Hari ini genap satu minggu dia absen mengunjungiku. Gelisah, bimbang, dan takut. Apa dia marah? Ataukah dia sakit? Cemas menjadi teman yang siaga. Kamar berukuran sembilan meter persegi ini pun terasa seperti penjara. Hampa. Bunyi detik jam akrilik pemberiannya yang terus-menerus menjadi sahabat selama sepekan. Ia berusaha menyeimbangi bunyi detak jantungku, dan memasuki pikiranku yang mulai semakin kacau. Seperti bom waktu. Sejenak aku merebahkan badanku yang lunglai di atas kasur yang terbuat dari kapuk, yang kini sudah mulai mengeras, dan mulai merapuhkan tulang punggungku.
Mataku terpejam.
Aku merindukannya. Senyumnya, sepasang mata kecilnya, rambut spike-nya, dan juga jemarinya yang kasar namun hangat. Tetapi gengsiku terlalu tinggi untuk sekedar memuji atau berusaha menghubunginya. Apa dia merasakan apa kurasakan?
Dua jam berlalu. Suara Adele melantunkan lagu Make You Feel My Love terdengar nyata dari ponselku. Mataku mulai terbuka. Nyawaku yang terpencar sudah terkumpul kembali.
“Iya, sayang.”, jawabku lembut, berusaha mengiba, meminta dia membalas kerinduanku. “Oke. Satu jam lagi aku tiba di sana, sayang.”
Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha memilih baju yang cocok untuk pertemuanku dengannya. Sempurna. Itulah yang kuharapkan. Tak sabar aku menunggu waktu untuk bertemu dengannya, kuputuskan untuk datang tiga puluh menit lebih awal. Café The Sun, tempat pertama kali kami bertemu, menjadi saksiku menumpahkan rasa rindu dengannya.
Sejam berlalu. Cemas. Kuhabiskan dua gelas cappuccino hangat. Dia mungkin enggan datang. Tapi, kenapa? Aku yang telah berbuat salah, ataukah dia yang berbuat kesalahan. Aku menghela napas. Samar-samar, aku melihat seseorang menuju mejaku.
Dia datang. Rambut spike-nya berubah, ia terlihat lebih tampan hari ini. Mungkin saja itu karena baju kemeja kotak-kotak yang dikenakannya. Atau, rasa rinduku yang membuat halusinasi ketampanannya.
“Maaf, aku terlambat. Kamu terlihat cantik hari ini”, ucapnya. Alis matanya naik, dia berusaha memperlebar mata kecilnya. Aku tahu, dia sedang mengamati segala sesuatu dalam diriku sebagai obat rindu. Tak salah aku memakai dress yang baru kubeli tiga hari yang lalu. Sengaja kupilih biru, sama dengan warna kesukaannya.
Ia tersenyum. Senyumnya aneh, bahkan terlalu asing.
“Tidak apa”, jawabku lembut. Aku berusaha menutupi rasa kecewaku, entah karena keterlambatannya atau karena sikapnya menjauhiku selama sepekan ini. Apa pun itu, aku hanya ingin hari ini berakhir sempurna.