Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perundungan atau Mendisiplinkan

18 Agustus 2024   12:31 Diperbarui: 18 Agustus 2024   12:44 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: https://www.inews.id/

Ada sebuah pepatah lama yang mengatakan, "Jalan menuju keberhasilan itu terjal dan berliku." Namun, bagaimana jika kita menambahkan bahwa jalan tersebut tidak hanya terjal, tetapi juga dipenuhi oleh rintangan yang tak terduga? Itulah kenyataan yang dihadapi oleh mereka yang bercita-cita menjadi dokter spesialis. Dalam dunia kedokteran, tidak ada yang instan. Setiap langkah adalah perjuangan, setiap keputusan adalah tantangan. Tetapi, seperti yang sering kita dengar, di balik setiap kesulitan, ada kemudahan. Namun, apakah kemudahan itu benar-benar ada? Atau hanya sekadar mitos yang diciptakan untuk menguatkan tekad mereka yang sudah berada di titik nadir?

Dulu, menjadi dokter spesialis itu tidak mudah. Bahkan, untuk sekadar masuk ke program pendidikan spesialisasi, dokter umum harus melewati proses panjang yang kadang membuat mereka bertanya-tanya, "Kapan ini akan berakhir?" Mereka yang berhasil melewati ujian nasional dengan hasil terbaik mungkin bisa langsung melanjutkan pendidikan. Namun, bagi sebagian besar lainnya, jalan tersebut jauh lebih berliku. 

Sering kali, mereka harus menjalani program PTT (Pegawai Tidak Tetap) di daerah-daerah terpencil yang minim fasilitas. Bukan sekadar untuk memenuhi syarat, tetapi juga untuk mengumpulkan modal, baik pengalaman maupun finansial. Ada yang harus menunggu hingga bertahun-tahun, bekerja di berbagai tempat, sebelum akhirnya bisa melanjutkan pendidikan spesialisasi yang mereka impikan.

Namun, itu cerita lama. Sekarang, kondisinya sedikit lebih baik. Mereka yang lulus dari pendidikan dokter umum bisa langsung melamar program spesialisasi tanpa harus menunggu lama. Jalan menuju spesialisasi sudah terbuka lebih lebar. Tapi, jangan salah. Meski prosesnya lebih cepat, tantangan di dalamnya tetap ada. 

Tantangan bukan hanya tentang bagaimana memahami teori-teori kedokteran yang rumit, tetapi juga tentang bagaimana bertahan di tengah kerasnya pendidikan. Di sini, saya tidak berbicara soal perundungan (bullying)---sesuatu yang sangat dilarang, dan memang seharusnya begitu. Tapi tentang kekerasan yang lebih mengarah pada kedisiplinan. Seperti masuk militer, di mana kekerasan dianggap bagian dari proses. Keras, tetapi perlu. Begitulah sekolah spesialisasi, keras bukan untuk menindas, tapi untuk mendidik.

Namun, generasi sekarang melihatnya berbeda. Gen Z, mereka yang baru masuk dunia kedokteran, lebih menghargai privasi. Jika dulu kita biasa difoto sembarangan, bahkan tersenyum lebar ketika ada kamera, kini, jangan coba-coba mengambil foto tanpa izin. Mereka bisa marah besar. Ini bukan sekadar tren, tetapi sebuah paradigma baru. Generasi yang tumbuh dengan teknologi, media sosial, dan kesadaran akan hak individu. 

Mereka yang memiliki pagar tegas dalam hal privasi. Begitu juga dalam sistem pendidikan. Jika dulu kita menunggu senior pulang terlebih dahulu sebelum berani melangkah keluar dari ruangan, sekarang tidak lagi. Gen Z tidak segan-segan untuk pulang tepat waktu meskipun senior mereka belum selesai. "Sudah jam pulang, Pak," dan mereka melangkah pergi tanpa beban.

Pendidikan spesialis bukan hanya soal teori. Justru, lebih banyak praktik. Teori hanya pendukung, yang penting adalah bagaimana menerapkan pengetahuan di lapangan, di bawah pengawasan senior dan konsulen. 

Mereka belajar dari kasus nyata, dan sering kali, apa yang ada di buku tidak selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Misalnya, seorang dokter muda mungkin membaca tentang prosedur operasi tertentu di buku. 

Namun, ketika dihadapkan dengan kasus nyata, ada banyak variabel yang tidak disebutkan di buku. Inilah yang membuat pendidikan spesialis begitu menantang, dan pada saat yang sama, sangat berharga.

Di Indonesia, sistem pendidikan kedokteran mulai bertransformasi. Dari yang dulunya berbasis universitas, kini mulai bergeser ke sistem hospital-based, di mana pendidikan lebih banyak dilakukan di rumah sakit. 

Pada sistem hospital-based ini, dokter muda lebih banyak terlibat langsung dalam praktik di rumah sakit, belajar dari pengalaman nyata, dan berinteraksi langsung dengan pasien. Mereka menjadi bagian dari tim medis yang beroperasi di bawah tekanan waktu dan tanggung jawab yang nyata. Tapi, perubahan ini tidak mudah. Masih banyak kendala, termasuk kekurangan dokter di daerah-daerah terpencil. Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dan seluruh sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.

Faktanya, Indonesia masih kekurangan dokter. Jumlah dokter tidak sebanding dengan jumlah penduduk, apalagi jika berbicara tentang distribusi yang merata. Banyak dokter yang berkumpul di kota-kota besar, sementara di daerah, terutama di pelosok, dokter masih menjadi barang langka. Lebih parah lagi, ada senioritas yang kadang menjadi penghalang bagi dokter-dokter muda untuk masuk ke rumah sakit tertentu. 

Senior yang sudah ada merasa terancam dengan kehadiran yang lebih muda dan berkompeten. Hal ini menciptakan hambatan yang tidak perlu, mengingat kebutuhan akan dokter yang berkualitas sangat tinggi.

Solusinya? Pemerintah sedang berupaya menambah jumlah dokter, mempercepat proses pendidikan tanpa mengurangi kualitas. Tapi ini bukan tugas pemerintah semata. Ada tanggung jawab bersama, termasuk dari senior untuk membuka ruang bagi yang muda. Transformasi ini penting, karena kita tidak bisa terus-menerus melakukan hal yang sama dan mengharapkan hasil yang berbeda. Seperti pepatah mengatakan, "Jika Anda terus melakukan apa yang selalu Anda lakukan, Anda akan terus mendapatkan apa yang selalu Anda dapatkan." Perubahan perlu, dan itu harus segera dilakukan.

Mindset kita harus diubah. Dokter tidak lagi hanya fokus pada ilmu kedokteran, tetapi juga harus berani berkolaborasi dengan profesional lain dalam mengelola rumah sakit. Pelayanan kesehatan harus diubah, dari yang menunggu berjam-jam, menjadi lebih efisien dan nyaman. Pelayanan yang baik bukan hanya soal medis, tetapi juga pengalaman pasien saat berada di rumah sakit.

Kita perlu lebih kreatif. Bayangkan, ruang tunggu rumah sakit yang biasanya membosankan bisa diubah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan. Kenapa tidak membuat ruang tunggu yang seperti perpustakaan atau galeri seni? Atau, mengintegrasikan sistem online untuk pelayanan yang lebih cepat dan efisien? Di sini, kita bisa belajar dari pengalaman negara lain. Misalnya, di beberapa rumah sakit di luar negeri, ruang tunggu didesain untuk menjadi tempat yang nyaman, dengan perpustakaan mini, kafe, atau bahkan galeri seni. Ini tidak hanya membuat pasien merasa lebih nyaman, tetapi juga menciptakan suasana yang lebih positif.

Menjadi dokter spesialis memang tidak mudah. Perjalanan panjang dengan tantangan di setiap langkah. Tapi dengan mindset yang tepat dan keberanian untuk berubah, kita bisa menciptakan sistem yang lebih baik, tidak hanya untuk dokter, tetapi juga untuk pasien yang dilayani. Transformasi ini bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan yang mendesak. Dan seperti yang sering saya katakan, "Jika perubahan itu sulit, coba pikirkan apa yang akan terjadi jika kita tidak berubah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun