Mohon tunggu...
Ratna Sugiarti
Ratna Sugiarti Mohon Tunggu... Guru - Bukankah hidup menjadi lebih bermakna ketika kita nembaginya dengan sesama..

Untuk menjadi bahagia, kita tak memerlukan seluruh isi dunia ini.. Cukup beberapa dari mereka yang terbaik dan setia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Paruh Baya dan Putrinya

18 Januari 2020   15:15 Diperbarui: 18 Januari 2020   15:22 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang bapak paruh baya tengah mengayuh sepeda tuanya. Peluh terlihat mengkilap di sekujur tubuhnya. Panas terik tak menjadi penghalangnya.

Demi putri semata wayangnya yang sangat ia kasihi, bapak ini rela berjerih lelah menyongsong kepulangan anak gadisnya dari study tour di Bali.

Tibalah bapak ini dengan napas terengah-engah di depan bus penghantar anak gadisnya. Sang bapak dengan riang gembira menyambut anak gadisnya yang rupawan.

Bapak : "Hai anakku, kau sudah sampai dengan selamat di sini. Mari kita pulang ke rumah, nak. Ibumu sudah menantikanmu dengan cemas".

Lalu dengan ekspresi terkejut, sang anak melihat paras bapaknya yang sudah letih. Ditatapnya si bapak dan dilihatnya sekelilingnya.

Anak : "Pak,  bapak ke sini menjemputku? Dengan apa bapak menjemputku?"

Bapak : (sambil melihat sepeda tua kesayangannya) "Kita pulang naik sepeda ini, nak. Mari bapak bawakan tasmu".

Anak : (terkejut dan malu) "Pak, tidak salah kalau aku harus naik sepeda jelek itu?! Lihat teman-temanku Pak, mereka pasti akan menertawakanku. Aku malu Pak. Kenapa sih bapak menjemputku? Aku tidak mau pulang sama bapak. Aku mau pulang sendiri. Pokoknya aku malu dan aku tidak mau bapak menjemputku lagi !!"(dengan marah dan bersungut-sungut, sang anak berlari meninggalkan bapaknya yang terkejut melihat responnya).

Sang anak berlari menerobos kerumunan teman-temannya yang menatapnya nanar. Hingga agak jauh dari tempat itu si anak berkata dalam hatinya, "Teman-temanku dijemput orang tuanya dengan mobil. Hanya sedikit pula yang dijemput menggunakan motor. Kenapa aku harus punya orang tua yang miskin, yang hanya punya sepeda usang. Kenapa aku ditakdirkan menjadi orang tak berada? Aku malu Tuhan dengan orang tuaku", keluh sang anak.

Dengan sesenggukan, sang anak memberhentikan taksi yang sedang melintas. Dari kejauhan bapaknya melihat perilaku anaknya dengan mengelus dada. Mencoba menahan deru kemarahan yang sudah naik di ubun-ubun. Mencoba mengatur ritme kesabaran. Berharap ada keajaiban terjadi dari doa yang ia panjatkan pada Yang Kuasa.

Pernah terbersit dalam anganku untuk membeli sebuah motor. Tapi segera kutepis. Selain tak ada dana, bagiku sepeda jengkiku memiliki banyak kenangan, ujar si bapak.

Kilasan memori menari di benakku. Sepeda jengki kesayanganku adalah sepeda pertama dan satu-satunya yang bisa kumiliki dengan berjerih lelah bekerja sebagai pesuruh toko. Awal aku menemukan tambatan hati bermula dari si jengki ini. Saat aku mengantar jemput kekasihku pun, si jengki inilah penolongku. Lalu saat aku menikah, si jengki ini yang menjadi pahlawanku. Dan saat aku sudah memiliki keluarga, si jengki inilah yang menjadi andalan kami dalam berkeliling mengikuti arah kemana kaki mengayuh. Banyak warna yang sudah dilukiskan oleh si jengki, desah sang bapak parau. 

Di sisi lain, sang anak sudah tiba di rumahnya dengan napas masih menderu mengingat peristiwa memalukan tadi. Berkeluh kesah dan tidak mau mensyukuri anugerah Tuhan sudah melekat pada tabiatnya. Hidup uring-uringan dan berlagak menjadi orang kaya sudah menjadi makanan sehari-harinya. Ia selalu merasa rendah diri dan malu mengakui keberadaan orang tuanya.

Ironis sekali hidup ini. Seperti mata uang yang punya dua sisi. Berdampingan tapi tak pernah bisa melihat keadaan sebaliknya. Selalu bersama tapi tak urung tak bisa juga seirama menerima pemberian Sang Pencipta.

Ada manusia yang terlahir indah dengan segala keberadaannya dan kecukupannya namun tak bisa bersyukur, tak dapat menjaga dan menerima diri apa adanya. Namun sebaliknya, ada juga yang mampu bersyukur dan melipatgandakan potensi yang diberikan Tuhan.

Sisi kehidupan yang lain, ada yang terlahir miskin di dunia tapi kaya di Surga dengan segala keikhlasannya menjalani hidup ini. Ada juga yang terlahir dengan segala kekurangan tapi tak mau mencoba kelebihan yang melekat padanya.

Karena hidup adalah pilihan. Terus berjuang memaknai kehidupan adalah tanggung jawab setiap insan. Menjalani proses memang sakit, tak mudah melaluinya. Tetapi menikmati buah dari menjalani tiap proses adalah sukacita abadi.

"Permisi Bu Lala", panggil seseorang dari salah satu pegawai, yang menyadarkanku dari lamunan siangku.

"Ya, ada apa Lanny?", jawabku.

Kata Lanny, "Begini Bu Lala …."

(pembicaraan pun berlangsung)

Yah, kisah di atas adalah sepenggal cerita masa mudaku. Dimana dulu aku pernah tidak mau bersyukur pada Tuhan dan menolak orang tuaku serta tak mau mengakui kekuranganku.

Aku memang terlahir dari keluarga tidak berada, serba kekurangan, namun sebenarnya keluargaku sarat dengan kehangatan dan kebersamaan. Sesuatu yang mungkin tidak dimiliki orang lain.

Namun aku menutup mata terhadap kelebihan keluargaku. Aku terlalu fokus dengan diriku. Sampai aku tidak menyadari bahwa luka yang kutorehkan untuk orang tuaku terlalu dalam. Sembilu pun sering kutancapkan pada nurani mereka. Aku tidak menyadarinya….

Sampai suatu saat, ada suatu momen dalam hidupku yang berhasil mencelikkan mataku, aku tersadar. "Apakah aku terlambat menyadarinya?", pikirku.

Tidak ada yang terlambat di dunia ini. Selama aku mau mengakuinya dan mampu bersyukur dengan apa yang telah Tuhan ciptakan, aku bisa berdamai dengan diriku, keluargaku, dan sekelilingku.

Sekarang aku telah menjadi orang sukses. Bukan, bukan orang yang bergelimang harta benda dan emas melimpah. Tidak, itu bukan ukuran kesuksesanku. Kesuksesanku adalah ketika aku berhasil menghormati orang tuaku, menjadikan mereka mahkota di hatiku cerminan kasih Sang Khalik, dan menjadikan diriku saluran kasih untuk sekitarku.

Terima kasih ku 'tuk semua budi baik dan pengorbanan bapak dan ibu. Apalah artinya aku tanpa kalian. Ambyar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun