Mohon tunggu...
RATNASARI NUGRAHENI
RATNASARI NUGRAHENI Mohon Tunggu... -

I'm just an ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Tetes Air Mata

29 Februari 2012   12:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:44 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bagaimana kabarmu? Sudah satu minggu kita tidak bertemu”, ucapku sambil menyodorkan menu makanan kepadanya.

“Baik”, jawabnya singkat. Ia memesan jus sirsak kesukaannya.

Dingin. Sepasang mata kecilnya pun hanya ditujukan ke arah menu makanan yang ada di hadapannya. Aku tak bergeming. Pandanganku hanya tertuju padanya. Air mulai membasahi atap Café The Sun.

Lima belas menit berlalu. Canggung. Tak ada kata yang terlontar dari mulut kami berdua. Mendadak kami menjadi tuna wicara. Ternyata seminggu sudah cukup membuat segala sesuatu berubah. Mulai dari rambutnya hingga senyumnya.

Gelas cappuccinoku dan jus sirsaknya kosong. Pandanganku menerobos kaca gelasnya, aku melihat jemarinya. Pucat. Pertanda jemarinya tak sehangat biasanya. Pastilah dia kedinginan, karena suasana ataukah rasa canggung yang mulai merayapi sekujur badannya — entahlah.

“Sudah cukup”, katanya. Dia mencairkan susana beku. Namun, aku tetap tidak dapat melihat sepasang mata kecilnya itu. Dia masih menundukkan kepalanya. Sekilas aku melihat jakunnya bergerak, dia sedang menelan ludahnya.

“Lebih baik kita akhiri di sini”, lanjutnya. Dia masih menundukkan kepalanya. Suaranya parau. “Untuk kebaikan kita bersama. Kamu wanita yang baik, pastilah akan mendapatkan pria yang lebih baik.”

Diam. Aku tak mau memaknai kata-katanya. Aku mulai merasakan seluruh badanku mulai bergetar. Dadaku sesak. Mungkin asmaku kambuh. Aku meremas jariku, berusaha menghilangkan gemetar di tanganku. Bibirku terkatup, mungkin saja aku salah memakai lip gloss tadi, mungkin tertukar dengan lem kertas di atas meja. Aku menelan air liur yang memenuhi rongga mulutku. Sebisa mungkin tak terlihat gugup.

“Sayang,” ucapku. Akan tetapi, kata-kataku terputus, karena dia segera menyela ucapanku.

“Maaf,” ucapnya. “Bukan maksudku untuk mempermainkan kamu. Hanya saja, aku tidak tahan dengan semua sifatmu. Kamu terlalu baik untukku.”

Kali ini aku tahu maksudnya. Sakit. Aku pernah merasakan sakit ini sebelumnya. Tapi kali ini lebih sakit. Dia tak berani menatapku. Terus menundukkan kepalanya. Pikiranku semakin kacau. Sifatku yang salah ataukah dia salah mencari alasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun