gambar : weheartit.com
Mas,
Aku menulis surat untukmu di senja ini, saat warna keemasannya menerobos rimbunnya helai daun pucuk merah di depan rumah kita, menyeberangi ruangan demi ruangan demi mendapatkan dimana aku menyembunyikan diri.Â
Aku sudah berulang kali mencoba menulis kabar padamu, hendak kukatakan masih ada cinta  yang kusimpan untukmu. Tapi entah mengapa aku selalu gagal, jangankan untuk menyelesaikan suratku, untuk memulainya pun aku tak tau dari mana.
Mungkin angin musim kemarau membawa terlalu banyak debu, sehingga mataku selalu basah tiap kali aku hendak memberimu kabar. Aku ingin bercerita tentang hari hariku, hari hari perempuan empat puluh tahunan yang menghabiskan waktu untuk menunggu senja merah saga tergelincir menjadi gelap, karena waktu itulah aku biasa menunggu kepulanganmu.
Mas tercinta,
Aku harus berhenti sejenak saat ini, karena mataku berair banyak, benar kan kataku, angin tak berpihak padaku, aku terus menerus kelilipan. Jangan pergi dulu mas, aku akan melanjutkan suratku.
Sepuluh tahun lalu aku adalah orang yang paling takut dengan sepi dan kesendirian, rasa sepi serupa sel sel ganas yang bisa membunuhku sewaktu waktu, hingga kamu datang menyelamatkanku. Ingatkah kamu mas, kamu menempuh jarak ratusan kilometer hanya untuk menyelipkan sepucuk surat di pintu kamarku, meyakinkanku bahwa aku ini tidak sendiri, bahwa aku ini dicintai.Â
Mas tersayang,Â
Aku pernah berkata padamu, jangan pernah menyerah padaku, jangan meninggalkanku, sejauh apapun aku pergi dan hilang arah, selalu bawalah aku pulang. Karena kamulah rumahku.Â
Punggung hangatmu selalu kunanti tiap senja, tempat aku menyandarkan resah sekaligus canda. Aroma tubuhmu yang bercampur antara parfum dan keringat sepulang kerja selalu aku tunggu, membuktikan bahwa kamu lelaki tangguh yang berjuang untukku dan anak kita.
Mas,
Hingga hari ini pun aku tetap setia menunggu senja, mengkekalkan tiap kilauannya dalam kepalaku. Berharap matahari itu tak pernah pergi. Aku ingin menjaga nya semampuku, untuk mengganti rasa bersalah yang kerap bertamu di hatiku.
Ada hal hal yang tak mampu aku kendalikan, betapapun aku ingin waktu diulang kembali, betapa aku ingin kembali ke menit menit terakhir, Â berdiri di depanmu menghadang kematian yang hendak mencurimu diam diam dariku. Aku terlambat, maafkan aku. Hidup tak lagi memberimu tempat.
Terimakasih mas, sudah menjadi pahlawanku yang membebaskanku dari sandera sepi. Terimakasih sudah menemukanku dan melimpahiku dengan kasih sayang, menjadikanku pusat kehidupanmu. Sepuluh tahun tak cukup bagiku untuk merebahkan rasa sayangku di dadamu.
Senja telah tenggelam sempurna, siluet jingga itu tak lagi berkejaran, aku harus menutup jendela kamarku mas, kamu tidak akan datang. Kali ini mataku basah karena debu debu rindu yang berserakan disekitarku. Aku sangat merindukanmu, mas...
Catatan :
Terinspirasi oleh " Ingatan yang Berpendar di Sela sela Ranting Damar : Syahrul Chelsky ", terimakasih sudah mewakili rasa kehilangan saya yang tak terkatakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H