part 4
Judul: Pelita di Ujung Gulita
Langit sore itu seakan mengerti suasana hatiku. Mendung bergelayut, seperti tangisan yang tertahan di kelopak mataku. Aku duduk di beranda, amplop kelulusan itu tergenggam erat di tanganku. Isinya sudah kubaca tadi di sekolah: peringkat 12 dari 50 peserta. Tidak terlalu tinggi, tapi bagiku ini adalah kebahagiaan yang tak terhingga. Setidaknya, aku lulus.
Namun, di balik rasa syukur itu, hatiku teriris mengingat wajah ibuku. Sejak pagi, ia hanya tersenyum lemah, menyembunyikan beban yang jelas tergurat di wajah tuanya. Rambutnya kini lebih banyak uban, dan garis-garis kerut di dahinya menjadi saksi bisu dari perjuangannya sebagai seorang ibu tunggal.
Dengan gemetar, kuulurkan amplop itu ke tangannya. "Bu, ini hasil kelulusan aku," ujarku lirih, mencoba terdengar bahagia.
Ibuku membuka amplop itu perlahan. Matanya yang lelah menyusuri kertas pengumuman itu, lalu ia tersenyum. "Alhamdulillah, Nafisa. Kamu lulus," katanya sambil memelukku erat. Tapi aku tahu, di balik senyum itu, ada kekhawatiran besar yang ia sembunyikan.
"Setelah ini, apa lagi yang harus kuberikan untukmu?" mungkin itu yang ada di pikirannya.
Aku tidak berani bertanya. Aku tahu, biaya melanjutkan sekolah adalah mimpi yang terlalu mahal untuk kami. Ayah sudah lama pergi, dan sejak itu, hidup kami penuh dengan perjuangan tanpa jeda. Jika aku meminta pada ayah, aku tahu jawabannya hanya akan menambah luka hatiku sendiri.
Di sekolah, teman-temanku sibuk merayakan kelulusan. Mereka berbagi cerita tentang rencana masa depan, sekolah mana yang akan mereka tuju, cita-cita apa yang ingin mereka kejar. Namun aku hanya diam di sudut kelas, mendengarkan dengan senyum tipis yang kupaksakan.
"Cita-citamu apa?" tanya seorang teman dengan wajah ceria.
Aku terdiam. Aku punya cita-cita, tentu saja. Aku ingin menjadi seorang jurnalis. Tapi, apakah mimpi itu pantas kuucapkan di tengah kenyataan yang menghimpit ini?
Hari itu, aku pulang dengan hati yang berat. Ujian pondok masih harus kulalui, tapi semangatku hampir habis. Bagaimana aku bisa fokus jika pikiran tentang biaya sekolah terus menghantui?
Namun, di tengah kepedihan itu, Allah menunjukkan jalan-Nya.
Di suatu pagi, suara mikrofon dari kantor pesantren memanggil namaku. Dengan langkah gugup, aku menuju kantor. Di sana, ustazku menatapku dengan sorot mata penuh arti.
"Bagaimana rencanamu setelah lulus, Nafisa?" tanyanya lembut.
Aku terdiam, menundukkan kepala. Tidak ada jawaban yang bisa kuberikan selain keheningan.
Ustaz melanjutkan, "Kami tahu tentang keadaanmu di rumah. Dan setelah mempertimbangkan, pihak sekolah memutuskan memberikan beasiswa penuh untukmu. Semua hutang SPP-mu dilunasi, dan biaya sekolah selama tiga tahun ke depan akan ditanggung sepenuhnya, jika kamu melanjutkan pendidikan di sini."
Dunia serasa berhenti. Kata-kata itu seperti hujan di tengah musim kemarau panjang. Aku tersungkur, menangis sejadi-jadinya. "Alhamdulillah... Alhamdulillah, ya Allah..." hanya itu yang bisa kuucapkan.
Aku pulang membawa kabar itu kepada ibuku. Tangis kami pecah bersama. Ia memelukku erat, bersujud syukur sambil berulang kali mengucapkan doa. "Allah selalu punya cara, Nafisa. Ibu tahu Allah tidak akan meninggalkan kita."
Malam itu, aku termenung lama di depan buku-buku. Masa depanku memang tidak seperti yang pernah kubayangkan, tapi aku yakin ada hikmah di balik setiap ketetapan-Nya. Aku mulai bertanya pada ustaz tentang jurusan yang bisa kuambil di masa depan.
"Ada tiga jurusan utama untuk lulusan pesantren," katanya. "Muamalah, Keguruan Islam, dan Ahwal Syakhsiyah atau Peradilan Agama."
Aku merenung panjang. Hingga akhirnya aku memilih Peradilan Agama. Bukan karena aku menyerah pada cita-citaku, tapi karena aku percaya, jalan ini adalah yang terbaik yang Allah pilihkan untukku.
Malam-malam berikutnya, aku mengulang hafalan Al-Qur'an sambil berdoa. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjalani jalan ini dengan sebaik-baiknya. Meski tidak mudah, aku percaya Allah selalu bersamaku.
Dan di ujung setiap gulita, ada pelita yang menanti. Aku akan terus berjalan, meski dengan langkah tertatih. Karena aku tahu, pelita itu akan membimbingku menuju masa depan yang penuh harapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI