Kau ingat lagi Mei, berapa halaman buku cerita yang kita baca bersama, di bawah purnama kesukaanmu dan laut tempat lepasnya rindu. Kau penah meng”iya”kan kita akan menghabiskan malam-malam yang terang berdua. Aku menagihnya, dalam doa dan penantianku. Namun, entah pada siapa mestinya cerita ini bermukim Mei, pada lekuk tubuhmu atau kusimpan saja dalam kitab kenang yang pernah kubacakan untukmu dimalam lalu.
Sebuah kenaifan bagiku telah melibatkanmu dalam perasaan yang kujunjung tinggi dan memilihmu sebagai kekasih yang kusimpan sendiri, sekalipun sudah ku tahu Mei bahwa hatimu telah lebih dulu berpulang pada lelaki perbatasan yang mencintaimu dengan sangat tenang. Percayalah Mei, akan kucipta surga di bumi dan meminangmu dengan penuh puisi agar purnama malam ini sepenuhnya terbuka kemudian berpulang pada pangkuan dan tatapanmu yang masih basah.
Aku kembali meyakinkan diri Mei, bahwa akulah pemilik segala bentangan langit biru dan gelombang laut yang penuh cumbu senyummu. Aku menyadarinya, bahwa tiap debur ombak yang pilu selalu menjadi pengantar nasib baikku untuk mempertahankan perasaanku padamu agar tetap utuh.
Mei, aku yang mencintaimu dengan segala luka yang menyeluruh, menyumpat dimensi waktu pada nafas yang seringkali tak teratur jika berada di dekatmu, ini sebuah kegilaaan bagiku.
Selamat atas kemenanganmu Mei, yang diam-diam sengaja mengajariku bagaimana cara bahagia dan menghadirkan keterpurukan dalam dada. Aku mampu bertahan ternyata. Dengan segala kesaksian yang menuntutku untuk tetap baik-baik saja sekalipun mesti kusambut dengan akrab luka yang mengelana. Pikiranku tak sampai pada degub jantung pertama- dimana mata kita sama-sama beradu dengan sebuah senyum getir yang membuatku candu padamu. Lihat saya, lagi! Aku tenggelam pada kedalaman debar jantungmu malam itu.
Mei;
Aku dengan kekasihmu siang ini Tafqi, rasa salah kembali memburuku dan keinginan untuk segera pergi meninggalkanmu semakin kuat. Namun, lagi-lagi aku terperangkap pada kepasrahanmu yang melampaui batas, kekasihmu begitu mempercayai persaudaraan kita yang tak pernah lekang oleh masa. Sekali-kali senyumnya tersungging di kelopak mataku. Betapa bahagianya Dia ketika menceritakan kebiasaanmu, iya. Menikmati purnama yang cantik di tengah bukit yang penuh cinta. Tiba-tiba ada yang menyelinap dalam dadaku, sebuah desakan yang mengundang darah agar menetes sengaja, aku terluka ternyata.
Pergilah, kita punya mimpi dengan jalan yang berbeda. Kau akan hidup dengan kebahagiaanmu dan aku akan lebih bahagia dengan ketenangan yang menanti. Percaya pada takdir dan mari bersamaku membuang semua ambisi ini.
Teruskan perjalanmu bersama kenangan itu, aku Ikhlas untuk yang keedua kali. Banyak masa depan yang perlu bertuliskan namamu dan nama kesihmu. Dan aku tunggu itu semua.
Kita akan tetap berjumpa dengan jalan dan perasaan yang berbeda. Jantung kita yang berdetak lirih itu akan segera berakhir, besok ketika kedip matamu sudah tidak kusimpan lagi. Dan itu adalah kewajiban yang perlu aku tunaikan. Sekarang .
Dulu ketika kita sama takluk akan kenyamanan ini. Hal yang ditinggalkan adalah kesadaran persaudaraan. Dan sekarang tiba masanya kita kembali pada jalan itu. Tak ada alasan lain, sungguh. Demi perdamaian.