Mohon tunggu...
Ratna Ning
Ratna Ning Mohon Tunggu... Administrasi - Ratna Ning, Ibu Rumah Tangga yang masih menulis

Ratnaning, seorang Ibu rumah tangga yang senang/hoby menulis. Beberapa tulisannya pernah tersebar di media Massa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pak Tua yang Menyusuri Selokan

20 Januari 2020   23:52 Diperbarui: 21 Januari 2020   23:39 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kakek tua di hamparan lahan. (Sumber: pixabay.com/mabelamber)

Sejak pengsiun beberapa bulan lalu, Pak Tua itu sering jalan-jalan setiap pagi dan sore hari, menyusuri selokan besar yang ada di kanan jalan. Karena rutinitasnya itu, semua orang sudah hafal lagi kapan jadwal ia berjalan dan aktipitas apa saja yang akan dilakukannya. 

Biasanya, ia akan berjalan menyusuri selokan hingga ke ujung kampung yang terhampar sawah-sawah. Berhenti di sana. Mengitari sawah-sawah. Hanya melihat-lihat saja seperti mandor. Pada setiap orang yang bertanya dan dijumpainya, Ia pun akan berkata sedang menengok sawah.

Setelah itu, ia kembali pulang dengan menyusuri tepian selokan. Berhenti di tanggul, menyibakkan air yang menggenang di bawah tanggul dengaan tongkatnya. Jika ada ikan kecil berkecipak, ia seperti kegirangan.

Tanggul itu berada tepat di pertigaan, ujung kampung. Di depan tanggul ada rumah seorang janda setengah baya yang setiap pagi dan sore menyapu halaman dan menyiram bunga. 

Pak Tua itu selalu mengajak ngobrol perempuan itu. Kemudian berkembang desas-desus, Pak Tua sedang mengalami puber kedua. Ia jalan jalan setiap pagi dan sore, karena kesengsem janda.

"Jangan jalan-jalan lagi, Pak. Ibu mendengar omongan tak enaak dari para tetangga. Katanya, Bapak kecantol janda. Tiap hari menyambangi rumah janda, pura-pura jalan-jalan. Iya to Pak?" Istrinya menegurnya suatu pagi. Pak Tua yang sudah siap-siap berjalan, merandek. Menggeleng.

"Gunjingan edduan. Tak kan aku berbuat hal memalukan itu di usia tuaku ini Bu." jawab pak Tua melegakan hati istrinya.

"Aku kan menengok sawah Bu. Menengok kolam-kolam ikan kita juga. Kebun. Meski tenagaku sudah tak kuat, tapi apa salahnya aku hanya ingin pergi menengok?" Pak Tua menceritakan perihal kekayaannya dengan mata yang berbinar.

Jika sudah begitu, istrinya tak bicara lagi. Ia membawa tunduknya. Mengangguk. "Iya Pak..."

Suatu hari, |Pak Tua didapati orang yang lewat, terjungkal sewaktu mengais tongkatnya di selokan. Sejak itu, Pak Tua tak terlihat lagi setiap pagi dan sore jalan-jalan menyusuri tepiaan selokan. Menengok sawah-sawah orang.

Pak Tua sakit.

Ia selalu menceracau dalaam sakitnya. Mengatakan kerinduannya mencangkul, meratakan galangan sawah, mengurus padinya sampai waktu panen tiba. Rutinitas yang diseling dengan mengurus tiga kolam ikan, setiap hari sepulang dari tugasnya menjadi staf di salah satu instansi. 

Ia bilang, ia lebih bahagia menjadi Petani. Hasil panen padinya yang melimpah, ditambah dari hasil panen ikan-ikannya itu yang telah mengantarkan ketiga anaknya menjadi sarjana. 

Kedua anaknya malah sudah mendapat posisi tinggi di dua buah perusahaan di kota. Hanya satu anaknya saja yang tinggal bersamanya. Memilik rumah besar di depan rumah mereka, yang mengikuti jejaknya menjadi ASN.

Pak Tua merindukan masa-masa pengsiunnya dengan mengisi kegiatan bertani, berkebun dan menanami ikan-ikan di kolamnya. 

Sayang, tiga tahun lalu sebelum ia pengsiun, sawah, tanah kebun dan tiga kolam ikannya telah dijual oleh ketiga anaknya. dengan alasan, mereka tak ingin di masa tua bapaknya, semakin letih mengurus tanah-tanah itu.

Lalu mereka menggunakan uang itu untuk membangun rumah-rumah mewah mereka dan membeli mobil. Pak Tua menghembuskan nafas terakhir setelah terus menceracau tentang kerinduannya pada sawah dan kolam-kolam ikannya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun