Hatiku tergerak. "Ibu, bolehkah saya belajar dan membantu ibu? Saya punya waktu setelah kuliah, dan saya bisa bekerja di rumah," tanyaku penuh harap.
Ibu muda itu terlihat bahagia. "Alhamdulillah, tentu saja! Saya benar-benar butuh bantuan."
Pertemuan itu mengubah langkahku. Setelah kuliah, dan mengajar, malam hari aku mulai membantu ibu muda itu menghias jilbab. Setiap manik-manik yang kususun seperti doa kecilku untuk masa depan. Alhamdulillah, uang dari pekerjaan ini membantuku mengurangi beban ibu, dan aku semakin jarang berjalan pulang sejauh satu setengah jam.
Dulu sopir angkot yang mengenaliku sering kali menawarkan tumpangan gratis, tapi aku menolaknya dengan halus. Aku tidak ingin berutang budi pada siapa pun. Aku ingin semua perjuanganku berdiri di atas kakiku sendiri.
Malam-malamku kini penuh kesibukan antara kuliah, mengajar di TPQ, dan bekerja menghias jilbab. Tapi hati ini penuh syukur. Setiap tetes keringat, setiap rasa lelah, semuanya terasa ringan saat aku mengingat wajah ibuku yang tersenyum lega.
Aku tahu, langkah-langkahku masih panjang. Tapi aku percaya, setiap langkah ini adalah bagian dari rencana Allah yang indah. Aku tidak akan menyerah, karena di ujung jalan penuh duri ini, aku tahu ada cahaya harapan yang menungguku.
Bersambung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI