Mohon tunggu...
La Ode Muh Rauda AU Manarfa
La Ode Muh Rauda AU Manarfa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sosiologi Universitas Dayanu Ikhsanuddin

Seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh, mencari sesuatu untuk dibawa pulang kembali. Selama perjalanan mengumpulkan pecahan-pecahan pengalaman yang mungkin akan berguna suatu saat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Resensi Buku: Adat Dalam Politik Indonesia

10 April 2015   13:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum adat memiliki daya pikat estetisme dengan unsur ekapisme dan mistisisme, sebagaimana yang diapresiasikan oleh Van Vollenhoven pada tahun 1932 ketika berkunjung ke Sekolah Hukum Batavia Rechtshogeschool dalam sesi kuliahnya yang berjudul Puisi dalam Hukum Hindia. Bagi Van Vollenhoven adat adalah aturan-aturan tradisional tentang perilaku yang menginspirasi yang dijalankan oleh sebuah tata kosmis yang tidak kasat mata serta mengandung nilai romantisasi adat. Van Vollenhoven membuka mata orang Indonesia untuk melihat adat dengan mata kalangan pribumi sendiri dengan berupaya melepaskan kulit putih yang hendak dipakainya.

Pada tahun 1990-an muncul anggapan bahwa persoalan lingkungan yang mulai diketahui saat itu dapat terselesaikan jika dilakukan desentralisasi pengelolaan sumber daya alam bersama dengan komunitas-komunitas adat, yang hal ini semakin didukung dengan semakin populernya anggapan pemahaman gagasan tentang kearifan lokal yang berasal dari masyarakat adat tentang lingkungan hidup. Semua ini didasari oleh adanya kenyataan bahwa masyarakat adat adalah pihak yang secara realistis paling mengetahui tentang alam yang mereka tempati namun hendak digerus oleh perusahaan untuk kepentingan komoditisasi, dan melibatkan mereka akan menghilangkan permasalahan-permasalahan lingkungan yang timbul karena mereka yang paling tahu seluk beluknya.

Masyarakat adat sebagai pihak yang diperkirakan akan menjaga lingkungannya dari kerusakan pada akhirnya ikut serta dalam proses menuju ketidaksesuaian kearifan lokal yang telah lama dilestarikannya, seperti yang terjadi di Taman Nasional Lore Lindu, ketika masyarakat adat diberikan keleluasaan untuk berkebun di areal Taman Nasional malah menanaminya dengan tanaman Kakao yang memiliki nilai jual tinggi, yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai bagian dari korporasi besar yang hendak membuka akses lahan dalam rangka proses komoditisasi lahan-lahan yang masuk dalam kawasan terlindungi. Juga oleh masyarakat adat di Kalimantan, yang karena menilai diri tidak memiliki daya yang dapat menghasilkan perubahan untuk menghentikan kerusakan lingkungan sehingga dengan pasrah terpaksa ikut serta dalm proses pengrusakan lingkungannya sendiri yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Tulisan dalam buku ini sebenarnya secara tidak langsung juga hendak menyatakan bahwa kemunculan adat dalam satu dasawarsa terakhir lebih mirip sebagai berdirinya negara dalam negara yang dilindungi, karena hukum yang diterapkan lebih menyelesaikan persoalan tanpa harus melibatkan institusi negara. Dalam perkembangannya, adat menjadi jalan penyelesaian sengketa, jalur pengelolaan sumber daya yang selain melibatkan penerapan norma dan nilai juga hierarki kekuasaan yang ada pada daerah setempat.

Hukum di Nusantara pada masa kolonial diterapkan dalam sistem dualistik yaitu hukum Eropa bagi orang-orang Eropa dan hukum pribumi bagi orang-orang pribumi. Selain itu pula hukum yang berlainan diterapkan bagi yang menerimanya secara sukarela seperti yang berlaku pada perkawinan campur. Pada awal abad ke-20 di Belanda muncul perdebatan untuk menyatukan hukum Eropa dan hukum pribumi menjadi satu hukum saja, hingga kemudian dimenangkan oleh hukum pribumi atau hukum adat dengan pendengungnya Cornelis Van Vollenhoven. Sebenarnya istilah hukum adat pertama kali diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjehers yang berarti Orang Aceh terbitan tahun 1893, yang didalamnya memuat hal ihwal orang Aceh termasuk hukum adatnya, hal ini merupakan penggambaran pertama kali mengenai hukum adat dalam literatur Belanda. Van Vollenhoven sendiri sebenarnya belajar hukum adat dari bumi nusantara dalam dua kali kedatangannya di Nusantara setelah diangkat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Hukum Adat di Universitas Leiden. Kajiannya mengenai hukum adat turut ditularkannya kepada murid-murid hingga tergambar pada karya disertasinya masing-masing.

Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya selalu dipengaruhi oleh orang-orangnya sendiri untuk menerapkan hukum yang seragam di Nusantara, tetapi dasar pertimbangan untuk tetap konsisten menerapkan dualitas hukum adalah hukum Eropa lebih didasarkan atas agama Nasrani sedangkan hukum pribumi utamanya didasarkan pada hukum Islam. Juga pertimbangan apabila hukum adat dihapuskan maka akan menimbulkan pemberontakan besar-besaran dari kalangan pribumi karena sesuatu yang sangat dihargai tidak dihargai oleh pihak kolonial. Pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda berupaya menguasai bahasa Jawa sebagai jalan untuk memahami hukum adat pribumi di Jawa dalam rangka memuluskan urusan-urusan kolonial di tanah Jawa, hingga akhirnya mendorong para akademisi dari Belanda untuk mengadakan penelitian dan pencatatan mengenai adat di Nusantara.

Hukum adat dalam pandangan praktisi hukum Belanda mendapat apresiasi yang berbeda. Karena ia didasarkan pada hukum yang tidak tertulis tetapi atas apa yang dikatakan oleh para pemimpin adat. Oleh Van Vollenhoven hukum adat di Nusantara dibagi dalam 19 lingkaran hukum, menjadi sebuah kegeraman bagi para praktisi hukum yang dididik dalam hukum napolenik yang sentralistik. Sebenarnya di Belanda sendiri pernah mengalami penggatian hukum dari Hukumnya sendiri ke hukum Perancis yang dibawa oleh Napoleon lalu kemudian beralih lagi ke Hukum Belanda tetapi masih mendapat warna dari hukum Perancis. Dalam perjalanannya, penyatuan hukum adat ke dalam hukum Belanda lebih diapresiasi pada hukum perdata dan hukum dagang, karena pada areal yang lain lebih sensitif yang didasari oleh perbedaan latar belakang masing-masing pihak. Hukum Belanda sebenarnya lebih diapresiasikan pada hal-hal yang bersifat umum saja, sedangkan yang khusus diarahkan kepada hukum asal pribumi. Penerapan hukum Belanda yang kental dengan kekristenannya sebenarnya mengalami dilematis di Nusantara, hal ini nampak jelas ketika ada pribumi yang memeluk agama kristen tetapi harus bekerja di hari raya kristen namun libur di hari raya muslim karena kebiasaan dan pola kehidupan muslim telah begitu mewarnai keseharian, hal ini merupakan masa yang paling gelap dalam sejarah kristen yang pernah diketahui Belanda.

Pada tahun 1919 lahir undang-undang yang memuat ketentuan bahwa hukum perdata dan publik harus diatur dengan peraturan pemerintah yang menyiratkan bahwa hukum adat harus dikodifikasi yang juga berarti bahwa hukum adat diakui keberadaannya. Van Vollenhoven walaupun berasal dari Belanda tetapi ia merupakan sedikit orang yang bersimpati dan berjuang untuk masyarakat Nusantara untuk mendapatkan haknya atas tanahnya sendiri dengan melawan kebijakan Hindia Belanda yang berupaya mengundangkan hukum dengan isi yang nantinya mengesahkan pengambil alihan tanah-tanah pribumi, dan membuat rancangan undang-undang Orang Indonesia dan Tanahnya walau pada akhirnya ditarik oleh Hindia Belanda melalui Menteri Daerah Jajahan. Upaya lain yang dilakukan oleh Van Vollenhoven adalah dengan menyusun Undang-Undang Hukum Adat Indonesia yang diharapkannya menjadi panduan bagi hakim dalam memutus perkara lintas wilayah hukum adat dengan melihat generalitas hukum yang bersilangan satu sama lainnya. Kodifikasi hukum ini sebenarnya masih mengalami banyak kekurangan, yang dikarenakan begitu banyaknya hal-hal yang harus dimasukan tetapi gagal untuk digeneralisasikan oleh Van Vollenhoven karena ketidakmampuan para penegak hukum adat sendiri dalam menyajikan pilihan-pilihan solusi adat. Pilihan hukum bagi Indonesia ketika merdeka adalah hukum barat dan meniadakan hukum adat (dalam urusan rumah tangga dipakai hukum Islam bagi para penganutnya). Kenyataan bahwa orang Belanda begitu perhatian terhadap hukum Adat lebih dari orang Indonesia sendiri begitu nyata, dan hal ini tidak terbendung perbandingannya pada masa sekarang ini di mana hukum adat terus terpuruk dan menjalani kondisinya yang tinggal dalam kenangan walau secara spesifik masih diakui sebagai salah satu sumber berhukum di Indonesia.

Kritik

Para penulis dalam buku ini nampaknya hendak menyampaikan pesan bahwa adat adalah sesuatu yang telah usang, yang dengan berupaya menerapkannya maka hanya akan menampakan kebodohan karena selalu memberikan realitas kekacauan masyarakat, yang itu semua disebabkan oleh telah terbiasanya masyarakat dengan pola kehidupan saat ini.

Penulis asing dalam buku ini terjebak dalam pemahaman yang keliru mengenai penamaan Indonesia. Indonesia pada masa kolonialisme belum lahir, bahkan ketika Indonesia diproklamasikan wilayah seperti yang kita ketahui pada hari ini, benar-benar belum utuh karena masing-masing wilayah masih merupakan negara kerajaan dan kesultanan yang dikuasai oleh para Raja dan Sultan, yang kedaulatannya baru diberikan kepada presiden Sukarno lebih dari lima tahun setelah proklamasi. Penyebutan yang lebih tepat untuk Indonesia pada masa lalu adalah Nusantara.

Pandangan bahwa hukum adat yang banyak di Nusantara adalah sesuatu yang menyedihkan nampaknya hendak mengarahkan pemahaman tentang kesemrawutan hukum adat, padahal sesuatu yang berbeda atas hal tersebut adalah pada masa lampau Nusantara terdiri dari banyak negara dengan bentuk Kerajaan dan Kesultanan, yang sama berdaulatnya dengan negara moderen pada hari ini yang juga memiliki perbedaan dalam hal hukum di negara masing-masing. Bagi pereview, penulis buku ini gagal paham akan kenyataan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun