Mohon tunggu...
La Ode Muh Rauda AU Manarfa
La Ode Muh Rauda AU Manarfa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sosiologi Universitas Dayanu Ikhsanuddin

Seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh, mencari sesuatu untuk dibawa pulang kembali. Selama perjalanan mengumpulkan pecahan-pecahan pengalaman yang mungkin akan berguna suatu saat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Resensi Buku: Adat Dalam Politik Indonesia

10 April 2015   13:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disepakati bahwa gerakan masyarakat adat seringkali dipandang sebagai kelanjutan dari tradisi anti imperialisme. Gerakan-gerakan serupa sebenarnya mulai bermunculan di seluruh dunia dalam isu dan paham yang berbeda tetapi masih dalam satu fokus yang sama yakni anti terhadap segala sesuatu yang menyengsarakan kehidupan masyarakat banyak, hingga mendorong terbentuknya penggolongan sebagai masyarakat dunia keempat.

Disinggung adanya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Institut of Dayakology Research and Development (IDRD), Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai lembaga yang konsen memperhatikan masyarakat adat di wilayah binaannya. Pada masa orde baru masyarakat adat yang belum menyatakan memeluk satu dari Lima agama resmi pemerintah sebenarnya berada di bawah ancaman sebagai komunis. Hal ini terjadi karena penerapan Sila Pertama dari Pancasila-lah yang salah kaprah. Juga diceritakan bagaimana pemerintah dengan dalih kepentingan nasional mengambil alih tanah masyarakat secara paksa, dan hal tersebut merugikan karena masyarkat kehilangan tanah tempatnya menyandarkan hidup (kasus di Sumatera Barat). Pada contoh kasus di Bali, masyarakat setempat menerapkan resistensi yang tinggi dengan kehadiran orang luar yang hendak masuk memiliki tanah di sana, karena Bali berupaya menjaga kemurnian adatnya, menjaga stabilnya persaingan usaha dengan kontestan yang hanya berasal dari Bali saja.

Henley dan Davidson mengemukakan bahwa adat dalam konteks modern bermakna tradisi-tradisi warisan yang bersifat lokal, sebagai sebuah wacana pan-Indonesia yang menghubungkan sejarah, tanah, dan hukum, yang sebagian lagi mengarah ke ideologi politik yang terikat dalam otentisitas, komunitas, ketertiban, dan keadilan.

Pertanyaan yang selanjutnya akan dibahas dalam buku ini pada bab-bab selanjutnya adalah seperti apa asal muasal dari kegairahan atau antusiasme pada waktu belakangan ini di Indonesia untuk kembali ke Adat? Apa yang memberi adat sebagai sebuah alasan politis, kemampuan untuk menarik dan memobilisasi dukungan? Dan mengapa mobilisasi itu bisa terjadi sekarang ini. Berkembang cepat dalam suatu pemekaran aliran tradisionalisme dan paham indigenisme yang mendadak muncuk setelah era Soeharto? Serta, apakah kecenderungan yang bersifat memisah-misahkan dan tidak toleran dari gerakan justru akan mengatasi kemampuannya untuk membela kaum terpinggir, memulihkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan, dan meletakan landasan bagi stabilitas dalam masa-masa perubahan sekarang ini?

Pada negara-negara berkembang, masyarakat adat dinilai sebagai kelanjutan perjuangandari gerakan anti imperialisme pada tingkat sub nasional. Sedangkan pada negara-negara maju masyarakat adat menamai dirinya sebagai masyarakat dunia keempat atau tribalpeoples (dunia pertama didominasi oleh negara-negara maju di eropa yang menganut ideologi kapitalisme, dunia kedua didominasi oleh negara-negara di eropa dan sebagian di timur yang menganut ideologi sosialisme, dan dunia ketiga adalah negara-negara berkembang yang tersebar di berbagai penjuru bumi). Pada kenyataannya, masyarakat adat ini adalah merupakan penduduk yang pertama kali memiliki daerah yang didiaminya, yang dalam perjalanannya ia terpinggirkan, tersisihkan, dan tidak mendapat tempat sebagaimana kehidupannya dulu yang bersahaja.

Penulis dalam buku ini nampaknya hanya menilai gerakan masyarakat di luar Indonesia khususnya pada negara-negara yang menganut kapitalisme sebagai pemberi pengaruh dari luar bagi terbentuknya gerakan-gerakan serupa di Indonesia, bisa jadi serupa tetapi tidak sama asal inspirasinya. Masyarakat adat di Indonesia tidak lebih up date terhadap informasi jika dibandingkan dengan masyarakat kota, dan lagi tidak memiliki hubungan yang kuat untuk taat mengikuti atau sebagai salah satu kartu domino gulir berantai atas gerakan-gerakan yang dilakukan. Dengan seringnya penulis menempatkan nama AMAN sebagai simbol dari masyarakat adat di Indonesia, pereview menilai adat yang dimaksud dalam pembahasan bab ini lebih dimaknai ke arah gerakan memperjuangkan hak-hak yang yang selama ini direbut oleh penguasa.

Adat pada masa orde baru lebih diinterpretasikan sebagai sarana pelestarian kesenian nusantara, yang diharapkan memiliki nilai komoditas yang dapat menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi dari bidang pariwisata. Hal ini diintensifkan dengan dibangunnya wahana rumah adat tradisional di Taman Mini Indonesia Indah. Adat juga dipakai sebagaitools dalam memberangus ideologi komunisme, khususnya di Sumatera Barat hingga menginisiasi lahirnya LKAAM. Adat dalam interpretasi dari Sila Pertama Pancasila, tidak dapat hidup dalam diri yang secara turun temurun telah mentradisi meyakini kekuatan gaib namun tidak beragama pada 5 agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintahan Soeharto, sehingga keberadaannya diberangus, di sisi lain dipandang memiliki kerentanan yang tinggi dari pengaruh ide-ide komunisme.

Masyarakat adat juga terjajah secara teritori, karena kurangnya pembuktian verbal akan sahnya lahan yang dimilikinya sehingga dapat dengan mudah diklaim oleh pemerintah sebagai tanah negara dan digunakan sebagai pemukiman dan lahan pertanian transmigran dari Jawa dan Bali, yang hal ini gencar terjadi para era orde baru. Dalam pendahuluan buku ini terdapat ketentuan hukum yang menarik, hasil warisan dari Sukarno mengenai UUPA tahun 1960-an, bahwa semua tanah dapat dialihkan status kepemilikannya apabila berbenturan dengan kepentingan nasional. Dasar pembuatan klausul ini sebenarnya diniatkan untuk kebaikan dalam rangka proses reformasi agraria, namun itu hanya berlaku dengan syarat diri pribadi yang jujur dan terpercayalah yang menjadi penguasa, tetapi berbalik menjadi bencana manakala dari sosok yang zalim yang menjalankan UUPA tersebut, sangat dikhawatirkan akan menyalahgunakan aturan dimaksud hingga menyengsarakan rakyat kecil.

Masyarakat adat tidak selalu menyambut pembangunan dengan muka yang ceria bahkan dianggap sebagai perebut lahan pencarian nafkah. Dalam contoh kasus di Bali, pendatang dari luar sangat dibenci karena akan mengurangi kesempatan masyarakat asli Bali untuk berusaha di daerah sendiri. Walaupun demikian dalam beberapa kejadian, masyarakat tidak begitu berdaya ketika penguasa elit nasional yang menjadi pendatang menancapkan investasinya sekalipun sangat menyinggung perasaan masyarakat Bali. Hal hampir serupa juga terjadi di Sumatra Barat (Minangkabau). Dalam perjalanannya, pengambilalihan lahan secara paksa oleh pemerintah mendapat tantangan dari masyarakat yang tentunya diorganisir oleh LSM seperti WALHI dan LBH, secara spesifik terjadi di daratan Sulawesi.

Dalam kacamata para penulis asing ini, adat pada masa reformasi adalah sangat berpeluang untuk dibangkitkan karena menjadi jalan dalam membereskan ketidakadilan yang terjadi pada masa lampau juga sebagai pengaman atas posisi-posisi yang menguntungkan dalam perebutan kekuasaan di daerah. Pada masa akhir dari puncak reformasi, AMAN terbentuk melalui kongres yang mengklaim dihadiri oleh utusan masyarakat adat dari Aceh hingga Papua, dan dengan pernyataan yang provokatif organisasi ini diperkenalkan secara fenomenal.

Penulis pula mengemukakan bagaimana masyarakat adat di Bali merasa memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk memaksa pihak developer mengembalikan tanah adat yang dikeruk, yang masuk dalam kawasan adat terjaga. Juga fenomena kelompok Islam yang secara aktif selalu memberikan label tidak sejalan dengan ajaran agama terhadap kelompok Islam lainnya di Flores, yang menganut Wetu Telu sebagai sinkretisme tradisional Islam dengan kekerasan yang didukung oleh aparat militer. Dalam scoup yang terbatas di Sumatera Barat, adat dipandang sebagai sesuatu yang sekuler daripada pelengkap bagi kehidupan Islam di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun