Selain peristiwa-peristiwa Vito bersama ibu dan kakeknya, peristiwa lain yang juga tak kalah menarik adalah peristiwa kebersamaan Vito dengan ketujuh teman sekolahnya dan Pak Amin, gurunya. Namun, dalam narasi sekunder ini, peran Vito tampak tak selalu dominan. Pak Amin yang dicitrakan sebagai guru sekaligus sahabat murid-muridnya, juga menjadi titik pusar dalam narasi sekunder ini.
Selain dalam peristiwa pencurian enau untuk pembuatan ballo’ (tuak yang dicampur dengan ramuan kayu tertentu yang rasanya pahit dan memabukkan) di kebun milik Pak Japareng, peran yang dimainkan Vito sebenarnya tak begitu berbeda dengan peran Irfan, Anugerah, dan teman-teman lainnya. Justru pak Amin memainkan peran yang cukup siginifikan pada bagian kebersamaan antara siswa ini. Pada narasi sekunder ini, fokus cerita seakan beralih kepada Pak Amin.
Terbelahnya fokus cerita ini, sedikitnya berpengaruh pada pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Benarkah penulis sejatinya ingin mengisahkan tentang perjuangan Vito dalam mencari saudara kembar dan ayahnya. Bahwa cinta Vito akan menjadi penawar luka dan perajut cinta yang telah putus antara keluarga ibunya dan keluarga ayahnya. Atau justru penulis ingin mengisahkan semangat hidup anak-anak Pakka Salo dalam mencari ilmu, meskipun penuh dengan keterbatasan.
Dualisme narasi yang tampak menganga ini, menimbulkan kecurigaan bahwa dalam proses kreatifnya, penulis dibayang-bayangi oleh kesuksesan novel Laskar Pelangi. Bila tidak dikatakan sebagai epigon dari Laskar Pelangi.
Jejak bayang-bayang itu dapat ditemui dari pemilihan tokoh-tokohnya. Jumlah siswa sekolah SMP di Pakka Salo ini adalah sembilan orang. Sedangkan di dalam Laskar Pelangi  berjumlah sepuluh orang.
Keberadaan guru pun demikian, dalam Laskar Pelangi awalnya terdapat dua guru dan satu orang kepala sekolah. Dan satu guru kemudian mengundurkan diri karena dapat tawaran mengajar di sekolah yang lebih bergengsi. Pada cerita Lontara Rindu pun sama demikian, dua orang guru, yakni Pak Amin dan Bu Maulindah, dan satu orang kepala sekolah bernama Pak Bahtiar. Dan Bu Maulindah harus mengundurkan diri secara tiba-tiba karena mendapat beasiswa studi ke Jepang. Sejak itu, kisah tentang Bu Maulindah pun selesai dalam novel Lontara Rindu ini.
Bila di dalam novel Laskar Pelangi terdapat lomba cerdas cermat dan parade seni antar sekolah dalam rangka dirgahayu kemerdekaan. Di dalam Lontara Rindu juga terdapat lomba futsal antar sekolah.
Bahkan dalam deskripsi ruang kelas yang dijelaskan di dalam Lontara Rindu pun, terdapat ornamen setting yang benar-benar sama dengan Laskar Pelangi, yakni lemari kosong yang menunggu diisi piala yang dapat mengundang senyum bangga siapa pun yang melihatnya.
Benarkah ini suatu tindakan duplikasi penulisnya terhadap Laskar Pelangi? Atau memang suatu proses kreatif yang di luar kendali kesadaran penulisnya? Entahlah, namun bila mengingat bahwa novel ini adalah pemenang dari hasil penjurian lomba menulis, hal tersebut di atas tentulah patut disayangkan.
Kepandaian penulis dalam menggiling tradisi masyarakat Bugis ke dalam imajinasi penceritaannya menjadi sedikit ternoda. Kerangka imajinasi penulis seakan telah dibentuk oleh novel Laskar Pelangi tersebut. Padahal, sesungguhnya ruh lokalitas sudah cukup baik mengisi narasi Lontara Rindu.
Dualisme narasi yang tercipta di dalam Lontara Rindu juga menyebabkan mengecilnya pesan-pesan tentang nilai dan etos hidup seorang guru, yang disuarakan melalui tokoh Pak Amin. Pesan yang kental mengemuka hanyalah guru itu bukan sekadar menyampaikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya, melainkan juga sahabat bagi murid-muridnya.