Mohon tunggu...
La Ode Muh Rauda AU Manarfa
La Ode Muh Rauda AU Manarfa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sosiologi Universitas Dayanu Ikhsanuddin

Seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh, mencari sesuatu untuk dibawa pulang kembali. Selama perjalanan mengumpulkan pecahan-pecahan pengalaman yang mungkin akan berguna suatu saat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Resensi Buku: Adat Dalam Politik Indonesia

10 April 2015   13:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat adat Papua mendapatkan keberhasilan dengan menekan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang istimewa hingga menghasilkan Otonomi Khusus (OTSUS) bagi Papua. Walaupun sebenarnya otonomi ini tidak lepas pengaruhnya dari ancaman disintegrasi bangsa, tetapi karena pentingnya nilai Papua maka ancaman tersebut diganjar melalui OTSUS dengan harapan agar tidak pernah terjadi.

Dalam pandangan Davidson, kebangkitan adat pada tahun 1998 bukan dipicu karena kegagalan negara dalam menghormati hak-hak adat tetapi oleh kegagalan dalam menjaga ketertiban dan ketentraman yang oleh pandangan umum orang Indonesia merupakan tugas utama dari negara dan juga adat sebagai organisasi modern dan organisasi tradisional. Digambarkan pula kebangkitan adat oleh para Raja/Sultan/keturuannya melalui Forum Komunikasi Keraton-Keraton Indonesia (FKKKI) tahun 1995 di Solo, 1998 di Cirebon, dan 2002 di Kutai Kertanegara yang bersanding mesra dengan pemerintah dan kontras dengan AMAN yang berdiri tahun 1999 dengan menebar ancaman kepada pemerintah. Pada kasus-kasus tertentu seperti yang terjadi di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, peran Raja yang juga berarti Kepala Desa, dimandulkan oleh pemerintah, dan ia mengalami revivalisme pada tahun 1999 sejalan dengan angin kebebasan reformasi.

Adat dalam konteks modern berarti tradisi warisan yang bersifat lokal, sebagai wacana pan-Indonesia yang menghubungkan sejarah, tanah, dan hukum, juta sebagai ideologi politik. Khusus untuk hukum, sejak masa kolonial di Nusantara telah diterapkan sistem pluralitas hukum yang berarti adanya tiga pandangan akan hukum yang meliputi pertama penduduk asli Nusantara tidak terikat dengan hukum Eropa, kedua masing-masing kelompok yang mengkategorikan dirinya sebagai penduduk asli, atau kelompok etnis mengurusi dirinya dengan hukum milik mereka sendiri, dan yang ketiga hukum Islam diterapkan hanya kepada daerah yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dan mau menerapkannya. Sebenarnya pluralitas ini mendapat tentangan agar dihapuskan dengan penerapan satu hukum saja pada masa itu tetapi juga mendapat dukungan agar terus dilestarikan. Salah satu dukungan berasal dari seorang Profesor Ilmu Hukum Adat (adatrecht) di Universitas Leiden, Cornelis Van Vollenhoven (bapak Leiden School). Van Vollenhoven mengungkapkan keinginannya dalam melindungi hak komunitas dari ancaman perusahaan swasta pada masa-masa yang akan datang (masa kini). Kekhawatiran tersebut telah terbukti, diskursus hak adat kini tengah beradu dengan kepentingan-kepentingan korporasi dengan masyarakat pengusung adat sebagai pihak yang selalu kalah dan tergusur. Jika pada studi hukum umum menggunakan istilah hak adat maka khusus masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan Hak Ulayat (hak komunal atas tanah). Untuk pertamakalinya aksi demontrasi mengenai ketertindasan masyarakat adat diadakan oleh WS Rendra melalui pentasnya Suku Naga di tahun 1975 yang mengetengahkan bagaimana Suku Naga terancam oleh perusahaan yang telah bekerjasama dengan pemerintah yang korup. Selama era orde baru, masyarakat adat yang konsisten menerapkan adatnya, jauh dari pengaruh westernisasi, serta mandiri dalam hidup diberikan label sebagai masyarakat terasing.

Pada masa kolonial adat berada dalam perlindungan penjajah, walaupun pada masa ini Nusantara menderita tetapi untuk adat ia terjamin. Sekitar tahun 1959, adat mulai mendapat pelemahan, hingga tahun 1990-an di era kejatuhan Soeharto, adat kembali didengungkan untuk dikembalikan kepada tempatnya semula yang memiliki kewenangan dalam pengaturan kehidupan masyarakatnya. Meniliki perlindungan yang diberikan oleh Kolonial kepada Nusantara berangkat pada pemahaman penguasaan tanah masyarakat nusantara yang berada dalam wilayah hukum adat, tetapi penguasaannya diperkirakan mendapat masalah rumit. Pihak kolonial berprinsip jika tidak dapat menguasainya maka paling tidak mencegah agar tidak dikuasai oleh pihak luar lainnya selain oleh masyarakat pemilik asli tanah tersebut, hingga diterapkanlah perlindungan pelaksanaan hukum adat di nusantara. Dalam perkembangannya, kolonial Belanda dengan dalih melindungi adat akhirnya memiliki dan memainkan peran dalam membentuk pemerintahan adat yang orang-orangnya ditentukan oleh pihak kolonial, tentunya yang berasal dari orang-orang yang seide dengan kolonial.

Mahmood Mamdani dalam Davidson mengungkapkan desentralisasi kewenangan oleh kolonial kepada kepala-kepala suku di Afrika menjadi sumber utama konflik dan kondisi perpolitikan yang tidak kondusif nan berkesudahan di Afrika dewasa ini. Hal ini pulalah yang menjadi gambaran perbandingan dengan yang terjadi di Indonesia. Kelompok Etnik di Indonesia sebaliknya, malah mengembangkan potensi solidaritas etnis, yang didorong oleh kesadaran sangat beragamnya suku-suku bangsa yang ada di Indonesia.

Ada oleh Tania Li dianggap sebagai basis legitimasi politik dan organisasi yang cenderung mengistimewakan kaum elit, terutama para senior pria, yang diperkuat untuk berbicara atas nama yang menurut perkiraan mereka sendiri secara keseluruhan. Li melihat adanya ketimpangan kepada perempuan pada gerakan kebangkitan adat di Indonesia, seperti yang terjadi di Lombok, Maluku, juga di Kalimantan Tengah. Tumit Akhiles atau titik lemah dalam penerapan adat di Indonesia salah satunya adalah ketidakmampuan dalam memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai bentuk-bentuk ketidaksetaraan yang disahkan oleh adat kebiasaan, dan itu dianggap sebagai adat, padahal pada hakekatnya merupakan pelanggaran terhadap diri individu manusia yang berhak atas perlakuan yang setara dalam kedudukannya, terutama bagi kaum perempuan. Dalam kasus yang lainnya seperti para pemuka adat nagari di Sumatera Barat mengambil keuntungan ekonomi untuk dirinya sendiri saat terjadinya depresiasi mata uang Rupiah pada tahun 1997, merupakan sisi lain yang memiriskan dengan memanfaatkan kewenangan individu dalam adat.

Penentuan masyarakat adat dewasa ini berpangkal pada darah sebagai hubungan biologis yang kuat serta daerah asal kelahiran dengan teritori sebagai pengikatnya. Pada masyarakat adat di Nusantara selain dua jalan tadi, bagi orang asing yang tidak masuk dalam dua syarat tadi dapat pula menjadi anggota masyarakat adat setelah melalui ritual adat tertentu yang disepakati. Salah satu pandangan yang nampaknya sangat kontra produktif dengan perkembangan dunia masa kini adalah pandangan sinis yang diarahkan kepada orang-orang yang bukan berasal dalam kelompok adat yang sama. Dalam prakteknya yang ia teraplikasi melalui tindakan kekerasan atas nama adat seperti yang dilakukan oleh orang-orang Dayak yang mengusir orang Madura di Sambas pada tahun 1997, 1999, lalu tahun 2001. Khusus untuk contoh kejadian di atas, jika dikaji sebenarnya akan ditemukan banyak kejanggalan akan pemahaman adat, yang mana mengesahkan pembunuhan, perampasan hak hidup orang lain atas nama adat, juga didukung oleh organisasi transnasional dengan gerakan diam yang paling tinggi tensinya hanya dengan aksi kecaman tanpa pengaruh apapun.

Nasionalisme memuat dua varian sebagaimana yang disampaikan oleh Anthony Smith dalam Davidson, pertama civic territorial yang mengacu kepada aspek kewilayahan dankedua ethnich genealogical yang mengacu kepada ikatan asal etnisitas. Dalam perkembangannya berkembang hingga memunculkan mix varian yang ketiga yakni ethnicterritorial yang merupakan gabungan atas ikatan kewilayahan dan ikatan etnisitas.

Lembaga-lembaga adat tradisional dalam pandangan Davidson memiliki peranan dalam menghentikan konflik sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Tengah kira-kira pada tahun 2001. Walaupun seringkali perdamaian itu berumur singkat namun keputusan yang dihasilkan cenderung lebih dapat dipatuhi dibandingkan oleh pihak lainnya yang lebih diformalkan seperti pemerintah. Singkatnya usia perdamaian salah satunya diakibatkan oleh adanya klaim-klaim teritorial dari masyarakat adat yang berada pada kelompok-kelompok yang berbeda tanpa pencapaian titik perdamaian yang memuaskan antar masing-masing pihak.

Masyarakat adat di Bali pernah mengancam akan mengenakan sanksi adat kepada gubernur Bali yang berkeras mendukung pembangunan hotel yang merusak tatanan adat Bali. Kejadian ini membuktikan betapa adat masih menjadi ancaman bagi siapapun yang melanggarnya sekalipun ia memiliki kedudukan yang tinggi pada organisasi birokratis. Masyarakat adat menempatkan modal sosial sebagai sesuatu yang berharga, yang karenanya ia dapat dipakai untuk bekerjasama dalam bidang ekonomi, politik, dan lainnya yang membutuhkan kebersamaan. Dengan dasar modal sosial tersebut, lembaga adat dapat menjadi corong dalam pelaksanaan kegiatan kesenian, pengaturan pengairan (subak di Bali), kredit bergulir (penyelesaian masalah ekonomi), dan lainnya. Masih di Bali dalam pandangan Davidson, penerapan sanksi adat juga sampai pada area yang tidak kondusif manakala selalu terjadi konflik antara kaum pendatang dengan pacalang (polisi adat) di Bali yang melarang adanya migran dengan ketentuan hukum berupa denda dan sanksi disiplin lainnya.

Davidson menilai Islam memegang peran utama dalam kebangkitan adat di Indonesia, paling tidak dalam dua motivasi, pertama kebangkitan terjadi pada daerah yang berkontestasi pengaruhnya antara Islam dengan Kristen atau Islam dengan Hindu, lalu yang keduakebangkitan terjadi pada daerah yang konversi Islam tengah berlangsung kepada unsur-unsur pra Islam. Walaupun demikian, unsur anti Islam tetap lestari hingga kini dengan adanya kejadian Lembaga Adat Pamona Kristen versus Masyakat Bugis yang Muslim di Poso beberapa tahun lalu, juga pertentangan antara penduduk Hindu dengan Islam di Bali dalam hal pembangunan Pura maupun pembangunan Masjid. Masyarakat desa lebih memandang adat dari sudut bagaimana cara segala sesuatu harus diatur daripada apa yang dilakukan oleh orang-orang dalam kehidupan sehari-harinya. Adat dalam sisi negatif memiliki kecenderungan menjadi mimpi indah akan kondisi kehidupan yang teratur di bawah pemerintahan tradisional, yang jika konteksnya dibawa ke masa kini ketika diterapkan ia menimbulkan konflik karena masanya telah berbeda jauh, ia lebih sebagai preskripsi masa depan dan interpretasi atas masa lampau. Masyarakat adat di Indonesia lebih menonjolkan kekurangan sebagai bahan yang terus digali dan dipertahankan daripada kelebihannya sendiri, hal ini terlihat dengan proses pembumian, mempertahankan koperasi yang terbukti selalu gagal tetapi masih terus dipakai sebagai simbol persatuan masyarakat kecil untuk berdaya membangun kekuatan ekonomi yang mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun