Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masuk PTN Harga PTS, Kok Bisa?

6 Maret 2018   12:29 Diperbarui: 6 Maret 2018   12:53 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi.http://manunggal.undip.ac.id

Biaya kuliah yang tinggi dan mahal di Indonesia dewasa ini ditengarai sebagai akibat pelepasan tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi.

Meski ada penilaian bahwa sistem pembiayaan sekarang relatif adil karena berdasarkan kemampuan orang tua /sponsor mahasiswa, namun hal tersebut masihlah dinilai problematis.

Kini, setiap mahasiswa harus membayar biaya pendidikan sendiri tanpa harus mengharap tanggungan dari pemerintah lagi (sesuai penghasilan orang tua/sponsor) selama belajar di Perguruan Tinggi.

Model subsidi silang pun dinilai sebagai jalan untuk memeratakan akses antara mahasiswa dengan kemampuan ekonomi keluarga yang lemah dan yang mampu.

Sebelumnya, kampus negeri di Indonesia mendapatkan jaminan biaya dari pemerintah berdasarkan selisih biaya SPP dari yang dipungut ke peserta didik (mahasiswa). Contohnya, jika biaya kuliah tiap mahasiswa per semester adalah 3.000.000 rupiah, sementara SPP yang dibayar mahasiswa sebesar 600.000 rupiah per semester,

maka negara memberikan dana ke kampus sebesar 2.400.000 rupiah tiap Mahasiswa. Dengan demikian, pada sistem sebelumnya ini, negara mengambil peran besar dalam pembiayaan pendidikan di Perguruan Tinggi, tidak peduli berapa penghasilan orang tua Mahasiswa.

Dua mekanisme pembiayaan dilihat dari peran negara di atas bisa dinilai berdasarkan cara pandang melihat sebuah gelas yang berisi air setengah. Apakah kita melihat dan menilainya "setengah penuh atau setengah kosong?".

Jika dilihat setengah penuh, maka pemerintah wajib membuatnya penuh, alias wajib membiayai penuh pendidikan tinggi. Dengan kata lain lagi, biaya kuliah mestinya gratis dan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.

Lalu, jika kita melihatnya setengah kosong, maka biaya pendidikan tinggi memang dilihat dan dinilai bukanlah tanggung jawab pemerintah, sehingga jikapun ada 'subsidi' itu hanyalah kebaikan hati pemerintah, bukan kewajiban.

 Dari cara pandang ini, pemerintah dinilai wajar jika mencabut 'subsidi' pembiayaan pendidikan tinggi yang berkonsekuensi menjadikan biaya kuliah mahasiswa menjadi melangit dan tak terjangkau banyak kalangan. Toh, itu bukan kewajiban pemerintah, dalam cara pandang satu ini.

Sekarang, mari kita berandai andai. Jika seorang mahasiswa membiayai sendiri kuliahnya tanpa sokongan dana dari negara, maka apakah masih ada utang mahasiswa kepada rakyat?

Masih bisa kah mahasiswa ini ditagih untuk melunasi kewajibannya kepada rakyat setelah berkesempatan belajar di Perguruan Tinggi Negeri meski tidak lagi dibiayai negara? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Namun, jika dibandingkan sebelumnya, sekarang ini relatif sulit menagih utang ke mahasiswa soal ini. Pun iya, Mahasiswa yang sudah keluar banyak biaya ini cenderung akan dituntut cepat selesai dan kalau perlu mengembalikan biaya kuliah yang dipakainya.

Mahasiswa sekarang ini, dalam logika dan hitung - hitungan materil di atas tidaklah berkewajiban berjuang atas nama rakyat.

Selain pengatasnamaan itu memang 'debatable', pun sistem ini sudah menjadikan mahasiswa lebih simpel cara berpikirnya, ingin lebih cepat selesai dan cenderung memikirkan nasib sendiri. Minimal mengembalikan modal / biaya yang sudah dikeluarkan selama kuliah.

Mencermati paparan dibatas, ternyata keputusan pemerintah mengubah sistem pembiayaan di Perguruan Tinggi ternyata berimplikasi tidak hanya pada akses dan orientasi mahasiswa yang ingin cepat selesai.

Tapi, juga ternyata berpotensi berdampak pada bisa atau tidak dan wajib tidaknya Mahasiswa berjuang di luar kepentingan dirinya sendiri.

Perihal ini bisa dilihat sebagai pengkondisian yang disengaja, ataupun implikasi tak terduga dari keputusan ini.

 Pendek kata, dewasa ini mahasiswa (tak lagi) selalu harus berjuang karena biaya kuliahnya tak lagi dibayar dari uang rakyat seperti masa sebelumnya, meski kuliah di PT Negeri yang notabene dikelola oleh negara.

Namun, apapun itu, kebijakan pelepasan tanggung jawab pemerintah pada pembiayaan kuliah di PTN (terutama yang berstatus BLU dan PTNBH) via skema UKT dan sejenisnya berimplikasi secara struktural dan kultural terhadap potensi hadirnya kontrol, kritik, dan protes apalagi perjuangan menuju perubahan yang baik dari Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Negeri) di Indonesia dewasa ini.

 Gejala dan fenomenanya sudah kelihatan. Sisa memastikan dan mencermati akan berlangsung dimana saja dan sampai kapan. Semoga saja analisa ini keliru.

Nasrullah Mappatang (Pernah jadi Mahasiswa di FS-UH/FIB UNHAS)
Permulaan Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun