Kesehatan mental jauh lebih mahal dari segalanya. Lebih mahal daripada gaji bulanan, lebih mahal daripada sertifikat atau gelar yang disandang. Jika kesehatan mental sudah terganggu, semua hal lain akan ikut runtuh. Tubuh yang sehat tidak ada artinya jika pikiran terus-menerus terbebani. Produktivitas pun akan menurun, dan kualitas hidup menjadi semakin buruk.
Tidak ada yang mudah dalam keputusan untuk pergi. Bahkan mungkin, ada rasa bersalah yang menghantui. Bagaimana dengan murid-murid yang selama ini sudah dibimbing? Bagaimana dengan harapan yang telah dititipkan oleh keluarga atau lingkungan sekitar? Namun, pilihan itu harus diambil demi kebaikan diri sendiri. Pergi bukan berarti egois, melainkan bentuk cinta pada diri sendiri.
Kisah ini seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak---sekolah, rekan kerja, dan masyarakat---bahwa lingkungan kerja yang sehat adalah kunci utama bagi keberhasilan bersama. Setiap orang berhak mendapatkan tempat yang mendukung, penuh apresiasi, dan bebas dari konflik yang merusak. Program kesehatan mental harus menjadi prioritas di setiap institusi pendidikan, karena guru yang sehat secara mental akan lebih mampu memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya.
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin, guru itu akan menemukan jalan baru yang lebih baik. Mungkin, ia akan kembali ke dunia pendidikan dengan semangat yang baru. Atau mungkin, ia akan menjalani hidupnya dengan cara yang lebih membahagiakan. Apa pun itu, keputusannya adalah hak penuh dirinya sendiri. Karena pada akhirnya, setiap orang memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya.
Kepergian guru itu bukan akhir dari segalanya. Justru, ini adalah awal dari kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental. Bahwa setiap individu memiliki batas, dan ketika batas itu telah dilampaui, tidak ada salahnya untuk mundur sejenak. Karena berhenti bukanlah tanda kekalahan, melainkan tanda keberanian untuk melindungi diri sendiri dari kehancuran yang lebih dalam.
Di balik senyum seorang guru, di balik dinding-dinding sekolah, ada perjuangan yang tidak selalu terlihat. Oleh karena itu, apresiasi yang tulus, lingkungan yang mendukung, dan kepedulian terhadap kesehatan mental harus menjadi prioritas. Karena guru bukan hanya mesin pengajar, mereka juga manusia yang butuh ruang untuk merasa nyaman, dihargai, dan tetap sehat---baik fisik maupun mental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H