Mohon tunggu...
Raudhatul Ilmi
Raudhatul Ilmi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer & Script Writer

Jangan Pernah Protes pada Proses

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Toleransi dan 3 Tahapan Pensyariatan Ibadah Puasa

23 Maret 2023   10:32 Diperbarui: 23 Maret 2023   10:49 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi puasa/istock

Akhir akhir ini saya tidak terlalu memperhatikan tanggal merah di kalender. Sehingga saya mengira kemarin adalah hari libur menjelang ramadhan. Namun setelah saya melihak topik pilihan dikompasiana ternyata tanggal 22 juga perayaan bagi agama lain yakni Nyepi.

Pantas saja kemarin saya banyak melihat kompasianer menulis tema terkait toleransi antar beragama.

Toleransi antar agama memang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan kita agar adanya saling menghormati dengan perbedaan yang ada apalagi Indonesia memiliki agama lebih dari satu.

Ngomongin saling menghormati dan toleransi sebenarnya juga sudah tercantum dalam UUD pasal 29 ayat 2 yakni "Setiap warga negara berhak memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan  kepercayaannya masing-masing"

Bahkan pasal 29 ini adalah salah satu pasal yang wajib dihafal ketika saya masih sekolah dulu. Itu artinya instansi pendidikan sangat menghargai nilai toleransi.

Namun disekitar saya yakni di Aceh sangat sulit menemukan orang yang beragam hindu maka saya hanya ingin menyampaikan rasa toleransi lewat artikel ini.

Selain itu saya juga ingin sedikit berbagi ilmu tentang Ramadhan sesuai dengan apa yang saya pelajari didalam agama saya. Bulan ramadhan identik dengan pensyariatan ibadah puasa.

Ibadah puasa termasuk salah satu rukun Islam. Pensyariatan ibadah puasa sudah dimulai pada tahun ke-2 Hijriah. namun ternyata syariat puasa tidak langsung seperti yang kita lakukan saat ini.

Berdasarkan kajian bab puasa yang pernah saya pelajari dalam kitab Bulughul maram, ternyata penyariatan puasa itu dibagi kedalam 3 tahapan yakni:

Ilustrasi puasa/istock
Ilustrasi puasa/istock
1. Puasa hanya sebagai pilihan

Jika disebutkan hidup itu pilihan maka dipastikan didalam hidup ini kita bebas untuk memilih untuk melakukan ataupun meninggalkan sesuatu. Begitupun dalam hal puasa.

Pada periode pertama tersebut puasa itu hanya sebatas anjuran. Ibarat kata jika mau puasa silahkan jika tidak mau yasudahlah anda boleh cuma bayar fidyah saja tidak peduli anda itu musafir atau menetap, sehat ataupun sakit.

2. Puasa dimulai dari waktu tidur

Pada periode kedua syariat puasa, ibadah puasa dimulai sejak tidur malam hari sampai terbenamnya matahari keesokkan harinya.

Jika kita tidur jam 10 malam maka otomatis kita dianggap sudah mulai berpuasa. Dan tidak boleh lagi melakukam hal hal yang bisa membatalkan puasa seperti makan, minum dan berhubungan intim dengan Istri.

Namun syariat yang seperti itu memberatkan para shahabat kala itu. Yang mana ada salah seorang yang bekerja seharian lalu karna kelelahan ia ketiduran dan tidak makan sebelum tidur.

Karna sudah tidur otomatis dia dianggap sudah berpuasa dan keesokkan harinya shahabat tersebut pun menjadi lemah dan tak bertenaga dan melaporkan apa yang dialaminya kepada Rasululah.

Begitupun yang terjadi pada Umar Bin Khattab yang justru berhubungan intim dengan istrinya saat tidur sehingga puasa pun otomatis menjadi batal dan ia pun melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah.

Dan juga banyak laporan dan keluhan yang didapatkan oleh Rasululah dari para shahabat. Sehingga turunlah surah Albaqarah ayat 187 untuk menyempurnakan syariat puasa.

3. Disyariatkannnya Sahur

Pensyariatan sahur baru ada diperiode ketiga ini untuk memudahkan manusia melaksanakan ibadah puasa beriringan dengan turun ayat 187 Albaqarah tadi.

Seperti kita ketahui bersama jika sebelumnya waktu puasa dimulai saat waktu tidur maka sekarang dimulai saat terbit fajar sampai terbenamnya matahari serta membolehkan para suami istri tetap bisa berhubungan intim di bulan Ramadhan yakni  dimalam hari saja.

Selain itu bagi otang yang sakit ataupun dalam perjalanan serta dalam kondisi hamil dan melahirkan masih diberikan keringan jika tidak mampu berpuasa masih bisa menggantikan dihari yang lain. Namun jika dalam keadaan tersebut masih mampu puasa maka lebih baik puasa saja.

Hal ini menunjukkan bahwa walaupun Allah mensyariatkan amalan tertentu bagi hamba-Nya namun didalamnya ada keringanan yang mengikuti tujuannya bukan untuk membebani melainkan menjadikan manusia lebih bertaqwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun