Mohon tunggu...
Ratna Islamiati
Ratna Islamiati Mohon Tunggu... -

Hidup hanya sekali, jadi niatkanlah untuk lurus...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sarjana Itu Lahir dari Balik Kemudi...

9 September 2011   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_133799" align="alignnone" width="680" caption="ilustrasi: forum.vivanews.com"][/caption]

Merindukan metro mini seperti merindukan sisi lain kehidupan yang sesungguhnya tak ingin ku jamah dan ku sentuh. Namun sisi-sisi unik metro mini kerap mengantarkanku menuju suatu pelajaran yang tak mungkin kudapatkan di atas Mitsubishi hitam ku yang sesungguhnya menawarkan kenyamanan dan keistimewaan.

Namun bukan itu yang ku cari disini, meski kerap terlihat asing aku berusaha mati-matian agar sosok-sosok metro mini menerimaku dengan ulurannya hanya sekedar berbagi kisah dan cerita.

Sosok sederhana ini aku kenal dari sebuah jurusan di jalur ke empat Terminal BLOK- M dengan seri trayek 69 jurusan BLOK-M ke Ciledug.

Lelaki paruh baya ini menghabiskan hari-harinya hanya di balik kemudi metro mini sejak tahun 1976 hingga saat ini. Lelaki paruh baya ini tidak pernah berganti profesi. Paling hanya berganti trayek jurusan saja.

Seperti pagi yang lalu. Berdesakan dengan para penumpang hanya untuk mencari kenyaman di dalam metro mini yang 'ngap' dan penuh aroma solar, bensin, oli, asap rokok dan parfum murahan serta aroma keringat para pencari kelayakan hidup di Jakarta. Aku ikut asyik ria meski dengan kepanikan luar biasa menikmati paginya Jakarta yang kerap berpacu dengan sang waktu. Hufff.., akhirnya kudapatkan juga bangku favoritku, ya duduk disamping pak supir....

Asap mengepul, bergulung-gulung melingkar seperti bola-bola lalu pecah oleh angin, saat di hembuskan dari bibir kasar dan hitam lelaki supir itu. Ya..., asap rokok yang keluar dari celah-celah bibir lelaki paruh baya itu menemani sang lelaki itu yang menatap kosong ke arah jalanan. Dasar otak yang selalu usil dan ingin tahu, iseng aku curi-curi kesempatan melirik dan menganalisa apa yang ada di benak si supir itu. Harapan kosongkah atau semangat hidup yang tinggi? Ternyata Tuhan mendengar pinta ku. Si lelaki tua itu memberikan senyuman teduhnya kapadaku. Tanpa membuang kesempatan aku menyapa dengan senyum manisku.

"Pagi ini lumayan ramai ya pak."

"Iya mbak, alhamdulillah... lumayan bisa buat tambah bayar semesteran anak saya yang Ragil."

'Anak saya yang Ragil,' berarti yang bungsu. Aku berpikir berapa jumlah putra bapak ini? Lalu sambil sesekali menyesap tembakaunya lelaki tengah baya itu bertutur sederhana kepadaku sambil menunggu metro mininya mulai penuh.

"Saya ini orang gak sekolahan mbak. SD saja saya tidak lulus tapi yang penting saya bisa baca dan coret-coret buat tanda tangan meskipun cuma sederhana. Tapi saya memiliki mimpi besar yaitu dari tangan supir metro mini ini saya bisa mengantarkan anak-anak saya untuk menjadi sarjana. Biar mereka memiliki hidup layak tidak seperti bapak juga ibunya yang hanya penjual rokok di pinggir jalan dekat kampung saya. Anak saya lima dan saya bersyukur ketiga anak saya sudah sarjana. Ada yang lulusan IAIN, UNBRAW lalu STAN dan yang Ragil ini di BSI. Tapi yang nomor dua lulus STM dia ikut program BLK lalu jadi TKI ke Jepang.

"Nama saya Suwito...orang banyak panggil saya dengan sebutan babeh Wito mungkin karena usia saya sudah sepuh dan mirip babeh hehehehe...," derai renyah dari bibir bapak tengah baya itu sejenak membuatku ikut merasa takjub. Sosok babeh yang di kenal dengan nama Suwito ini mampu membuatku terpukau.

Kesederhanaan dan pola pikir yang tidak 'neko-neko' tapi di balik itu semua babeh memiliki mimpi yang amat luar biasa, yaitu melahirkan sarjana-sarjana dari tangan kasarnya meski harus bergulat dan berjuang dengan kerasnya ibu kota.

"Meski kini anak-anak saya sudah lumayan kehidupannya namun entahlah mengapa saya justru tidak bisa meninggalkan profesi sebagai supir ini. Padahal semua anak saya sudah menyuruh saya istirahat namun saya bersikeras menolaknya. Saya bangga dan bahagia duduk di belakang kemudi ini. Ada kepuasan tersendiri jika saya bisa mengantarkan penumpang saya ke tempat tujuannya dengan selamat. Entah itu mereka yang bekerja atau yang sekolah. Dan yang paling membahagiakan buat saya lewat kemudi ini saya mampu mengantarkan anak-anak saya mendapatkan apa yang seharusnya mereka peroleh dari orang tuanya. Hanya itu saja mbak.... Saya ini hidup tidak mau 'neko-neko' yang penting bisa makan dan ketemu nasi lalu bisa bayar uang sekolah anak, itu sudah cukup."

"Sering saya prihatin melihat teman-teman sesama supir yang kadang perilakunya tidak perhatian terhadap keluarganya. Kerap saya sekedar menasehati dan mengingatkan. Syukurnya beberapa orang mengikuti nasehat saya. Pokoknya saya tidak mau jadi orang yang kacang lupa kulitnya dan tidak bersyukur.... Sampai akhir hayat saya, biar saya tetap di belakang kemudi ini. Karena inilah kebanggaan saya, dan saya bahagia dengan pekerjaan ini."

Obrolan sederhana itu tanpa sadar akhirnya menghentikan kami dan setelah metro itu penuh dengan penumpang melajulah metro itu dengan kecepatan sedang. Babeh Wito terlihat bahagia di belakang kemudinya mengantarkan kami, para penumpang sampai tujuan dengan selamat.

Sosok sederhana yang menginspirasiku pagi ini, adalah sosok tauladan yang patut kita tiru. Kebanggannya akan sebuah profesi tanpa harus melihat kedudukannya dari strata sosial, namun rasa bahagia dan nyaman mampu mencukupinya. Kegigihan dari seorang babeh yang sanggup mengantarkan semua buah hatinya menjadi sosok-sosok yang layak di banggakan dalam keluarga besar. Siapa yang akan menyangka sosok lelaki tua yang berperawakan kasar itu ternyata memiliki kebanggaan yang hampir segelintir orang sudah tidak memilikinya.

Rasa syukur akan sebuah nikmat, ditunjukkan oleh babeh Wito dengan keputusannya untuk tetap menyupir metro mini hingga akhir hayatnya. Meski semua anak-anaknya telah mampu membahagiakannya dan mencukupinya. Peningkatan status sosial keluarganya di dalam masyarakat, tidak membuatnya silau dan lupa dari mana dia berasal. Sosok sederhana yang amat memukau nuraniku. Dan pertanyaan sederhana kembali hadir di jiwaku...ya, mampukah aku seperti sosok babeh Wito?

Diakhir perjalanan tidak lupa aku sematkan sebuah puisi sederhana yang aku tulis di sebuah notes dan aku titipkan kepada sang kenek untuk di berikan kepada sang babeh, hanya sebagai ungkapan terima kasih telah berbagi kisah denganku....

"Sukses adalah sebuah perjalanan bukan tujuan akhir, success is journey not a destination."

*** Berharap hari ini segala hal terlewati dengan baik dan bernilai ibadah..., salam ***

**** AL ****

*Untuk babeh Wito, terima kasih telah berbagi kisah sederhana ini yang buat saya amat luar biasa...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun