Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Itu Berhenti...

16 Desember 2024   08:22 Diperbarui: 16 Desember 2024   10:23 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita yang cukup viral di medsos , seorang guru yang juga konten kreator TikTok, ig dan affilator produk  memutuskan untuk berhenti dari profesinya. Berita ini menyebar dengan cepat, mencuri perhatian banyak orang, hingga menjadi perbincangan di media sosial. Sosoknya dikenal ceria dan penuh semangat ketika membagikan ilmu di kelas atau saat membuat konten edukatif. Namun, di balik senyum dan keceriaan itu, ada beban yang selama ini tersembunyi---beban yang hanya dirinya sendiri yang tahu.

Keputusannya mengejutkan banyak pihak. Sertifikasi guru yang dimilikinya seharusnya menjadi jaminan atas profesi yang stabil dan masa depan yang terjamin. Namun, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana lingkungan sekolah telah menggerogoti mentalnya. Lingkungan yang seharusnya mendukung dan penuh apresiasi justru menjadi tempat yang membuatnya merasa tertekan dan terkikis. Kata-kata tajam, tuntutan tak realistis, serta sikap acuh rekan kerja seolah menjadi rutinitas yang perlahan menghancurkan dirinya.

"Kenapa harus berhenti? Kan sayang sertifikasinya." Itulah kalimat yang terus berulang dari mulut banyak orang yang mendengar keputusannya. Seolah-olah apa yang ia rasakan tidak penting. Seolah-olah hanya gelar dan profesinya yang pantas untuk diperhitungkan. Tidak banyak yang mau memahami bahwa setiap orang memiliki batasannya sendiri. Tekanan yang terus-menerus datang seperti gelombang tanpa henti akhirnya memaksanya untuk memilih pergi.

Bagi sebagian orang, meninggalkan pekerjaan yang sudah mapan adalah tindakan bodoh. Namun, di balik itu, ada kenyataan pahit tentang kesehatan mental yang selama ini diabaikan. Kesehatan mental bukanlah sesuatu yang bisa terlihat dengan jelas. Tidak ada luka fisik, tidak ada bekas memar. Tapi, jika dibiarkan, dampaknya bisa jauh lebih buruk dari sekadar kelelahan fisik.

Lingkungan sekolah yang toxic bisa menjadi racun perlahan. Mulai dari tuntutan yang tidak realistis, kurangnya apresiasi, hingga konflik internal yang sering kali tidak terlihat dari luar. Pada akhirnya, semua itu membuat ruang gerak semakin sempit. Setiap hari menjadi beban baru. Menghadapi murid dengan senyum palsu, berpura-pura baik-baik saja, padahal di dalam hati hanya ada kelelahan yang tak berujung.

Setiap individu memiliki caranya masing-masing dalam menahan tekanan. Ada yang sanggup bertahan lebih lama, ada yang memilih pergi lebih cepat. Tidak ada yang salah dari keduanya. Namun, sering kali, mereka yang memutuskan untuk berhenti justru dianggap lemah. Padahal, memilih untuk keluar dari lingkungan yang tidak sehat adalah langkah besar untuk menyelamatkan diri sendiri.

Dalam kasus ini, banyak yang lupa bahwa guru juga manusia. Mereka bukan robot yang bisa bekerja tanpa henti. Mereka memiliki perasaan, kelelahan, dan keterbatasan. Berada di lingkungan kerja yang toxic hanya akan memperburuk keadaan. Stres, burnout, dan depresi menjadi hal yang sulit dihindari. Jika tidak segera ditangani, kesehatan mental yang terganggu akan berdampak pada fisik, motivasi, hingga produktivitas seseorang.

Keputusan untuk berhenti bukan diambil dalam semalam. Ada banyak pertimbangan yang melibatkan pikiran dan perasaan. Mungkin di suatu malam, ia duduk merenung, bertanya-tanya tentang apa yang selama ini dikerjakannya. Apakah semua ini layak untuk diperjuangkan? Apakah kesehatan mental harus dikorbankan demi tuntutan orang lain? Pada akhirnya, ia memilih untuk pergi bukan karena menyerah, melainkan karena ia ingin bertahan hidup.

Jika berada di posisi itu, hal serupa mungkin akan dilakukan. Menahan diri dan berjuang lebih dulu. Mencari cara untuk memperbaiki situasi, berbicara dengan pihak sekolah, atau mencoba mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat. Namun, jika semua usaha sudah dilakukan dan tidak ada perubahan, keluar dari lingkungan itu adalah pilihan yang paling bijak. Terkadang, berhenti adalah cara untuk menjaga diri agar tidak semakin hancur.

Sayangnya, banyak orang yang masih menganggap kesehatan mental bukanlah sesuatu yang serius. "Sabar saja, ini hanya cobaan." "Jangan manja, pekerjaan memang begitu." Kata-kata seperti itu sering kali datang dari mereka yang tidak tahu apa-apa tentang perjuangan sebenarnya. Bagi sebagian orang, kesabaran memang tidak ada batasnya. Tapi, bagi yang berada di situasi tersebut, ada saatnya untuk mengakui bahwa diri ini lelah dan butuh diselamatkan.

Kesehatan mental jauh lebih mahal dari segalanya. Lebih mahal daripada gaji bulanan, lebih mahal daripada sertifikat atau gelar yang disandang. Jika kesehatan mental sudah terganggu, semua hal lain akan ikut runtuh. Tubuh yang sehat tidak ada artinya jika pikiran terus-menerus terbebani. Produktivitas pun akan menurun, dan kualitas hidup menjadi semakin buruk.

Tidak ada yang mudah dalam keputusan untuk pergi. Bahkan mungkin, ada rasa bersalah yang menghantui. Bagaimana dengan murid-murid yang selama ini sudah dibimbing? Bagaimana dengan harapan yang telah dititipkan oleh keluarga atau lingkungan sekitar? Namun, pilihan itu harus diambil demi kebaikan diri sendiri. Pergi bukan berarti egois, melainkan bentuk cinta pada diri sendiri.

Kisah ini seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak---sekolah, rekan kerja, dan masyarakat---bahwa lingkungan kerja yang sehat adalah kunci utama bagi keberhasilan bersama. Setiap orang berhak mendapatkan tempat yang mendukung, penuh apresiasi, dan bebas dari konflik yang merusak. Program kesehatan mental harus menjadi prioritas di setiap institusi pendidikan, karena guru yang sehat secara mental akan lebih mampu memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin, guru itu akan menemukan jalan baru yang lebih baik. Mungkin, ia akan kembali ke dunia pendidikan dengan semangat yang baru. Atau mungkin, ia akan menjalani hidupnya dengan cara yang lebih membahagiakan. Apa pun itu, keputusannya adalah hak penuh dirinya sendiri. Karena pada akhirnya, setiap orang memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya.

Kepergian guru itu bukan akhir dari segalanya. Justru, ini adalah awal dari kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental. Bahwa setiap individu memiliki batas, dan ketika batas itu telah dilampaui, tidak ada salahnya untuk mundur sejenak. Karena berhenti bukanlah tanda kekalahan, melainkan tanda keberanian untuk melindungi diri sendiri dari kehancuran yang lebih dalam.

Di balik senyum seorang guru, di balik dinding-dinding sekolah, ada perjuangan yang tidak selalu terlihat. Oleh karena itu, apresiasi yang tulus, lingkungan yang mendukung, dan kepedulian terhadap kesehatan mental harus menjadi prioritas. Karena guru bukan hanya mesin pengajar, mereka juga manusia yang butuh ruang untuk merasa nyaman, dihargai, dan tetap sehat---baik fisik maupun mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun