Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Amplop pembawa luka 6

25 Januari 2025   09:48 Diperbarui: 25 Januari 2025   09:48 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi langkah Nafisa menuju Asa (Gambar: doc. pribadi)

part 6

Judul: Langkah Nafisa Menuju Asa

Diminggu-minggu pertama di dunia perkuliahan terasa seperti mimpi yang indah. Aku berjalan dengan langkah ringan menuju kampus, menyimpan harapan besar di dalam hati. Walaupun gaji pertamaku yang kuambil di muka hanya cukup untuk biaya pendaftaran, ibuku masih berusaha memberikan ongkos harian untukku. Namun, perjalanan menuju kampus yang membutuhkan dua kali naik angkot setiap harinya mulai menjadi beban yang berat, bukan hanya untukku, tetapi juga untuk ibu.

Aku tahu, setiap lembar rupiah yang diberikan ibu untuk ongkosku adalah hasil dari kerja kerasnya di sawah. Tangan tuanya yang kapalan menggenggam cangkul, menggali tanah yang sama setiap hari, demi aku bisa meraih masa depan yang lebih baik. Namun, aku bisa melihat kerutan di wajahnya semakin dalam. Aku tahu, meski ia tidak pernah mengeluh, beban ini terlalu berat untuknya.

Beberapa bulan berlalu, dan kenyataan mulai menghimpit. Gajiku dari mengajar di TPQ cukup untuk sekadar bertahan, bahkan uangku seringkali habis sebelum waktunya untuk memenuhi kebutuhan kuliah seperti makalah, modul dan sebagainya. Aku sering meminjam uang dari Zizi, sahabat karibku yang tinggal di kampung sebelah. Dia seperti malaikat yang dikirim Allah untukku. Dengan senyum tulusnya, ia selalu berkata, "Nafisa, jangan sungkan. Aku tahu kamu sedang berjuang."

Zizi juga memberiku ide yang meringankan bebanku. "Ada jalan pintas ke kampus," katanya suatu hari. "Kita hanya perlu naik angkot sekali ke kampus dan sekali lagi untuk pulang. Lebih hemat, kan?"

Aku mencoba jalannya, dan benar saja, ongkosku menjadi lebih ringan. Tapi setiap semester baru tiba, beban itu kembali menekan. Setelah pembayaran uang kuliah semester genap, Zizi sahabatku berhenti kuliah karena sakit yang dideritanya, dan aku tidak punya uang sama sekali untuk naik angkot. Hatiku berat, tapi aku tahu aku tidak punya pilihan.

Hari itu adalah awal dimana aku memulai pertuanlanganku sendiri. Aku melangkah dari kampus sejauh satu setengah jam untuk pulang ke rumah. Langkah-langkahku terasa seperti menggenggam duri. Matahari yang terik membakar kulitku, sementara tas di punggungku semakin membuat tubuh ini limbung. Tapi aku terus berjalan, menundukkan kepala agar orang-orang tidak melihat mataku yang mulai basah oleh air mata. Peristiwa ini sangat sering terulang, dan ini sangat melelahkan dan beratbagiku. Aku sempat berfikir menghentikan segala asa dan berjalan sesuai takdirNya.  Namun hatiku kembali mengingatkan akan pengorbananku yang sia-sia, akan adikku yang akan masuk sekolah, akan janjiku pada ibuku. "Ah... aku bisa!" 

Di tengah perjalanan, aku singgah di masjid kecil untuk beristirahat. Setelah salat, aku duduk di sudut masjid yang sepi. Air dari keran masjid yang sederhana menjadi penawar dahagaku. Aku memejamkan mata, mencoba mengumpulkan kekuatan. "Ya Allah, aku tahu Engkau tidak akan meninggalkanku. Aku hanya ingin kuat," bisikku dalam doa.

Saat aku melanjutkan perjalanan, aku melihat seorang ibu muda berjuang mengangkat kantong besar ke atas motornya. Aku bergegas membantu, meski tubuhku sendiri terasa lelah. Setelah selesai, aku bertanya, "Ibu, apa isi kantong ini?"

"Jilbab, Nak. Saya menghiasnya dengan manik-manik. Banyak pesanan menjelang Ramadhan," jawabnya dengan senyum penuh semangat.

Hatiku tergerak. "Ibu, bolehkah saya belajar dan membantu ibu? Saya punya waktu setelah kuliah, dan saya bisa bekerja di rumah," tanyaku penuh harap.

Ibu muda itu terlihat bahagia. "Alhamdulillah, tentu saja! Saya benar-benar butuh bantuan."

Pertemuan itu mengubah langkahku. Setelah kuliah, dan mengajar, malam hari aku mulai membantu ibu muda itu menghias jilbab. Setiap manik-manik yang kususun seperti doa kecilku untuk masa depan. Alhamdulillah, uang dari pekerjaan ini membantuku mengurangi beban ibu, dan aku semakin jarang berjalan pulang sejauh satu setengah jam.

Dulu sopir angkot yang mengenaliku sering kali menawarkan tumpangan gratis, tapi aku menolaknya dengan halus. Aku tidak ingin berutang budi pada siapa pun. Aku ingin semua perjuanganku berdiri di atas kakiku sendiri.

Malam-malamku kini penuh kesibukan antara kuliah, mengajar di TPQ, dan bekerja menghias jilbab. Tapi hati ini penuh syukur. Setiap tetes keringat, setiap rasa lelah, semuanya terasa ringan saat aku mengingat wajah ibuku yang tersenyum lega.

Aku tahu, langkah-langkahku masih panjang. Tapi aku percaya, setiap langkah ini adalah bagian dari rencana Allah yang indah. Aku tidak akan menyerah, karena di ujung jalan penuh duri ini, aku tahu ada cahaya harapan yang menungguku.

Bersambung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun