Sebuah Desa yang sejuk. Angin yang masih segar dan asli. Desa yang menyimpan segudang kenangan manis yang tak terlupakan. Suasana hijau yang memenuhi kelopak mata, membuat kagum siapapun yang melihat.Â
Sesampainya di kampung halaman ayah, Ada seorang wanita yang menyambutnya hangat, dia langsung tahu kalau itu ibu tirinya. Danur sempat menyapanya, namun terasa canggung karena belum kenal dekat dengan ibu tirinya itu. Karena ayahnya baru pulang menjelang sore, Danur langsung menuju kamarnya untuk beristirahat.Â
Kenangan sepuluh tahun yang lalu masih terngiang tatkala kedua orangtuanya bercerai diusianya yang kala itu 15 tahun. Dengan sifat yang masih kekanak-kanakan, sempat tidak mau menerima perceraian kedua orangtuanya. Namun, seiring berjalannya waktu dan proses pendewasaan diri yang membuatnya banyak belajar, Danur perlahan mulai menerima kenyataan. Lagipula kedua orangtunyanya sama-sama sudah mempunyai pasangan lain.Â
Ayahnya Danur adalah orang terpandang di kampungnya. Sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan berkharisma. Perawakan bongsor Danur didapat dari ayahnya, yang mempunyai badan yang tinggi dan tegap. Ayahnya bercerai karena perbedaan prinsip. Pada  dasarnya, ibunya Danur tidak ingin menetap di kampung. Karena menurut ibunya itu, tinggal di kampung tidak akan ada masa depan untuk putrinya. Perbedaan tersebut menyulut pertengkaran sehingga akhirnya mereka bercerai. Ibunya Danur, menikah dengan Om Roy kawan lama ibu sewaktu kuliah dulu, mereka dipertemukan lagi dalam acara reuni kampus.Â
Sementara, Rasmi ibu tirinya, sepertinya Danur belum tahu banyak. Â Hanya sering mendengar cerita dari ayahnya, bahwa ayah sudah menikah lagi dengan seorang wanita baik yang mau menemani ayah hingga hari tua nanti. Memang ayahnya itu laki-laki yang romantis, sifat ini juga yang diturunkan dari ayahnya sehingga Danur menjadi penulis.
Memori indah penuh makna di hati Danur. Seorang gadis manis yang menyukai puisi itu, kini menjadi seorang penulis. Dia tidak terlalu suka keramaian. Namun akan menjadi seseorang yang berbeda ketika bersama teman-temannya. Bisa menjadi sedikit cerewet dan humoris. Biasanya liburan menjadi ajang untuk kumpul-kumpul Danur dengan dua temannya. Ya..hanya dua teman, Danur tidak banyak bergaul karena sifat tertutupnya. Namun, kedua temannya sangat faham akan sifatnya. Mereka saling melengkapi. Kali ini, Danur memilih liburan di kampung halaman ayahnya. Kampung eksotik yang menyimpan kenangan.
Tahun ini adalah tahun yang ditunggu-tunggu Danur. Ibunya sengaja membawa Danur ikut serta ke Palembang karena takut Danur bertemu dengan pria masa lalu yang ditentang kedua orangtuanya. Sebelumnya ibunya selalu tidak mengijinkan untuk menjenguk ayahnya. Namun sekarang Danur sudah berusia 25 tahun, ibunya tidak mengekangnya seperti dulu.
Di dalam kamarnya, dia nampak terlelap dengan kasur kapuk hangat yang masih terawat. Lembayung ungu yang menembus jendela kamarnya memancar membuatnya tertarik untuk menikmatinya. Sekilas teringat kisah sepuluh tahun yang lalu. Danur langsung bergegas membuka laci meja belajarnya. Masih tersimpan rapi selembar kertas usang yang tertulis "Dear Danur...".
Sebuah puisi indah yang hampir dilupakannya. Diingatnya masa-masa itu, seseorang yang bernama Jamal, mahasiswa jurusan pertanian yang sedang KKN di kampung itu. Dia berwajah tampan, khas wajah perkotaan walaupun postur tubuhnya sedikit kurus. Dibacanya puisi itu dengan serius sambil berdiri di balkon kamarnya, tempat biasa dia menunggu pria itu lewat di depan rumah
.
Lembayung di senja ungu,
Kupikir apa atau siapa wanita cantik tertutup lembayung senja,
Saat itu angin masih bertiup... membawaku serta bersamanya,
Kupandangi cahaya itu dengan sayup sendu,
Mengibaskan rayuan angin merdu,
Kulihat dia tersenyum,
Bukan padaku yang terpukau,
Sungguh iri wahai kalbu,
Dia terlena pada yang Hakiki
Aku disini, terpaku,
Mencintai di setiap senja ungu,
Berharap menoleh dan menyambutku,
Menari di bawah lembayung di senja ungu.
Senyum simpul tatkala puisi itu dibaca. Saat  itu, hubungan Danur dan Jamal ditentang orangtua Danur karena Danur masih SMP. Jamal bahkan tidak percaya bahwa Danur hanyalah bocah ingusan yang masih duduk di kelas 3 SMP. Karena badannya yang bongsor jika dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Entah bagaimana Jamal sekarang, Danur bahkan tidak tahu asalnya dari mana. Lamunan menghanyutkan alam pikirannya. Namun suara ayahnya membuatnya terkejut.
"Danur, anak ayah...", Sapa ayahnya sambil memeluk dengan pelukan hangat yang memenuhi relung hati yang sudah rindu akan sosok anaknya itu.
"Ayah, Danur kangen...maafkan Danur, baru kali ini Danur bisa berkunjung", Sahut Danur sambil memandang ibu tirinya yang ikut berdiri di sebelah ayahnya. Ibu tirinya tersenyum
"Syukurlah, kalian sudah bertemu, ayo kita makan nak...", sahut Rasmi sambil merangkul pundak Danur dan mengajaknya ke meja makan. Suasana menjadi hangat setelah kedatangan Danur, ayahnya sangat senang dan tidak ingin melewatkan kebersamaan dengan putrinya itu.
Pagi yang indah, di tengah-tengan perbukitan dan kebun teh. Danur tidak bisa menghilangan kebiasaannya untuk sekedar duduk di tepi jalan dekat perbukitan yang luas menikmati keindahan pemandangan hijau di depannnya itu. Sampai-sampai dia lupa waktu kalau senja sudah menyinari kelopak matanya. Dia bergegas untuk pulang ke rumah karena takut ayahnya khawatir. Saat dia baru beranjak dari duduknya dan berbalik. Dilihatnya seorang laki-laki yang tengah memandangnya. Laki-laki itu seolah-olah ingin mendekapnya dari kejauhan. Dari gerak bibirnya terucap kata "Danur". Seketika Danur tahu kalau itu adalah Jamal, laki-laki dari masa lalunya. Danur tersenyum dan hendak berlari ke arah Jamal, namun tiba-tiba ayahnya datang dan mengajaknya pulang. Tak ada yang bisa dilakukan Danur selain menunggu waktu yang tepat untuk bertemu Jamal.Â
Keesokan harinya Danur kembali ke tempat itu dan ternyata Jamal sudah berada di sana menunggunya. Mereka bertemu dan bertukar cerita. Ternyata Jamal bekerja di sektor pertanian. Dan saat itu adalah kunjungannya yang rutin dilakukan setiap sebulan sekali. Setiap berkunjung, Jamal tidak lupa mendatangi tempat indah yang dulu menjadi tempat pertemuannya dengan Danur pertama kali.Â
Saat ini Jamal berusia 32 tahun. Pertemuannya dengan Danur adalah harapan terbesar dalam hidupnya. Karena sudah terlanjur berjanji kepada ibunya bahwa Jamal akan membawa wanita yang selalu diceritakan Jamal kepada ibunya. Hampir setiap hari di waktu senja, mereka bertemu. Jamal mengambil cuti panjang dan mengabari ibunya demi bersama Danur. Dia juga meminta doa kepada ibunya dan mengatakan bahwa wanita yang diceritakan itu sudah berada di sampingnya. Ibunya ikut senang karena tahu anaknya itu sudah menanti Danur lama sekali. Jamal melamar Danur disaksikan keindahan lembayung di senja ungu. Danur terharu dan tidak menyangka bahwa kisah masa lalunya yang berawal dari indahnya lembayung senja. Kini senja pula lah yang menjadi saksi bersatunya insan yang telah terpisah. Tak perlu berpikir lama, Danur menerima lamaran Jamal.
Perlakuan kasar yang dulu pernah diterimanya tidak menyurutkan keberanian Jamal untuk memohon restu dari ayahnya Danur. Suasana tegang di dalam rumah, dengan senja yang masih sama indahnya. Jamal memberanikan diri bertemu Ayah Danur. Sebelumnya Danur bercerita pada ayahnya mengenai Jamal. Ayahnya juga tidak seperti dulu. Sekarang, ayahnya berpikiran terbuka, dan melihat kebahagiaan di mata putrinya itu.Â
Cincin yang sudah melingkar di jari manisnya, tanda lamaran saat itu di bukit senja nan indah. Dengan penuh harap dan cemas, Danur menunggu kedatangan Jamal. Sebelum datang, Jamal akan menjemput Ibunya di stasiun dan akan sampai sore hari.Â
Waktu berganti waktu, jam menunjukan pukul delapan malam, namun Jamal belum muncul juga. Telpon demi telpon namun tidak diangkatnya. Perasaan cemas bergelayut dalam hatinya. Jamal bukan orang yang suka mempermainkan seseorang, dan tak ada pikiran buruk yang menghantui pikirannya.Â
Danur dan ayahnya masih menunggu, namun waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam dan ayahnya menyuruh Danur untuk beristirahat dan menelponnya lagi keesokan harinya.Â
Dengan perasaan antara cemas, kecewa dan kalut. Danur duduk di bukit tempat biasa dia bertemu Jamal. Dia habiskan sehari penuh di tempat itu. Tidak ada yang dilakukan hanya memandang indahnya pemandangan senja yang masih sama seperti waktu lainnya. Dia duduk sampai dia merasa bosan dan berlalu. Saat di perjalanan. Ada seorang laki-laki yang menghampiri Danur dan dia adalah teman kerjanya Jamal. Dia mengabarkan bahwa Jamal sedang kritis di rumah sakit sewaktu dalam perjalanan menjemput ibunya. Danur sekuat tenaga berlari sambil terisak-isak menangis.
Dilihatnya seorang ibu yang sedang duduk menangis. Danur datang bersama kedua orangtuanya. Ibu itu mengahampiri Danur dan mengelus pipinya. Lalu pelukan hangat mengantarkan keharuan. Tak banyak berbincang-bincang, karena situasi yang tegang saat itu. Tak berhenti Danur mondar mandir menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Kecelakaan itu terjadi karena rem mobil yang dikendarai Jamal blong dan menghindari pejalan kaki sehingga masuk ke dalam saluran air. Kepalanya terbentur cukup keras sehingga butuh operasi, karena lukanya yang cukup dalam.
Dokter keluar ruangan dengan wajah yang suram. Ingin saat itu Danar menutup telinganya dan pura-pura tidak mendengar apa yang dokter ucapkan.
"Mohon maaf, kami tidak bisa berbuat banyak". Ucap dokter itu sambil berlalu begitu saja. Suasana tangis memekik dan Danur hanyut dalam tangis dan lukanya yang dalam.Â
Lembayung di senja ungu yang indah, ternyata tidak seindah dibalik kisahnya. Keindahan yang Hakiki, tak bisa dipungkiri, menyentuh jiwa siapapun yang memandangnya. Dia akan terpesona dengan keindahan senja. Di sana tertumpu harapan, di sana tersimpan kenangan. Lembayung di senja ungu yang akan tetap sama setiap harinya. Indah...dan menawan. Yang tidak sama adalah Aku yang tidak bersamanya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H