Merapal Bayang
(karena sesungguhnya aku betul mengaji bayangan di hari-harimu, Kasih)
Mei;
Diam-diam ketika kenanganmu memintaku pergi. Seperti aku harus membentang jarak seluas-luasnya antara mataku dan matamu, antara kataku dan kata-katamu lagi hatiku dan hatimu agar tidak pernah bertemu dan bercumbu. Kewajiban yang perlu aku tunaikan dalam hidup bukan menghilangkan segala tulisan yang mengenaimu tapi bagaimana taka ada cerita lagi, tak ada pikiran baik yang mengenai topik “kamu” lagi yang hinggap di otakku.
Kenanganmu mengirim ucapan terimakasih atas lukaku, dia tidak kejam, sayang. Sebagaimana kehadiran suara kita yang terbahak-bahak saat bertukar cerita atau ketika berhari tak bersua dan harus berjumpa dengan mengatasnamakan “aku kangen kamu”. Rasanya sia-sia saja kepecundangan dalil yang bertema persatuan, persaudaraan atau kesetiaan telah menerjang dada kita masing-masing. Aku tetap tertuntut untuk pergi.
Suatu hari ketika debarku lebih kencang dari suara seng yang tertiup angin, dan ketenanganku yang tergadai oleh keraguan-keraguan mengenai namamu. Aku larut dalam buaian masa , dimana aku harus benar lupa pada pernyataan dan ikrar kita. Aku mati dalam kata kenanganmu yang tiba-tiba datanng lalu menyuruhku pergi, secara diam-diam.
“kita tidak akan menjadi orang yang salah selagi kita bisa menjaga”. Selalu begitu, seakan hal-hal yang bermunculan di otakmu lebih jelas melacak nasib dari pada beriman pada sejarah. Namun inilah ketakutan, ia datang tiba-tiba dan entah kapan perginya.
“kepasrahanku melapaui batas. Jangankan untuk menebas kisah bersama kenangan, untuk melebur bersama kesalahan pun aku mau, agar ada jalan yang mennyatukan aku denganmu”. Pikiranmu tetap saja begitu, Tafqi bendungan yang mengelilingi cerita kita bukan masalah yang dibuat oleh orang jauh yang tak penah kita kenal, bendungan dengan lumpur masalah itu datang dari kemauan kita. Aku menghormati persaudaraan ini dan mencintai pejuangan kita semua, tak terkecuali kekasiku dan kekasihmu.
Tafqi;
Aku kembali ke kota ini. Setelah berpamitan kepada lekuk senyum dan ikhlasanmu. Akulah rokok yang kau larang itu Mei. Cinta yang menyulut dirinya sendiri, hingga jadi arang dan abu. Biarlah aku kandas dalam keterpaksaan api-api yang merajalela. Aku rokok katamu yang rela harus terpanah berkali-kali dan semakin mencintaimu.
Betapa berdosanya aku yang dengan sengaja memeluk tanganmu dengan erat tanpa ingin melepasnya meski sekejap. Kau diam. Semakin tak mampulah aku dengan kenyamanan itu. Aku ingat benar, hari itu ulang tahun kekasihmu, sahabatku, aku mendatangi luka sendiri.