Aku memang terlahir dari keluarga tidak berada, serba kekurangan, namun sebenarnya keluargaku sarat dengan kehangatan dan kebersamaan. Sesuatu yang mungkin tidak dimiliki orang lain.
Namun aku menutup mata terhadap kelebihan keluargaku. Aku terlalu fokus dengan diriku. Sampai aku tidak menyadari bahwa luka yang kutorehkan untuk orang tuaku terlalu dalam. Sembilu pun sering kutancapkan pada nurani mereka. Aku tidak menyadarinya….
Sampai suatu saat, ada suatu momen dalam hidupku yang berhasil mencelikkan mataku, aku tersadar. "Apakah aku terlambat menyadarinya?", pikirku.
Tidak ada yang terlambat di dunia ini. Selama aku mau mengakuinya dan mampu bersyukur dengan apa yang telah Tuhan ciptakan, aku bisa berdamai dengan diriku, keluargaku, dan sekelilingku.
Sekarang aku telah menjadi orang sukses. Bukan, bukan orang yang bergelimang harta benda dan emas melimpah. Tidak, itu bukan ukuran kesuksesanku. Kesuksesanku adalah ketika aku berhasil menghormati orang tuaku, menjadikan mereka mahkota di hatiku cerminan kasih Sang Khalik, dan menjadikan diriku saluran kasih untuk sekitarku.
Terima kasih ku 'tuk semua budi baik dan pengorbanan bapak dan ibu. Apalah artinya aku tanpa kalian. Ambyar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H