Malam itu, aku dipanggil untuk tugas yang akan mengubah pemahaman semesta.
Aku bukanlah makhluk yang sering kau dengar, apalagi lihat. Namaku disebut dalam keheningan para malaikat, diucapkan dengan takzim oleh mereka yang mengetahui. Tubuhku tidak terikat oleh hukum alam, dan keberadaanku bukan untuk kemuliaanku sendiri. Aku adalah hamba, sepenuhnya tunduk pada kehendak-Nya.Malam yang Ditulis dalam Takdir
Langit malam di Makkah terasa berbeda. Angin berbisik seolah menyiarkan pesan rahasia, dan bintang-bintang bersinar lebih tajam, membentuk konstelasi yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku menunggu dalam keheningan di dekat Ka'bah, tempat di mana doa-doa manusia naik bagai untaian cahaya ke hadapan Allah. Namun, malam itu ada getaran lain, lebih dalam, lebih agung. Hatiku tahu, malam ini aku akan menyaksikan sesuatu yang tidak hanya mengubah dunia, tetapi seluruh alam raya.
Saat langkah Muhammad mendekat, aku merasakannya sebelum melihatnya. Bukan dari suara kakinya, tetapi dari pancaran ketenangan dan kekuatan yang memenuhi udara. Cahaya dari wajahnya bukan hanya menerangi malam, tetapi mengalir seperti sungai yang menyejukkan hati siapa pun yang dekat. Saat beliau menatapku, aku tidak melihat manusia biasa. Aku melihat pemimpin umat, kekasih Allah, dan harapan seluruh ciptaan.
Ketika beliau menyentuhku, sesuatu yang aneh terjadi padaku. Aku, makhluk yang diciptakan untuk berlari secepat cahaya, merasa waktu berhenti. Di detik itu, aku sadar: malam ini aku bukan hanya tunggangan, aku adalah saksi dari keagungan terbesar yang pernah terjadi.
Kecepatan yang Menembus Dimensi
Kami melesat, meninggalkan Makkah seolah tempat itu hanyalah titik kecil dalam lukisan luas jagat raya. Namun, perjalanan ini bukan sekadar tentang kecepatan. Waktu dan ruang menjadi abu-abu, hilang dalam kekuasaan Allah. Angin yang biasanya mengiringiku kini menjadi diam, tunduk pada misi ini. Aku mendengar dzikir Muhammad memenuhi setiap detik perjalanan. Suaranya merdu, seolah ia sedang berbicara langsung dengan langit, dan aku merasa diriku hanyut dalam kedamaian yang tak tergambarkan.
Ketika kami tiba di Baitul Maqdis, aku hampir tidak percaya pada apa yang kulihat. Tempat ini adalah pusat dari sejarah para nabi. Aku menyaksikan mereka, dari Adam hingga Isa, berkumpul dalam kehormatan dan cahaya. Dan Muhammad , manusia yang berada di punggungku, maju ke depan untuk memimpin mereka semua dalam shalat. Hati kecilku menangis, bukan karena sedih, tetapi karena kebesaran yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri.
Menembus Langit, Bertemu Keajaiban
Langit pertama terbuka seperti tirai yang disingkap. Para malaikat menyambut kami dengan takbir yang mengguncang seluruh eksistensiku. Di sana, Adam menyapa Muhammad dengan senyum yang penuh kasih. Ketika kami naik ke langit kedua, lalu ketiga, dan seterusnya, aku melihat keajaiban demi keajaiban. Malaikat-malaikat yang begitu besar hingga satu sayap mereka menutupi dunia. Bintang-bintang yang ternyata adalah gerbang ke rahasia Ilahi. Dan nabi-nabi lain yang menyambut Muhammad dengan cinta dan penghormatan.
Setiap lapisan langit mengajarkanku satu hal: betapa kecilnya diriku dibandingkan dengan kebesaran ciptaan Allah. Namun, aku juga menyadari bahwa kebesaran itu tidak berarti tanpa Muhammad , manusia yang dipilih untuk menjadi rahmat bagi semesta.
Sidratul Muntaha: Batas dari Segala Batas
Ketika kami sampai di Sidratul Muntaha, aku tahu tugasku selesai di sini. Tempat ini adalah batas di mana segala makhluk berhenti, kecuali Muhammad . Aku menyaksikannya melangkah ke dalam kehadiran Ilahi, membawa harapan dan doa umat manusia. Saat beliau kembali, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Cahaya yang lebih terang, tetapi lembut. Sebuah amanah yang lebih besar, tetapi disampaikan dengan penuh cinta. Aku mendengar beliau berbicara tentang shalat, hadiah yang akan menjadi jembatan antara manusia dan Tuhannya.
Kembali dengan Rasa Syukur
Perjalanan pulang terasa berbeda. Langit malam yang sama kini tampak lebih bermakna. Aku, Buraq, yang diciptakan untuk tugas ini, merasa menjadi makhluk paling beruntung. Aku membawa manusia paling mulia, menyaksikan keajaiban yang tak terlukiskan, dan kembali dengan hati yang penuh rasa syukur.
Bagiku, Isra Miraj adalah bukti bahwa ketaatan kepada Allah adalah segalanya. Malam itu mengajarkanku bahwa kebesaran bukanlah tentang kecepatan atau kekuatan, tetapi tentang bagaimana kita menjadi bagian dari rencana-Nya.
Dan kini, aku menunggu. Mungkin untuk tugas lain, atau mungkin hanya untuk mengenang malam di mana aku menjadi saksi keagungan terbesar yang pernah terjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI