Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Dosen - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital Lecturer Universitas Negeri Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi Bugis "Bukan Laki-laki jika Tidak Berbadik"

26 Februari 2018   10:09 Diperbarui: 27 Februari 2018   16:45 2279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Badik Bugis punya makna khusus terkandung (Pinterest.com)

Kebudayaan Bugis  sendiri merupakan salah satu kebudayaan tua  di Nusantara. Pengaruh kebudayaan Bugis tidak saja hanya dapat ditemukan pada suku- suku bangsa yang hidup sebangsa dan setanah air

namun menyebar hingga lintas negara, seperti Malaysia, Brunai Darusallam, Singapura, serta Filipina Selatan dan Patani di Thailand.

Salah satu aspek kebudayaan Bugis yang hingga kini masih kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat adalah perlakuan dan penghayatan atas senjata pusaka.

Para remaja dan lelaki bugis jaman now mungkin perlu tahu kebudayaan badik dari tanah leluhur kalian. Jangan sampai semakin modern makin lupa mengenai asal usul darah tanah bugis kita. Budaya pop korea dan barat  jangan sampai mendominasi ruh-ruh jiwa petarung dan penjelajah bangsa Bugis. 

Dalam tuturan masyarakat Bugis dikenal ungkapan "bukan laki-laki jika tidak berbadik". Norma ini tumbuh dari nilai kebudayaan yang melihat keberanian, kejantanan, dan kepahlawanan sebagai sesuatu yang baik dan layak dihormati.

Nilai-nilai budaya itu pulalah yang kemudian melandasi lahirnya kebiasaan membawa atau memiliki polo bessi.

Tidak heran jika dahulu jaman old  hingga jaman now masih banyak laki-laki Bugis yang menyenangi, memiliki, dan membawa badik atau keris sebagai simbol social utamanya saat pesta pernikahan

Sebab hal ini menjadi penegasan kultural untuk menjadi lelaki (hero). Hingga hari ini, dalam masyarakat Bugis, nilai-nilai kesatriaandan keberanian masih dipandang sebagai kehormatan dan harga diri yang harus dijunjung tinggi dan selalu ditegakkan.

Berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan tradisional orang-orang Bugis, sebilah keris, badik

ataupun pedang, tidak hanya berdimensi fungsional, tetapi juga untuk mempertahankan diri ataupun menyerang.

Namun, melalui pamor, visualisasi motif, dan  letaknya pada badik atau keris, sebilah keris. badik, ataupun pedang mempunyai nilai simbolis dan filosofis yang tinggi mendalam bagi kehidupan  seseorang.

Badik, keris, pedang, maupun bentuk lain dari polo bessi, merupakan benda kebudayaan. Ukuran dan perbandingan, jenis ragam ukiran hulu dan sarungnya, serta motifmotif tertentu pada pamor,

Semua benda pusaka itu mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dan sistem sosial tertentu bagi pemiliknya.

Pamor, motif, letak, dan ukurannya tidak hanya dimaksudkan sebagai hiasan yang memperindah, tetapi sebagai media komunikasi yang sifatnya tidak tertulis dan nonverbal

Badik Bugis punya makna khusus terkandung (Pinterest.com)
Badik Bugis punya makna khusus terkandung (Pinterest.com)
Dalam kebudayaan Bugis, hal tersebut disebut  sisi, yakni tanda baik atau buruk sebilah polo bessi Pamor polo bessi berfungsi sebagai pemacu semangatnya agar menjadi manusia baik, manusia dengan etos kerja yang tangguh, semangat ingin kaya atau berkuasa, dan hidup mulia

Inti makna pamor bertautan sekurang-kurangnya pada tiga nilai utama yakni: kedigdayaan, kekayaan kebesaran atau kemuliaan. Namun, sebagai pendamping jiwa, polo bessi, baik keris, badik, ataupun

 pedang, tidak akan bermakna sama sekali tanpa hidup  (were) dari Tuhan Yang Maha Kuasa

Konsep were dalam kebudayaan masyarakat Bugis  merupakan prinsip bahwa hanya dengan bekerja keras tanpa bosan, seseorang dapat mengubah nasibnya.

Dalam sebuah naskah kuno yang tertulis dalam daun lontar (Lontara) demikian: resopa na tinulu na temmangingngi, malomo naletel pammase Dewata. Artinya, hanya karena bekerja keras dengan ketekunan dan tanpa bosan maka dengan mudah diperoleh dewata (yang maha kuasa)

Keris Bugis Sapukala Lekko Taji Ure Gantara (Pinterest.com)
Keris Bugis Sapukala Lekko Taji Ure Gantara (Pinterest.com)
Seorang laki-laki Bugis baru akan dianggap sebagai laki-laki dewasa jika pinggangnya telah disandangi keris (ma'ketappi pi ariwina naorowane). Dengan keris, badik, ataupun pedang di pinggang, mereka dianggap sebagai pribadi hukum dan bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Termasuk tanggung jawab atas pilihan dan tujuan hidupnya, sesuai rujukan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidupnya.

Bisa disimpulkan bahwa di zaman setelah masuknya Islam, batas kedewasaan seseorang lelaki Bugis bukan setelah dia dikhitan (disunat). Namun, mereka dianggap dewasa secara adat manakala mereka secara resmi telah disandangi sebilah keris,  badik, ataupun pedang di pinggangnya. Tradisi

 Laki laki menyandang badik, keris, atau pedang menjadi salah satu faktor mengapa pada umumnya laki laki dewasa memiliki persediaan polo bessi.  Dengan siklus "kehidupan dan kematian", maka selalu ada dan banyak senjata pusaka milik seseorang yang diwariskan kepada anaknya dan diteruskan kepada generasi berikutnya secara turun temurun.

Karenanya, setiap keluarga dimungkinkan memiliki senjata pusaka pendamping (tappi) martabat dan harga diri sendiri dan keluarga. Dengan demikian, keris, badik, ataupun pedang memiliki lambang sebagai benda pusaka, lambang kesatuan harga diri dan kehormatan (asiddisiriseng) bagi kelompok keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun