR Mendesak untuk segera melantik Jokowi, karena pertimbangan Hukum. Demikian Wakil Ketua DPR Fachry Hamzah menyampaikan di TV One. Apakah DPR punya hutang yang sama ke Budi, atau sedang memberikan Budi (baca: kebaikan) kepada Budi Gunawan? Agar suatu hari Budi Gunawan harus membalasnya Budi tersebut dengan masa depan anggota DPR?

Sungguh sebuah ironi. Jika Politik Balas Budi, menjadi Komoditi. Budi dalam arti kebaikan, bukan berarti harus dibalas dengan kebaikan yang sama. Dengan tidak mengangkat dan mengajukan Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri, mungkin nama beliau tidak akan seperti ini dan tidak akan jadi tersangka oleh KPK. Namun jika Budi (baca: kebalikan dari kebaikan) seperti halnya KPK yang selama ini sering mengusik para Koruptor yang notabene kebanyakan para Politikus, maka KPK sudah membuat Budi tidak baik. KPK wajar tidak ada yang membela dari Pihak DPR. Coba bayangkan. PPP Ketua Umumnya dijadikan Tersangka. Partai Demokrat, Ketua Umumnya dijadikan tersangka. PKS, Presidennya dijadikan Tersangka. Golkar, Banyak pengurusnya dijadikan Tersangka. Denger-denger, Orang KPK melakukan perbuatan baik kepada kader PDIP, agar hukumannya diringankan. Konon karena ini pula, maka dia menuntut untuk balas budi dengan mencalonkan menjadi Capresnya Capres PDIP. Namun karena, Budi dibalas dengan Tuba. Akhirnya KPK membalas Tuba dengan Tuba. Yang akhirnya rusak susu sebelanga. KPK menjadi Rusak. Rusak, karena ulah sendiri. Rusak karena orang dalamnya membocorkan rahasia, bahwa untuk menetapkan tersangka seseorang, terkadang sesuai pesanan. Rusak karena pernah memberikan status tersangka, padahal dua alat bukti belum tersedia. Rusak karena Pesanan untuk menghutangkan Budi kepada yang lainnya.

Semoga Presiden Kita saat ini, bisa bekerja dengan maksimal untuk kepentingan Rakyat. Karena seberapa besarnya pun, Presiden punya Hutang Budi ke Partai, Ke Konglomerat yang mendanai kampanye, ke Pers yang memberitakan beliau secara membabi buta, satu-satunya syarat menjadi Presiden adalah Jumlah pendukung yang melebihi 50% Plus 1. Artinya jika kita membandingkan hutang budinya pak Jokowi kepada Budi Gunawan, Megawati, Surya Paloh, Parpol pendukung, dan siapapun orang-orang besar disana. Tidak lebih besar hutang budinya Jokowi kepada Rakyat yang memilihnya.

Pernyataan ini saya sampaikan, jika memang benar Jokowi punya Hutang Budi. Lah kalau tidak, kenapa Ragu?

Pesan moral yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah Marilah kita berbuat kebaikan untuk mendapatkan kebaikan. Berbuat baik kepada orang tertentu, jangan pernah berharap mendapatkan sesuatu dari orang tersebut. Karena membantu membuat orang lain itu biarlah Tuhan yang akan membalasnya. Baik, bukan berarti kita memberikan Hutang yang setiap saat harus dibayar oleh mereka.

Jangan sampai, Hutang Budi itu menjadi sesuatu yang sangat Jahat. Karena dia bisa mengorbankan segala sesuatu, bahkan sampai Lupa, bahwa masih banyak yang harus dipikirkan dan diperhatikan. Bukan hanya masalah Budi.

Salam kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun