Badik, keris, pedang, maupun bentuk lain dari polo bessi, merupakan benda kebudayaan. Ukuran dan perbandingan, jenis ragam ukiran hulu dan sarungnya, serta motifmotif tertentu pada pamor,
Semua benda pusaka itu mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dan sistem sosial tertentu bagi pemiliknya.
Pamor, motif, letak, dan ukurannya tidak hanya dimaksudkan sebagai hiasan yang memperindah, tetapi sebagai media komunikasi yang sifatnya tidak tertulis dan nonverbal
Inti makna pamor bertautan sekurang-kurangnya pada tiga nilai utama yakni: kedigdayaan, kekayaan kebesaran atau kemuliaan. Namun, sebagai pendamping jiwa, polo bessi, baik keris, badik, ataupun
 pedang, tidak akan bermakna sama sekali tanpa hidup  (were) dari Tuhan Yang Maha Kuasa
Konsep were dalam kebudayaan masyarakat Bugis  merupakan prinsip bahwa hanya dengan bekerja keras tanpa bosan, seseorang dapat mengubah nasibnya.
Dalam sebuah naskah kuno yang tertulis dalam daun lontar (Lontara) demikian: resopa na tinulu na temmangingngi, malomo naletel pammase Dewata. Artinya, hanya karena bekerja keras dengan ketekunan dan tanpa bosan maka dengan mudah diperoleh dewata (yang maha kuasa)
Bisa disimpulkan bahwa di zaman setelah masuknya Islam, batas kedewasaan seseorang lelaki Bugis bukan setelah dia dikhitan (disunat). Namun, mereka dianggap dewasa secara adat manakala mereka secara resmi telah disandangi sebilah keris, Â badik, ataupun pedang di pinggangnya. Tradisi
 Laki laki menyandang badik, keris, atau pedang menjadi salah satu faktor mengapa pada umumnya laki laki dewasa memiliki persediaan polo bessi.  Dengan siklus "kehidupan dan kematian", maka selalu ada dan banyak senjata pusaka milik seseorang yang diwariskan kepada anaknya dan diteruskan kepada generasi berikutnya secara turun temurun.