Mohon tunggu...
Ratu Adil
Ratu Adil Mohon Tunggu... -

Political and Corporate Spy with 15 Years Experience.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hikayat Arcandra BIN Thamrin di Perang tanpa Garis Depan

15 Agustus 2016   17:43 Diperbarui: 15 Agustus 2016   17:56 7858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arcandra BIN Thamrin, bukanlah sebuah nama seperti umumnya didengar Arcandra bin Thamrin. Arcandra BIN Thamrin adalah bukti kegagalan Badan Intelijen Negara (BIN) menangani kenyataan Perang Tanpa Garis Depan. Lepas 17 tahun dari pergolakan atau pembebasan RI 1998, BIN ternyata belum siap menghadapi Perang Tanpa Garis Depan.

Dan ketidaksiapan BIN bermain di era Perang Tanpa Garis Depan, tidak lain menjadi keuntungan dan langkah bonus bagi mereka yang mengincar Indonesia.

Shifting lalu lintas global baik fisik maupun abstrak di milenium ketiga kalender Masehi versi Paus Gregorius ini, memaksa penghuni bumi datar tanpa pagar. Semangat kapitalisasi memunculkan perdagangan multilateral, memicu perpindahan fisik melalui 3 elemen darat, air, udara, melalui revolusi industri angkut, mobil, kapal, pesawat.

Pagar-pagar fisik yang terbentuk pasca kebangkitan kapital, industri dan negara-negara, kini tidak lagi menjadi batas terluar penghuninya. Manusia berstatus penduduk negara A, kini tak melulu hidup dalam batas pagar A. Penduduk A hidup di negara lain, tidak saja bisa menjadi Lurah, tapi sudah sangat Lumrah.

Diaspora penduduk suatu negara di negara lain, melahirkan kebutuhan komunikasi jarak jauh. Migrasi penduduk A ke negara B, sejatinya didorong kepentingan ekonomi dan politik. Oleh karenanya, komunikasi jarak jauh menjadi kebutuhan untuk menjaga kesamaan visi dan misi ekonomi politik negara A di negara lain.

Semula, penduduk negara A disatukan oleh pagar fisik berupa batas wilayah. Diaspora manusia ke segala area kini disatukan oleh pagar elektromagnetik berupa jalur komunikasi global. Sekarang, pertanyaan seluas mana Indonesia? Akan dijawab, sejauh sinyal seluler dan internet mampu menjangkau orang Indonesia.

Sebelum era kenegaraan modern seperti yang menjadi keimanan arus utama saat ini, organisasi masyarakat menganut sistem Cacah. Organisasi Negara Klasik membatasi wilayahnya pada penduduk dan area mereka hidup. Oleh karenanya, pertumbuhan penduduk otomatis juga memperluas area hidup suatu kelompok penduduk, area negara pun ikut meluas.

Perluasan serentak negara-negara pada akhirnya saling berbenturan. Perang pada jaman negara klasik, dipicu perluasan area hidup penduduk yang bertumbuh lalu berbenturan dengan perluasan dari negara lainnya.

Dari sengketa ini, lahirlah konsep pagar fisik yang tetap pada Negara Modern. Negara modern, tidak memperluas wilayah seiring perluasan area hidup penduduk yang bertumbuh. Perluasan Negara Modern menganut model pencaplokan yang biasanya didahului Perang di Garis Depan.

Saat ini, dunia sedang menjalankan pola hidup Negara Post-Modern. Boleh juga disebut, Negara Neo-Cacah. Sebagaimana Bush sering kumandangkan, dimana AS merasa berhak mengejar musuh AS di area negara mana pun. Dan konsep inilah yang kini menjadi keimanan negara-negara adidaya, Neo-Cacah.

Sekarang, orang di sebelah kiri anda mungkin seorang komunis berpaspor Tiongkok, namun sebelah kanan anda boleh jadi penganut kapitalis berpaspor AS. Di depan anda bisa saja Atheis berpaspor Israel, lalu di belakang anda Katolik berpaspor Italia.

Meski di tingkat global, AS dan Tiongkok berseteru, bisa saja si komunis berpaspor Tiongkok dan si kapitalis berpaspor AS, ternyata punya bisnis bersama.

Ringkasnya, kita hidup di jaman masyarakat berstruktur Multi Level Clustering.

Karakter utama sistem masyarakat Multi Level Clustering adalah banyaknya area irisan sebagai dampak tumpang tindih cluster. Ragam klaster bertumpuk yang terkoneksi dalam jejaring komunikasi global, menghidupkan Efek Kupu-Kupu (Butterfly Effect).

Satu kepakan kupu-kupu di Amerika Latin, ikut ambil andil dalam proses berantai pembentukan badai gurun di Islandia.

Aliansi klaster-klaster adidaya dalam sistem masyarakat Multi Level Clastering dalam jejaring komunikasi global, menghasilkan Epicentrum (Pusat Getar). Aliansi Klaster Adidaya Atlantik Utara adalah Epicentrum Arus Utama. Segala kehendaknya, menjadi penggerak yang mempengaruhi seluruh klaster. Sebagaimana Poseidon menentukan arah Ombak Samudra se-Dunia.

Blue Ocean Strategy, dianggap cikal bakal model pembacaan, analisa dan rencana paling pas untuk mengendarai Efek Kupu-Kupu global.

Oleh karenanya, model pertahanan negara wajib memiliki kemampuan bermain dalam gaya Blue Ocean. Tidak bisa serta merta simpulkan Walikota London seorang Muslim memberi dampak bagi gerakan Islam di Indonesia. Begitu juga sebaliknya, Walikota London seorang Muslim belum tentu tidak memberi dampak pada gerakan Islam di Indonesia.

Letupan Thamrin memang hanya di pos polisi Sarinah, bukan di Istana Negara. Namun terjadinya Letupan Thamrin menunjukkan Negara tidak menguasai pagar Imigrasi, transfer ideologi, jejaring bawah tanah, aliran uang gelap, distribusi senjata, jalur komunikasi, dan lainnya secara terintegrasi.

Letupan Thamrin, menunjukkan BIN, TNI dan Polri masih memprioritaskan pagar fisik yang tergolong kebudayaan Abad yang lalu. Jaman sekarang, pos perbatasan RI dijaga ketat, bukan jaminan tak ada musuh di belakang garis (Behind Enemy Line).

Penyelundupan aset-aset makar yang digerakkan asing, kini masuk melalui titik pariwisata, pertukaran pelajar, distribusi farmasi, online shop, start up, investasi asing, dan sebagainya.

Sekarang, pos mata-mata global sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari anda. Setiap anda login Google Account, setiap aktivitas anda dicatat dan disimpan di NSA (National Security Agency).  Smartphone secara otomatis terkoneksi dengan Google Map, memetakan seluruh aktivitas anda secara akurat. Google, kini sudah pegang peta seluruh gedung komersil di dunia. Tentu saja, Google hanya bilang peta gedung komersil. Sejatinya, kita tahu Google kuasai peta rinci tempat tinggal anda dan kemana pun aktivitas anda.

Grup Google juga mengetahui apa yang sering anda cari di search engine. Benak manusia global. Google juga mengetahui tren tontonan yang menjadi demand masyarakat global melalui Youtube.

Grup Facebook, WA dan Instagram menguasai jejaring interaksi individu global beserta segala aktivitasnya dalam Visual. Twitter, BBM, Line dan kanal Social Talk lainnya, mengetahui obrolan keseharian anda secara personal. Chat memonitor aspek paling personal dan privat, yang tidak ingin anda pamerkan dengan posting di Facebook atau Path anda.

Semula, tiap pertemuan Presiden AS dengan para bos Global Monitoring Apps, Yahoo duduk di samping Presiden. Protokoler kontribusi data. Google kudeta Yahoo, bos Google duduk di samping Presiden AS. Beberapa tahun terakhir, bos Facebook yang masih ABG itu, duduk di samping Presiden. Kegagalan Google Plus, menempatkan Facebook di samping Presiden AS.

Google lalu merancang sebuah CSR global berbentuk apps powerful bebas pakai tanpa biaya, bahkan untuk komersil sekalipun. Google Map diintegrasikan secara bebas bahkan untuk tujuan bisnis seperti Go Jek, Grab Car, Uber Food.

Google, kini tak hanya pegang data biaya transportasi anda, tetapi juga apa yang anda makan, layanan salon apa yang anda suka, dan sebagainya. Ada peluang, Google kembali duduk di samping Presiden AS di pertemuan mendatang.

Seluruh data digital dari multi kanal itu, Google, Yahoo, Facebook, dan sebagainya, diintegrasikan melalui Program Prisma, berpusat di NSA. Lembaga super power NSA, mirroring setiap aktivitas digital individu global. Detik ini anda Selfie pakai Hape anda, sekejap NSA juga simpan foto yang sama.

Itulah kenapa perdebatan soal tragedi WTC di AS tidak bicara kebobolan versus kesengajaan, tapi Real Attack vs Self Attack. Semua sudah tahu, AS memiliki sistem yang kecil peluang bobol untuk serangan sebesar WTC.

Bandingkan dengan Letupan Thamrin. Perdebatan condong menilai Letupan Thamrin sebagai kebobolan atau kesengajaan (motif proposal), ketimbang Real Attack. Karena semua tahu, BIN tidak memiliki kemampuan mendeteksi potensi. Padahal, mesin-mesin digital di BIN sudah tergolong advance. Faktor Man Power yang masih bicara Perang Garis Depan ketimbang Perang Tanpa Garis Depan, sumber kegagalannya.

Letupan Thamrin, menunjukkan bahwa pagar batas aman RI yang betul-betul terjaga hanya radius Istana hingga Sarinah. Letupan Thamrin, dunia melihat dengan tertawa, pagar fisik RI ada dari Sabang sampai Merauke. Namun musuh menyelundup di belakang garis (Behind Enemy Line), hanya menyisakan Safety Zone radius Istana hingga Sarinah.

Penting dicatat. Letupan Thamrin menunjukkan, Safety Zone Indonesia hanya dalam radius Istana hingga Sarinah.

Indonesia dalam bahaya.

Lalu kemarin, kita mendengar adanya skandal Menteri berpaspor AS, Menteri berkewarganegaraan AS, Menteri Asing. Boleh orang katakan Menteri ber-Green Card AS bukan Berkewarganegaraan AS. Boleh orang solusikan, kembalikan saja Green Card, Paspor atau status asingnya itu ke negara asalnya. Memang secara ilmu komunikasi, guna cegah ricuh, redam pakai bahasa paling sederhana. Kembalikan status asing yang bikin ia berganda, ke negara asalnya. Beres, Menteri kembali berstatus Tunggal dan WNI.

Akan tetapi, skandal Arcandra menunjukkan proses penyaringan Istana berlubang dan tidak disadari sebelum kejadian. Skandal Arcandra juga menunjukkan BIN tidak mampu membaca potensi kericuhan dari sengketa status kenegaraan seorang Menteri.

Aspek yang lebih vital, skandal Arcandra tidak lain adalah bentuk serangan fisik dan ideologis pada RI. Skandal Arcandra menyibak penyaringan istana yang berlubang (fisik) dan ketidakmampuan Istana menanggapi dampak isu (Ideologis).

Jokowi harus paham serangan apa yang sedang bermain di Skandal Arcandra. Teman-teman internasional menunggu, apakah RI mampu mengambil tindakan cepat sebelum 17 Agustus 2016. Pilihan Jokowi :

  • Pertahankan Arcandra, kembalikan status WN AS ke AS paling lambat 16 Agustus 2016.
  • Copot Arcandra, tunjuk Menteri ESDM baru paling lambat 16 Agustus 2016.

Kenapa harus sebelum 17 Agustus 2016?

Karena Skandal Arcandra adalah suatu bencana atau serangan ideologis. Dunia internasional menanti, apakah RI mampu merayakan HUT Kemerdekaan tanpa Menteri Asing di Lapangan Upacara.

Istana Negara lambat ambil sikap dan rayakan HUT Kemerdekaan Negara masih diiringi Menteri Asing, hilang kehormatan RI.

Besok, Internasional menguji RI, apakah negara ini masih memiliki kehormatan dan menjunjung tinggi Konstitusinya.

Sebab, masih adanya Menteri berstatus Asing di Lapangan Upacara Istana pada 17 Agustus 2016, berarti RI tak lagi berdaulat.

Masih adanya menteri berstatus Asing di Lapangan Upacara Istana pada 17 Agustus 2016, berarti Istana menginjak-injak Konstitusi.

Dan jangan lupa, Jokowi dan Istana salah langkah dalam hal ini, bergeraklah secara viral isu Kedaulatan RI di pelosok target Separatis dan Kerusuhan.

Letupan Thamrin memperlihatkan pada dunia, hampir seluruh wilayah RI adalah Behind Enemy Line, kecuali radius Istana – Sarinah.

Skandal Arcandra memperlihatkan pada dunia, sistem keamanan dan penyaringan Istana Negara berlubang dan bisa disabotase.

Dunia menanti, apakah Istana mampu bertindak cepat demi menghormati Bendera Merah Putih yang dikibar 17 Agustus 2016.

Dunia menanti, wilayah RI yang sejak Letupan Thamrin tersisa radius Istana hingga Sarinah, setidaknya, apakah RI masih punya Kedaulatan.

Sebab jika status Menteri Asing masih hidup di perayaan HUT Kemerdekaan RI, maka hari itu juga Internasional pukul Gong pecah-belah RI.

Dan itulah model Perang Tanpa Garis Depan, tidak hanya menyasar penguasaan fisik, tapi juga jiwa dan akal. Hegemoni.

Dan besok kita akan melihat, apakah RI yang sudah dikepung secara fisik, setidaknya masih membela Kedaulatannya.

Dalam Perang Tanpa Garis Depan, sejatinya bukan pagar fisik yang menjadi tolak ukur utama kekalahan, tetapi juga pagar Ideologi.

Hari ini, Google telah menghapus Palestina dari Peta Dunia. Sebuah manuver besar Google yang sulit diruntuhkan oleh Dunia, manifesto penguasaan model Perang Tanpa Garis Depan.

Palestina hilang dari Google Map, suatu ide dari sebuah kelompok yang tertuang dalam rangkaian kode elektris, namun tak mampu digoyah semua manusia. Bukti kemenangan dan kekuatan armada aliansi Adidaya di Perang Tanpa Garis Depan.

Dan inilah Pekerjaan Rumah bagi Budi Gunawan jika benar ditunjuk jadi Calon Tunggal Kepala BIN pada 18 Agustus 2016. Budi Gunawan seyogyanya menyadari tugas berat mengemban Kepala BIN baru usai Fit and Proper 22 Agustus 2016.

Kita harapkan, Budi Gunawan mampu mentransformasi BIN untuk mampu bermain di Perang Tanpa Garis Depan. Sebab Indonesia sudah menjadi target operasi baru untuk dipecah belah oleh Aliansi Adidaya.

Jika BIN masih mempertahankan prioritas pagar fisik, maka kita mulai belajar legowo Indonesia menghilang dari Peta di 2025.

Mari kita simak kelanjutan kisahnya.

Referensi : 

Ketika Megawati Pilih Djarot dan Tolak Hendropriyono Soal DKI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun