Bayangkan Anda sedang menikmati secangkir kopi di pagi hari, ditemani koran yang memberitakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai Januari 2025. Sekilas, kenaikan 1% ini tampak sepele. Namun, apakah benar dampaknya sesederhana itu?
Kenaikan tarif PPN tidak berdiri sendiri. Efeknya lebih besar dari sekadar "naik 1%". Di atas kertas, angka 1% tampak kecil, bahkan seolah remeh. Namun, di lapangan, realitas berkata lain. Kenaikan ini membawa gelombang dampak yang jauh lebih besar.
Mari kita bicara sederhana. Jika tarif PPN naik 1%, harga barang dan jasa di tangan konsumen bisa ikut naik hingga 30%. Bagaimana ini mungkin? Variabelnya banyak. Mulai dari kenaikan harga bahan baku yang terkena PPN, inflasi, hingga upah tenaga kerja yang pasti akan mengikuti. Belum lagi tambahan biaya logistik dan pengiriman yang makin melambung.
Dan ini bukan hanya teori. Ini sudah jadi pola. Ketika tarif naik, pasar tidak pernah bertindak linier. Setiap rantai dalam ekosistem ekonomi memiliki respon sendiri-sendiri. Efeknya berlapis-lapis. Dari pabrik hingga pasar. Dari pasar hingga dapur rumah tangga.
Lalu ada argumen klasik yang sering kita dengar: "Nanti kan uang ini kembali ke rakyat dalam bentuk bansos dan subsidi." Kalimat ini terdengar manis. Tapi apakah benar seperti itu?
Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2025, alokasi belanja bansos hanya Rp152,6 triliun. Bandingkan itu dengan belanja pegawai yang mencapai Rp513,2 triliun. Tentu ini angka yang tidak seimbang. Jadi, bagaimana rakyat bisa merasakan dampak bansos secara signifikan jika porsinya sekecil itu dibanding pos lain?
Kritik terbesar dari kebijakan ini bukan pada niatnya, tapi pada caranya. Saat pemerintah menaikkan tarif, ada harapan besar bahwa kenaikan ini akan membantu memperbaiki struktur anggaran. Namun, yang sering terjadi adalah alokasi dana tidak tepat sasaran.
Bayangkan ini. Anda adalah seorang pedagang kecil yang setiap hari bergantung pada perputaran modal untuk bertahan. Dengan kenaikan PPN, semua biaya naik. Anda tidak punya pilihan selain menaikkan harga barang dagangan. Apa yang terjadi? Pelanggan mulai berkurang. Perputaran uang melambat. Pada akhirnya, Anda yang harus menanggung bebannya sendiri.
Tidak hanya pedagang kecil, sektor UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi juga merasakan dampaknya. Sektor ini menyerap lebih dari 60% tenaga kerja di Indonesia. Tapi mereka juga yang paling rentan terhadap perubahan kebijakan pajak.
Di sisi lain, kenaikan tarif PPN juga membawa risiko sosial yang besar. Ketika daya beli masyarakat turun, tekanan ekonomi meningkat. Ketimpangan sosial makin terlihat. Ini berbahaya. Sebab ketimpangan sosial adalah bahan bakar bagi protes.
Namun, ada jalan keluar. Pemerintah harus lebih cermat dalam mengelola anggaran. Belanja pegawai yang begitu besar seharusnya bisa ditekan. Tidak ada salahnya memperbaiki efisiensi birokrasi. Penghematan di sektor ini bisa menjadi ruang baru untuk memperbesar alokasi dana bansos.
Selain itu, subsidi harus lebih tepat sasaran. Saat ini, banyak subsidi yang justru dinikmati kelompok menengah ke atas. Ini paradoks. Di satu sisi, rakyat kecil dipaksa berhemat. Di sisi lain, subsidi energi yang besar justru tidak sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Kenaikan tarif PPN seharusnya ditunda hingga ekonomi benar-benar stabil. Saat ini, rakyat masih berjuang memulihkan diri dari dampak pandemi. Perekonomian memang mulai tumbuh, tapi belum cukup kuat untuk menahan beban baru.
Jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan ini, maka harus ada jaminan bahwa setiap rupiah dari kenaikan ini akan digunakan secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Transparansi menjadi kunci. Publik perlu tahu ke mana uang mereka digunakan.
Sebagai Trainer UMKMÂ saya percaya bahwa kebijakan fiskal harus berpihak pada rakyat kecil. Jika tujuan utama adalah meningkatkan pendapatan negara, maka opsi lain seperti memperluas basis pajak bisa menjadi solusi. Daripada menaikkan tarif, mengapa tidak memperbaiki sistem pajak agar lebih banyak pihak yang membayar pajak secara adil?
Kenaikan tarif PPN adalah sebuah alarm. Alarm yang mengingatkan kita bahwa sistem ekonomi perlu perbaikan mendasar. Kebijakan yang terlihat sederhana seringkali memiliki konsekuensi yang kompleks. Dan konsekuensi ini tidak boleh diabaikan.
Rakyat adalah tulang punggung negara. Jika mereka terus dibebani, maka yang akan runtuh bukan hanya perekonomian, tapi juga kepercayaan. Kepercayaan pada pemerintah, kepercayaan pada masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H