Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Balikpapan mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut data DP3AKB, pada tahun 2023 terdapat 132 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun, pada periode Januari hingga Juni tahun ini, jumlah kasus telah mencapai 116.
Kepala DP3AKB, Heria Prisni, menjelaskan bahwa kekerasan ini meliputi berbagai bentuk, dengan rincian sebagai berikut: 27 kasus kekerasan fisik, 4 kasus kekerasan psikis, 77 kasus kekerasan seksual, 4 kasus eksploitasi seksual, 1 kasus perdagangan orang, dan 2 kasus lainnya.
Sementara itu menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan (catahu) 2023. Komnas Perempuan mencatat ada 401.975 kasus kekerasan sepanjang 2023. Kasus KDRT masih sangat tinggi, kekerasan terhadap istri menduduki posisi tertinggi, yaitu 1.573 kasus. Sementara itu, jumlah kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) yang dilaporkan mencapai 518 kasus.
Adapun untuk menyikapi hal ini, DP3AKB menyatakan akan melakukan berbagai upaya, terutama melalui edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif. Sosialisasi yang telah dilakukan akan ditingkatkan, dengan fokus pada masyarakat umum serta sekolah-sekolah. DP3AKB juga melibatkan psikolog dari Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) sebagai narasumber dalam kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di beberapa sekolah. Harapan DP3AKB, dengan langkah-langkah ini, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat ditekan.
Pemerintah sendiri telah membuat Payung hukum yang mengatur spesifik tentang penghapusan KDRT ialah Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU tersebut memberikan mandat kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), untuk bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui perumusan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sensitif gender, serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
Kekerasan dalam rumah tangga sendiri di artikan dalam UU adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tindakan kekerasan yang terjadi dalam keluarga tersebut dinilai oleh pemerintah sebagai akibat dari ketidaksetaraan gender yang melahirkan ketimpangan relasi kuasa. Sehingga pelaku merasa lebih berkuasa dari korban. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari ide HAM tertuang dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) adalah sebuah Kesepakatan Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini mendefinisikan prinsip-prinsip tentang Hak Asasi Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi ini dan pada 24 Juli 1984 telah meratifikasinya melalui UU RI No. 7 Tahun 1984. Dengan diratifikasinya konvensi CEDAW maka Indonesia harus siap membuat program-program yang dilegislasi dalam bentuk UU yang dinilai dapat menghapus diskriminasi terhadap perempuan diantara UU PKDRT, UU TPKS, Permendik PPKS dan lain-lain.
Dengan pandangan ketidaksetaraan gender inilah mereka kemudian memberikan solusi perlindungan hak-hak perempuan dengan mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga dapat dijumpai pasal 51, 52, dan 53 UU PKDRT yang menempatkan tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk fisik, psikis, dan seksual yang dilakukan suami kepada istri sebagai delik aduan. Maka pola pertama penyelesaiannya adalah dengan melalui hukum pidana yang tertera dalam UU PKDRT yang dinilai bersifat refresif. Hal ini ditempuh korban dengan mengajukan laporan di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) disejumlah instansi kepolisian yang berada dibawah naungan satuan reserse kriminal (Satreskrim), perlindungan hukum dan pendampingan terhadap korban.
Kemudiam pola penyelesaian yang kedua adalah diluar hukum pidana bersifat preventif yakni dengan dilakukan pemerintah dibawah kordinasi kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bekerjasama dengan berbagai instansi pemerintah untuk memberikan informasi, edukasi ke masyarakat.
Pada faktanya 20 tahun sudah UU PKDRT disahkan, Sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif untuk menekan kasus pun dilakukan ternyata tidak membuat kasus-kasusnya berhenti. Namun semakin meningkat dan beragam. Artinya penanganan ini belum menyentuh akar persoalan sehingga tidak mampu menuntaskan kasus KDRT.
Rapuhnya Ketahanan Keluarga
Melonjaknya kasus KDRT menjadi tanda rapuhnya ketahanan keluarga Indonesia. Ketahanan keluarga yang harusnya menjadi benteng terakhir perlindungan bagi seseorangpun telah goyah hingga tak kokoh lagi. Mengapa KDRT terus terjadi bahkkan meningkat? Banyak faktor penyebab KDRT, seperti perselingkuhan, persoalan ekonomi, budaya patriarki, campur tangan pihak ketiga, terjerat judi, dan perbedaan prinsip hidup. Namun, faktor yang paling krusial adalah hilangnya fungsi perlindungan dalam keluarga.
Sosok laki-laki dalam keluarga yakni suami, ayah, kakek. Mereka seperti pahlwan yang menjadi pelindung keluarga. Mereka bertanggungjawab untuk menafkahi keluarganya, bekerja keras demi melindungi keluarga dari kelaparan. Mereka juga menyediakan tempat tinggal, serta juga mendidik anak dan isteri melindungi mereka dari kejahatan dan kebodohan.
Namun, fungsi perlindungan itu telah terkoyak. Para laki-laki yang seharusnya menjadi pahlawan pelindung keluarga justru tega melakukan kekerasan pada pihak yang seharusnya ia jaga dan lindungi.
Tingginya kasus KDRT disebabkan oleh dominasi sekularisme dalam perspektif manusia terhadap kehidupan, yang berdampak pada sikap dan pandangan mereka, termasuk dalam konteks hubungan keluarga. Ikatan antara anggota keluarga pada dasarnya adalah ikatan yang didasarkan pada cinta dan kasih sayang. Anggota keluarga saling mencintai dan menghargai satu sama lain.
Dengan adanya cinta ini, perlindungan dalam keluarga akan tercipta. Perempuan dan anak-anak mendapatkan rasa aman dari sosok ayah, saudara laki-laki, serta kakek. Dengan begitu, wanita dan anak-anak akan merasakan kedamaian dalam hidup mereka. Keluarga menjadikan rumah sebagai tempat yang paling aman bagi mereka yang tinggal di dalamnya.
Sayangnya, saat ini fungsi perlindungan ini hampir sepenuhnya menghilang. Figur pria dalam keluarga yang seharusnya berperan sebagai pelindung malah melakukan tindakan kekerasan terhadap anggota keluarganya sendiri. Selain itu, kekerasan tidak hanya terjadi di luar rumah, tetapi juga di dalam rumah.
Sekarang, kekerasan malah dilakukan oleh orang-orang yang paling dekat dengan kita.
Adanya kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan hilangnya rasa kasih sayang antar anggota keluarga. Keterikatan antar anggota keluarga menjadi lemah dan bahkan bisa terputus. Citra keluarga yang sejahtera, penuh kasih sayang, dan rahmat tidak dapat terwujud.
Tingginya jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan bahwa negara tidak berhasil memberikan perlindungan yang memadai bagi warganya di dalam rumah. Situasi ini semakin diperburuk oleh kurangnya jaminan untuk kehidupan yang memadai bagi masyarakat, yang semakin menambah masalah dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh penerapan sistem sekuler liberal di negara tersebut yang mengutamakan kebebasan dan memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Dengan penerapan sekularisme liberal, individu bertindak sesuka hati tanpa memperhatikan ajaran agama.
Islam Memberi Solusi Hakiki
Di dalam sistem Islam keluarga harus memiliki dasar yang kokoh, sehingga tidak mudah tergoyahkan atau hancur. Islam melihat keluarga bukan hanya sebagai sekumpulan individu yang tinggal bersama, melainkan sebagai institusi terkecil yang memiliki peran penting dalam memberikan jaminan perlindungan. Perlindungan dalam keluarga akan menciptakan rasa aman bagi generasi yang akan datang. Ini adalah modal berharga untuk menciptakan generasi Islam yang unggul di masa depan.
Dalam Islam, negara (Khilafah) memastikan terlaksananya peran keluarga melalui berbagai mekanisme. Sistem pendidikan menghasilkan individu yang memiliki kepribadian Islam, yaitu seseorang yang taat kepada Allah Swt. agar tidak menyakiti dan berlaku tidak adil terhadap keluarga.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Bertakwalah kalian semua kepada Allah, dan takutlah kalian dari perbuatan zalim, karena sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim).
Pelaksanaan sistem ekonomi Islam dapat menciptakan kesejahteraan bagi setiap individu, hal ini mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang disebabkan oleh masalah ekonomi. Sistem pergaulan dalam Islam membedakan antara laki-laki dan perempuan, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perselingkuhan. Pemerintah juga akan mengatur media massa untuk mencegah penyebaran konten pornografi yang dapat menimbulkan hasrat seksual.
Dalam hal hukum, negara memiliki institusi pengadilan yang akan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelanggar. Dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian, hukum yang diterapkan adalah hukum Qisas. Sanksi paling berat adalah hukuman mati bagi mereka yang melakukan pembunuhan dengan sengaja.
Sanksi yang ketat akan menciptakan efek pen deterrent, sehingga orang akan lebih berhati-hati dan tidak dengan mudah melukai orang lain, terutama sampai menyebabkan kematian. Pelaku pencabulan akan menerima hukuman yang berat sesuai dengan jenis tindakannya. Dalam konteks kehidupan Islam, masyarakat berperan sebagai kontrol sosial untuk memastikan penerapan aturan Islam, sehingga dapat menjaga keharmonisan dalam keluarga.
Itulah bagaimana keluarga dalam sistem Islam digambarkan, yang menjauhkan mereka dari tindakan kekerasan. Semua dapat berjalan dengan tegaknya syariat Islam secara menyeluruh yang tegak dengan melalui tiga pilar penting yakni individu yang bertaqwa, kontrol masyarakat dan peran negara dalam melaksanakan aturan-aturan Allah. Maka terciptalah masyarakat yang sejahtera dan keluarga yang harmonis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H