Beberapa waktu yang lalu, seorang perempuan muda berpenampilan menarik tertunduk lesu masuk ke ruang praktek saya. Dari raut wajahnya tampak semburat kegalauan. Setelah beberapa lama tertegun, mulailah ia bercerita bahwa sudah dua hari ia tidak tidur, tidak nafsu makan dan tidak bisa berhenti berpikir tentang kekasih hati yang tiba-tiba menghilang, tidak bisa dikontak lewat media apapun.
Perasaannya terluka, hatinya sakit, jiwanya merana, bertanya-tanya kemana dia pergi, kenapa menghilang dan pertanyaan lain yang sambung menyambung tak berujung memenuhi kepalanya. Ia juga terus mencari tahu keberadaan dan alasan kepergian sang kekasih dengan menghubungi beberapa teman. Setelah bergulat dengan ketidakpastian selama beberapa bulan, akhirnya sang ibu membawanya berkonsultasi.
Lewat percakapan yang berlangsung sekitar satu jam, diketahui bahwa si gadis berkenalan dengan seorang lelaki lewat aplikasi online dating. Setelah 6 bulan saling berkabar dan bertukar cerita secara intens, sang lelaki tiba -- tiba menghilang, tidak bisa dihubungi. Â Ia merasa binggung, kecewa, takut dan bersalah. Harapan yang tak sesuai dengan kenyataan dan tidak ada kejelasan membuatnya merasa kecewa, takut, bersalah dan binggung. Dapat disimpulkan bahwa ia mengalami Ghosting.
Apa itu Ghosting ?
Lefebvre, dkk (2017) mendefinisikan ghosting sebagai strategi untuk mengakhiri hubungan romantik yang muncul di era digital dan sebagai metoda untuk menghindari konfrontasi langsung, tanpa membahas status hubungan dengan pasangan kencan. Secara khusus, ghosting mengacu pada akses sepihak ke individu yang mendorong terjadinya pemutusan hubungan (secara tiba -- tiba atau bertahap) yang biasanya dilakukan melalui satu atau beberapa media teknologi.
Dengan kata lain, ghosting adalah pemutusan kontak sepihak baik melalui telepon, chat, email dan media sosial lainnya, yang dilakukan secara tiba-tiba ataupun bertahap tanpa memberikan peringatan atau penjelasan apa pun sebelumnya.
Penyebab Maraknya Ghosting Â
Seseorang melakukan ghosting dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan yang bersifat personal. Â Untuk mengetahuinya secara pasti, kita perlu mengali informasi secara langsung dari pelaku. Namun, yang menarik dari hasil penelitian Navarro, dkk (2020), korban ghosting memiliki kemungkinan untuk menjadi pelaku ghosting di kemudian hari dan sebaliknya pelaku ghosting juga berpeluang untuk menjadi korban ghosting.
Ghosting dapat dilihat sebagai sebuah bentuk timbal balik yang tertunda (Keysar, dkk, 2008) dimana, korban ghosting bisa membalas dengan tindakan yang sama, tidak kepada orang yang pernah meng-ghosting-nya namun kepada orang lain dengan niat untuk memulihkan perasaan terluka mereka. Ghosting pun bisa diakibatkan oleh fenomena pembiasaan yang sekali terjadi, bisa terulang kembali karena pelaku ghosting sudah terbiasa melakukan pemutusan hubungan dengan cara seperti itu.
Ghosting menjadi semakin marak karena adanya proses belajar melalui interaksi sosial di internet dan berbagai media sosial lainnya. Hal ini didasarkan pada teori Kognisi Sosial yang dikemukakan oleh Bandura (1977), bahwa pola perilaku yang dipelajari adalah pola yang terbukti memiliki nilai fungsional. Meskipun ghosting adalah pengalaman yang menyakitkan, mungkin mereka yang menderita itu mengulanginya karena mereka menemukan ghosting berguna untuk beberapa alasan seperti dapat menghindari konfrontasi langsung dan reaksi terhadap putusnya hubungan.
Ghosting sebenarnya adalah fenomena umum yang terjadi selama proses komunikasi dalam sebuah hubungan sejak beberapa tahun lalu. Namun di masa pandemi, terbatasnya kesempatan untuk melakukan aktivitas di luar rumah akibat social distancing, menyebabkan frekuensi dan intensitas kontak sosial yang dilakukan lewat media sosial semakin banyak sehingga peluang terjadinya ghosting pun semakin besar. Pemberitaan tentang pengalaman ghosting menjadi semakin sering diperbincangkan di berbagai media sosial hingga sempat menjadi trending topic.
Salah Siapa ?
Terkait dengan alasan melakukan ghosting, pelaku di dalam penelitian  Manning, dkk (2019) menyatakan melakukan ghosting sebagai cara untuk melindungi diri mereka dari tindakan tidak menghargai, agresif dan bahkan pelecehan. Seperti halnya korban, mereka juga mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dan dampak negatif akibat ghosting.Â
Dari sisi korban menurut hasil penelitian Lefebvre, dkk terhadap orang dewasa di Amerika tahun 2020., ketika mengalami ghosting, pada awalnya mereka seringkali merasa bingung, terus mencoba menghubungi dan mencari tahu hingga muncul pemikiran bahwa ada sesuatu yang salah dari diri mereka. Â
Berdasarkan hasil penelitian diatas, kita dapat mengetahui bahwa baik pelaku maupun korban ghosting, sama-sama merasakan hal yang tidak menyenangkan. Ketika merasa tidak senang dan dipengaruhi oleh emosi yang sangat intens, biasanya seseorang cenderung akan memberikan reaksi lari, lawan, atau diam. Pada kasus ghosting, tampaknya reaksi yang paling sering ditunjukkan oleh pelaku adalah reaksi lari dan diam. Sedangkan reaksi korban adalah lawan, yaitu terus berpikir dan bertindak mencari tahu hingga muncul perasaan menyalahkan diri sendiri dan orang lain.
Oleh sebab itu, jika mempertimbangkan  sisi pelaku dan korban, maka tidak ada yang bisa dipersalahkan. Perilaku ghosting memang kurang etis. Pengalaman ghosting juga tidak mengenakkan. Baik pelaku maupun korban memiliki alasan yang didasarkan pada interpretasi masing -- masing yang bersifat subjektif. Bukan mencari siapa yang salah, namun menemukan pelajaran dan hikmah dibalik pengalaman ghosting tersebut, yang lebih penting dan lebih bermanfaat.
Hikmah Ghosting
Ghosting dapat terjadi kepada siapa saja yang sedang menjalin hubungan apakah itu hubungan pertemanan, pacaran, pernikahan, pekerjaan maupun bisnis. Mengambil hikmah dari pengalaman ghosting dapat bermanfaat meningkatkan kekuatan mental dan kedewasaan dalam bersikap. Berikut adalah beberapa hikmah yang dapat diambil :
1. Semakin mengenal diri sendiri dan orang lain.
Pengalaman tidak menyenangkan akibat ghosting akan membuat kita semakin menyadari kelebihan dan kelemahan kita. Lewat reaksi orang lain, kita menjadi lebih tahu apa yang sudah baik dan masih perlu diperbaiki. Tidak ada cara yang lebih baik mengenal diri dan orang lain kecuali mengalaminya langsung dan mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut. Pahamilah bahwa dalam menjalin relasi, selalu ada ruang terbuka bagi munculnya hal tak terduga yang menarik untuk diselami lebih dalam. Proses mengenali diri dan orang lain merupakan proses belajar sepanjang hidup yang mewarnai perjalanan menuju versi terbaik diri kita.
2. Lebih bijak dalam berekspektasi
Seringkali hal yang melukai dan menyakiti hati kita adalah harapan tidak realistis sehingga menimbulkan rasa kecewa. Perasaan kecewa jika tidak dikelola dengan tepat, dapat menyebabkan kita tak lagi mampu berpikir rasional dan bertindak produktif. Sadarilah bahwa menuntut diri memenuhi ekspektasi orang lain ataupun mengharapkan orang lain memenuhi ekspektasi diri hanya akan menambah luka batin yang berujung pada derita tak berkesudahan. Oleh sebab itu, cara yang bijaksana dalam menghadapi ghosting adalah kelola ekspektasi, berharap kepada Tuhan saja, jalani hubungan dengan santai dan teruslah berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan, situasi dan orang lain.
3. Memperkuat support system.
Pada saat mengalami situasi yang sulit dan tidak menyenangkan, pada umumnya kita tidak bisa mengandalkan diri sendiri. Dukungan keluarga, teman maupun orang yang peduli  akan sangat membantu menguatkan mental kita melewati kesulitan tersebut. Meluangkan waktu lebih banyak dengan keluarga dan berbagi pengalaman ghosting dengan teman yang mengalami hal yang sama membuat kita merasa tidak sendiri, diterima, dipahami dan didukung. Pengalaman ghosting justru dapat membuat ikatan keluarga dan persahabatan menjadi semakin kuat dan kokoh lewat kebersamaan, berbagi cerita dan saling support.
ReferensiÂ
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. London : Prentice Hall.
Keysar, B., Converse, B.A., Wang, J., Epley, N. (2008). Reciprocity is not give and take : asymmetric reciprocity to positive and negative acts. Psychological Science, 19 (12).
LeFebvre, L.E., Rasner, R.D., & Allen, M. (2020). I guess I'll never know : non-initiators account-making after being ghosted. Journal of Loss and Trauma, 25 (5), 395 -- 415.
LeFebvre, L.E., Rasner, R., Garstad, S., Wilms, A., Parrish, C., Brasher, B., Coal, C., Cornell, E., Johnsen. S., Klopfer, M., Lara, K., Marquea, G., Miller, C., Monaghan, S., Morrison, R., Niles, C., Ramlo, S., Walsh, B., Williams, K. (2017). It's not me. It's definitely you : conseptualizing the ghosting phenomenon in emerging adult relationship. Paper presented at the Western Stated Communication Association Conference in Salta Lake City, Utah.
Manning, J., Denker, K.J., Johnson, R., (2019). Justification for ghosting out of developing or ongoing romantic relationships : anxieties regarding digitally-mediated romantic interaction. In A. Hetsroni , M. Tuncez, (Eds). Ithappen on tinder. Reflections and studies on Internet-infused dating (pp. 114 -- 132). Amstredam : Institute of Network Cultures.
Navarro, R., Larranaga, E., Yubero, S., Villora, B.( 2020). Individual, interpersonal and relationship factors associated with ghosting intention dan behaviors in adult relationships : Examining the associations over and above being a recipient of ghosting. Telematic and Informatic. Elsevier Ltd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H