Hari itu, aku pulang dengan hati yang berat. Ujian pondok masih harus kulalui, tapi semangatku hampir habis. Bagaimana aku bisa fokus jika pikiran tentang biaya sekolah terus menghantui?
Namun, di tengah kepedihan itu, Allah menunjukkan jalan-Nya.
Di suatu pagi, suara mikrofon dari kantor pesantren memanggil namaku. Dengan langkah gugup, aku menuju kantor. Di sana, ustazku menatapku dengan sorot mata penuh arti.
"Bagaimana rencanamu setelah lulus, Nafisa?" tanyanya lembut.
Aku terdiam, menundukkan kepala. Tidak ada jawaban yang bisa kuberikan selain keheningan.
Ustaz melanjutkan, "Kami tahu tentang keadaanmu di rumah. Dan setelah mempertimbangkan, pihak sekolah memutuskan memberikan beasiswa penuh untukmu. Semua hutang SPP-mu dilunasi, dan biaya sekolah selama tiga tahun ke depan akan ditanggung sepenuhnya, jika kamu melanjutkan pendidikan di sini."
Dunia serasa berhenti. Kata-kata itu seperti hujan di tengah musim kemarau panjang. Aku tersungkur, menangis sejadi-jadinya. "Alhamdulillah... Alhamdulillah, ya Allah..." hanya itu yang bisa kuucapkan.
Aku pulang membawa kabar itu kepada ibuku. Tangis kami pecah bersama. Ia memelukku erat, bersujud syukur sambil berulang kali mengucapkan doa. "Allah selalu punya cara, Nafisa. Ibu tahu Allah tidak akan meninggalkan kita."
Malam itu, aku termenung lama di depan buku-buku. Masa depanku memang tidak seperti yang pernah kubayangkan, tapi aku yakin ada hikmah di balik setiap ketetapan-Nya. Aku mulai bertanya pada ustaz tentang jurusan yang bisa kuambil di masa depan.
"Ada tiga jurusan utama untuk lulusan pesantren," katanya. "Muamalah, Keguruan Islam, dan Ahwal Syakhsiyah atau Peradilan Agama."
Aku merenung panjang. Hingga akhirnya aku memilih Peradilan Agama. Bukan karena aku menyerah pada cita-citaku, tapi karena aku percaya, jalan ini adalah yang terbaik yang Allah pilihkan untukku.