Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Apakah Harus ke Luar Negeri Saja agar Dapat Bekerja?

12 Agustus 2024   06:33 Diperbarui: 13 Agustus 2024   14:29 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PHK(THINKSTOCK via KOMPAS.com)

PHK lagi, PHK lagi. Seperti hujan di musim penghujan, tak ada tanda-tanda berhenti. Selama lima tahun terakhir, PHK ini melonjak luar biasa, dari 18.011 orang pada 2018 menjadi 352.858 orang pada 2023. Ini bukan sekadar angka; ini adalah nyawa, keluarga, masa depan yang dipertaruhkan. 

Kita kembali ke masa-masa krisis, hampir menyamai saat pandemi Covid-19 ketika PHK mencapai puncaknya dengan 386.877 karyawan di tahun 2020.

Dan tampaknya, angin PHK ini masih terus berhembus. Pada paruh pertama tahun 2024 saja, sudah 101.536 pekerja yang harus merelakan pekerjaannya hilang begitu saja. Bandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya yang 'hanya' 80.303 orang.

Ini bukan kabar baik bagi siapa pun, kecuali mungkin bagi mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan dengan pulpen di tangan, siap menandatangani surat PHK kapan pun diperlukan.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan pahit ini. Setiap angka di statistik ini adalah kisah manusia yang berjuang untuk bertahan hidup. Dan masalahnya, pasar kerja tidak mampu menyerap mereka yang telah kehilangan pekerjaan. 

Tingkat pengangguran terbuka terus meningkat, dari 5,33 persen pada 2017 menjadi 6,49 persen pada 2022. Ini artinya, semakin banyak orang yang terjebak dalam ketidakpastian, tanpa harapan jelas kapan mereka bisa kembali bekerja.

Bagi kelas menengah, situasi ini adalah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Mereka yang pernah menikmati kestabilan kini harus menghadapi kenyataan bahwa satu keputusan kebijakan bisa mengguncang seluruh hidup mereka. Pekerjaan yang dulu dianggap aman, kini bisa hilang sekejap mata. 

Dan bagi mereka yang terpaksa beralih ke pekerjaan informal, tekanan mental semakin menjadi-jadi. Menurut analisis dari Kompas, pekerja informal lebih banyak mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan dengan mereka yang masih di sektor formal.

Tito, seorang karyawan swasta di Jakarta Selatan, adalah contoh nyata bagaimana PHK bisa menghancurkan hidup seseorang. Dua kali ia terkena PHK dalam sepuluh tahun terakhir, dan trauma itu masih membekas hingga kini. Ketika pertama kali di-PHK pada tahun 2020, dia masih bisa mencari pekerjaan baru.

Tapi kali kedua, dua tahun lalu, situasinya jauh lebih buruk. Istrinya sedang hamil tua, dan kecemasan menguasai pikirannya. Meskipun akhirnya hanya menganggur dua minggu, trauma itu tidak pernah benar-benar hilang.

Kini, dengan anaknya yang baru saja mulai sekolah, ketakutan Tito semakin menjadi-jadi. Dia khawatir kapan saja PHK ketiga bisa datang menghantam. "Saya juga khawatir ketika saya terkena PHK lagi, kondisi ini sangat bisa terjadi, karena perubahan kebijakan," katanya, penuh kecemasan. 

Tidak hanya Tito, ribuan pekerja lain di seluruh negeri merasakan hal yang sama. Beban mental ini tidak ringan, dan tanpa dukungan yang memadai, ini bisa berujung pada masalah kesehatan mental yang serius.

Lalu, apa sebenarnya yang terjadi? Pandemi memang mempercepat perubahan kebutuhan bisnis, tapi kebijakan pemerintah tampaknya lebih memihak pemberi kerja.

Penggantian undang-undang yang mempermudah pemberi kerja untuk memutus kontrak kerja tanpa batas membuat PHK menjadi jalan keluar yang paling mudah dan cepat. Namun, apakah ini solusi terbaik? Tentu saja tidak.

Fitri Fausiah, dosen Psikologi di Universitas Indonesia dikutip dari harian kompas 12 Agustus 2024, mengatakan bahwa pekerja kelas menengah adalah yang paling rentan terhadap dampak PHK.

Ketika pekerjaan hilang, mereka tidak hanya kehilangan penghasilan, tetapi juga kehilangan rasa aman dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. 

Dalam situasi seperti ini, mereka menjadi lebih mudah tertekan dan terpengaruh oleh perubahan kebijakan yang tidak menentu.

Bagaimana tidak? Pekerja kelas menengah adalah mereka yang telah berjuang keras untuk mencapai posisi mereka saat ini. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan identitas, kehilangan martabat, dan dalam banyak kasus, kehilangan harapan. 

Di tengah tekanan hidup yang semakin berat, banyak dari mereka yang terpaksa menurunkan kelas sosialnya dengan mengurangi pengeluaran, meski itu berarti mengorbankan kualitas hidup mereka.

Solusi? Kita membutuhkan kebijakan yang berpihak pada manusia, bukan sekadar angka. Pemerintah harus memperkuat jaminan sosial bagi mereka yang terkena PHK, termasuk bantuan tunai sementara dan program pelatihan ulang yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini. 

Selain itu, penyediaan layanan konseling dan dukungan mental bagi pekerja yang terkena PHK harus menjadi prioritas. Kampanye kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di kalangan pekerja juga perlu digalakkan.

Namun, ini semua tidak cukup jika kebijakan ekonomi masih terus berpihak pada mereka yang berada di atas. Kita membutuhkan langkah nyata untuk mengurangi ketimpangan ini.

Program pengembangan keterampilan dan wirausaha memang bisa menjadi solusi, tapi tanpa dukungan nyata, itu hanya akan menjadi janji manis yang tidak pernah terwujud. 

Pekerja harus siap menghadapi pasar kerja yang terus berubah, tapi mereka tidak bisa melakukannya sendirian. Mereka butuh dukungan nyata, bukan hanya kata-kata.

Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa PHK bukanlah solusi. Ini adalah tanda bahwa ada yang salah dalam sistem kita. Selama pemerintah terus melihat PHK sebagai jalan keluar, selama itu pula masalah ini tidak akan pernah selesai. 

Kita butuh perubahan, dan perubahan itu harus dimulai dari sekarang. Kita harus menciptakan masyarakat yang lebih adil, di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk bangkit dan hidup dengan martabat. Ini bukan sekadar mimpi, ini adalah tanggung jawab kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun