Mohon tunggu...
Ratna Dewi Candra
Ratna Dewi Candra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa tahun terakhir dari Universitas Kristen Petra

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ungkap Misteri di balik Supersemar

30 November 2018   20:40 Diperbarui: 30 November 2018   20:47 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nasional.kompas.com
nasional.kompas.com
Meski sudah berusia sekitar 52 tahun, Surat perintah 11 Maret atau yang biasa disebut dengan Supersemar ini masih menuai kontroversi dan menyimpan segudang misteri. Supersemar yang merupakan surat sakti yang memulai masa pemerintahan Soeharto (orde baru), sekaligus "menyigkirkan" Soekarno (orde lama).

Pengungkapan misteri seputar Supersemar bisa dibilang menemui jalan buntu karena surat asli Supersemar tidak diketahui keberadaannya. Ia hilang secara misterius. Bersama dengan hilangnya surat maha penting itu, mulai muncul beberapa spekulasi. Orang orang mulai bertanya mengenai siapa yang menyimpan surat itu, siapa sebenarnya yang membuatnya, seperti apa isinya, hingga tujuan dibuat dan bagaimana perintah itu kemudian dilaksanakan.

Dalam artikel "Arsip Supersemar 1966" oleh Kompas.com pada 10 Maret 2015, dituliskan: Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk mengawal jalannya pemerintahan saat itu.

Namun hingga saat ini, setidaknya ada tiga versi naskah Supersemar yang beredar di masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan pertanyaan di benak masyarakat seperti "Mengapa ada tiga? Manakah naskah yang asli? Apakah ada bagian yang ditutupi?"

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini masih menyimpan tiga naskah Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi masing-masing.

Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri ciri:

  1. jumlah halaman dua lembar
  2. berkop Burung Garuda
  3. diketik rapi
  4. di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama "Sukarno".

Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri :

  1. jumlah halaman satu lembar
  2. berkop Burung Garuda
  3. ketikan tidak serapi versi pertama
  4. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku saat itu.
  5. Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama "Sukarno", pada versi kedua tertulis nama "Soekarno".

Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri ciri:

  1. jumlah halaman satu lembar
  2. sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi
  3. kop surat tidak jelas
  4. hanya berupa salinan
  5. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.

"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ucap Asvi Warman Adam, seorang peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan pada Kamis (10/3/2016). Selain yang disimpan ANRI, ada beberapa pihak lain yang mengaku memiliki naskah aslinya (menurut buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, halaman 80).

Beberapa sumber menjelaskankan bahwa naskah asli Supersemar disimpan di sebuah bank di luar negeri, sedangkan sumber lain menjelaskan bahwa naskah yang sebenarnya sudah tidak ada karena dibakar dengan tujuan tertentu. 

Dalam wawancara oleh Majalah Forum edisi 13, pada 14 Oktober 1993, mantan Pangdam Jaya sekaligus mantan Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud mengatakan bahwa naskah asli Supersemar telah diserahkan oleh Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat. Namun kemudian, Soeharto menyerahkan surat itu kepada Soedharmono untuk pembubaran PKI. Setelah itu surat tersebut hilang.

Tidak ada yang tahu apakah surat itu dikembalikan kepada Soeharto atau tidak karena Soedharmono mengaku tidak menyimpannya. Menurut Amirmachmud, naskah Supersemar yang asli terdiri dari dua lembar. Itu juga merupakan penyebab buku "30 Tahun Indonesia Merdeka" ditarik dari peredaran karena di dalamnya memuat naskah Supersemar yang palsu, hanya satu lembar.

Selain soal keaslian, cerita mengenai proses kelahiran Supersemar juga kontroversial. Masih dipertanyakan apakan surat itu dibuat dibawah paksaan atau memang kemauan Soekarno sendiri. 

Dalam buku berjudul "Kontroversi Sejarah Indonesia" (Syamdani halaman 189), diceritakan mantan anggota Tjakrabirawa yaitu Letnan Dua Soekardjo Wilardjito  menyaksikan bahwa Bung Karno menandatangani Supersemar pada 11 Maret 1966 dengan todongan pistol FN kaliber 46.

Dikatakan Wilardjito, pada saat itu Mayjen Nasoeki Rachmat (saat itu Pangkostrad), Mayjen Maraden Panggabean (Wakasad), Mayjen M Yusuf, dan Mayjen Amirmachmud mendatangi Soekarno di istana Bogor dengan membawa map warna merah muda. Kemudian, M Yusuf menyodorkan sebuah surat yang harus ditandatangani oleh Soekarno. Sempat terjadi dialog dengan Bung Karno. Menurut pengakuan Wilardjito, dari jarak tiga meter di belakang Soekarno, dia melihat Basoeki Rachmat dan M Panggabean menodongkan pistol ke arah Soekarno.

Bila memang itu yang terjadi, maka orang bisa menyimpulkan bahwa sedang terjadi kudeta. Namun, keterangan Wilardjito itu dibantah oleh M Yusuf dan Amirmachmud. Dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" halaman 186, Amirmachmud hanya menyebutkan sempat ada rencana membawa senjata ke Bogor.

"Adalah Pak Jusuf yang mengusulkan supaya kita bawa bren, bawa sten, segala macam. Saya bilang, di sana ada dua orang batalyon Cakra (Tjakrabirawa), kita mau apa di sana?" katanya. Ada juga cerita versi lain dari Asvi. Menurutnya, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu yaitu Hasjim Ning dan Dasaad. Mereka datang membujuk Soekarno untuk menyerahkan kekuasaanya pada Soeharto. Tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak. "Di situ terlihat ada usaha membujuk dan menekan Soekarno yang telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi.

Sidarto Danusubroto, ajudan terakhir presiden Soekarno juga angkat bicara mengenai hal ini. Dikutip dari Kompas.com, Sidarto mengungkapkan "Bung Karno merasa dikibuli," saat dijumpai pihak Kompas.com di kediamannya di Jakarta Selatan, Minggu (6/3/2016).

Menurut Sidarto, Bung Karno menunjukkan sikap yang berbeda dengan serangkaian langkah yang diambil Soeharto setelah menerima Supersemar.

Sidarto tidak menyebutkan detail mengenai perubahan sikap Soekarno, tetapi ia menekankan bahwa Supersemar seharusnya tidak membuat Soeharto membatasi ruang gerak Sang Proklamator dan keluarganya.

"Dalam Supersemar, mana ada soal penahanan? Penahanan fisik, (dibatasi bertemu) keluarganya, penahanan rumah. Supersemar seharusnya melindungi keluarganya, melindungi ajarannya (Soekarno)," kata Sidarto.

Kontroversi selanjutnya adalah soal isinya. Bagi Soekarno, surat itu adalah surat perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya. Soekarno juga pernah menekankan bahwa surat itu bukanlah transfer of authority. Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, menyimpulkan sendiri bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

Dengan anggapan itu, Soeharto kemudian naik kekuasaan. Mengungkap Kebenaran, setelah 52 tahun berlalu, belum ada jawaban dari pertanyaan pertanyaan itu. Namun, masih ada harapan bahwa kegelapan itu terungkap. Konsistensi Arsip Nasional Republik Indonesia masih terus mencari dokumen asli Supersemar.

Salah satu instrumen yang bisa digunakan untuk membantu adalah UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara namun tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, disinggung juga Daftar Pencarian Arsip (DPA). Sejarawan Asvi Warman Adam berharap ANRI mendorong keluarnya PP atas UU Kearsipan.

 Apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang lebih untuk mencari naskah asli Supersemar. Kewenangan itu  bisa jadi termasuk menggeledah pihak-pihak yang berkemungkinan menyimpan naskah otentik Supersemar tersebut. Bila itu yang terjadi, maka ada harapan terjadi pelurusan sejarah.

Bila dulu sejarah selalu disesuaikan oleh kepentingan penguasa, kini sejarah juga memasukkan pandangan dan temuan dari banyak orang. "Sejarah ditulis oleh para pemenang" tidak lagi jadi sesuatu yang mutlak. Walau Soeharto tidak lagi berkuasa, dan tidak ada dampak langsung secara politik, pengungkapan misteri Supersemar tetap memiliki arti bagi bangsa Indonesia. Setidaknya, sejarah kita dengan gamblang bisa diceritakan. Pengungkapan Supersemar juga menjadi peringatan bagi para penguasa negara agar tidak membelokkan sejarah untuk kepentingan pribadinya. Karena mereka bisa menulis sejarah menurut kemauannya, namun tidak bisa menghapus kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun