Mohon tunggu...
Dwi Ratna Sari
Dwi Ratna Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Gadis dengan kelahiran 14 September, senang membaca buku fiksi dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Sebuah Memoar di Balik Bangku Sekolah

19 Desember 2024   04:52 Diperbarui: 21 Desember 2024   11:33 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Aku lahir di sebuah desa kecil yang jauh dari pusat keramaian kota. Desa Pucangarum namanya. Desa terpencil di area perbatasan kabupaten yang jalannya kerap kali rusak, juga sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai seorang petani. Keadaan geografisnya dilewati dengan Sungai Bengawan Solo, maka tak heran jika hamparan tanahnya sangat layak untuk dijadikan area persawahan dan ditanami banyak tanaman pangan seperti padi dan sayur-sayuran.  Kedua orang tuaku juga bekerja sebagai petani. Tadinya ibuku merupakan seorang pedagang sayuran keliling yang menjualkan dagangannya dari satu desa ke desa lain menggunakan sepeda kayuh tuanya. Namun, semenjak aku lahir, ibuku mulai beralih menjadi petani, seperti bapak.

Masa kecilku tak luput dari membantu bapak-ibu. Teringat dulu saat masih di jenjang MI dan SMP, melalui sepeda tua ibu, aku dibonceng di belakang pergi ke sawah. Aku memang memaksa ikut, sebab ingin merasakan segarnya angin persawahan, namun aku juga tak berdiam diri. Terkadang, juga ikut membantu ibu menanam padi saat musim tanam tiba, atau paling tidak, ikut mengusir burung-burung yang memakan butiran padi saat musim panen. Iya, aku bisa menanam padi dari ajaran ibu. Dari situ, aku menyadari bahwa mencari nafkah adalah suatu hal yang sulit. Terlebih menjadi seorang petani yang harus tahan cuaca panas, harus bersabar ketika menunggu panen tiba, harus ikhlas jika terkena dampak luapan banjir dari Sungai Bengawan Solo saat musim penghujan tiba.

Tinggal di pedesaan membuatku lebih bersyukur atas adanya kehidupan. Sebab begini, udara segar tak akan kau temui di kota-kota besar juga masyarakat yang ramah dan saling membantu satu sama lain yang tak akan kau temui pada padatnya perumahan kota. Rumah kami memang tidak besar, rumah kayu sederhana yang kerap kali bocor tiap kali hujan. Namun di sanalah aku merasakan kehangatan yang luar biasa yang mungkin belum pernah ku temui di rumah lain. Kehangatan itu bukan berasal dari kompor dapur ibu ataupun sinar matahari yang masuk melalui celah jendela, melainkan dari cinta yang menyelimuti kami setiap harinya.

Bapak merupakan sosok yang pekerja keras, ia selalu mengusahakan kata mampu dalam tiap kerja kerasnya. Bapak yang tidak pernah lupa untuk mengingatkan untuk selalu berdoa dan berdzikir kepada anak-anaknya. Bapak juga yang mengantar kami kemana pun dan rela menjemput putrinya ketika hujan dengan motor tuanya.

Di sisi lain, ada ibu yang menjadi pusat kehangatan rumah kami. Ibu merupakan sosok yang bertutur kata lembut dalam setiap ucapannya. Masakan ibu selalu menjadi nomor satu untuk kami, selalu dirindukan oleh anak-anaknya yang merantau untuk kembali pulang. Ibu paling pandai dalam hal memasak dan membuat jajanan pasar. Ia juga yang paling tahu bagaimana meredam masalah kecil dalam keluarga. Senyumnya mampu menghangatkan seisi rumah, mengubah suasana menjadi damai kembali.

Aku mempunyai kakak laki-laki dan perempuan. Keduanya, bisa dikatakan sebagai role modelku sebab mereka adalah sosok yang pekerja keras, mandiri, dan rendah hati. Pernah suatu ketika aku menginginkan untuk mempunyai sepeda, aku tidak berani meminta sebab aku pun sadar ekonomi kami di bawah rata-rata. Namun ketika aku menyampaikan keinginanku itu, aku disuruh oleh orang tuaku mengumpulkan uang dengan cara menabung, mencontoh seperti halnya apa yang kakak perempuanku lakukan. Jika punya keinginan harus menabung dahulu. Akhirnya, aku mulai menabung lewat hasil uang lebaran yang aku dapatkan serta uang sakuku senilai dua ribu rupiah setiap harinya. Rela tidak jajan hanya untuk mendapatkan sepeda. Saat dirasa uang telah cukup terkumpul, aku menyerahkan uang yang tak seberapa itu kepada bapak dan memintanya untuk membelikan sepeda bekas yang masih layak untuk dinaiki. Aku mendapatkannya, keinginan itu terwujud dari usahaku menabung. Entah mengapa ada rasa senang tersendiri ketika memiliki sepeda tersebut. Seperti mendapatkan buah dari hasil jerih payah sendiri.

Kemudian saat duduk di bangku MI, aku tidak mempunyai banyak teman. Aku juga seorang murid yang tidak begitu menonjol di kelas. Masalah peringkat pun, paling mentok masuk di sepuluh besar akhir. Bahkan, rasa semangat belajar tidak muncul dalam diriku, bisa dikatakan aku ini pemalas anaknya dalam urusan membaca. Lebih suka mendengarkan penjelasan dari guru daripada harus membuka buku yang berisi banyak tulisan itu. Namun, keluargaku selalu menyemangati hingga acapkali membujukku dengan janji manis mereka. "Kalau kamu nanti masuk peringkat tiga besar di kelas, semua keinginan kamu bakal ibu turuti," ucap ibu kala itu.

Sampai suatu ketika di kelas 6, peringkatku naik menjadi peringkat 4 di kelas. Entah mengapa muncul rasa bangga dalam diriku, menginginkan peringkat yang lebih tinggi lagi. Aku merasa tertantang juga disaat aku terpilih menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti Kompetisi Sains Madrasah atau sejenis olimpiade tingkat MI dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Bukan tanpa alasan aku terpilih, sebab untuk mengikuti kompetisi ini juga melalui tahap seleksi tulis. Meskipun tidak menang, namun aku tetap merasa senang karena membawa pulang sertifikat keikutsertaan sebagai peserta.

Menjelang ujian nasional, kakak perempuanku sangat mendukung proses belajarku dengan membelikan buku-buku soal ujian. Tiap sore hingga malam aku mengikuti les yang diadakan oleh sekolah, pengajarnya tentu guru kami sendiri. Mendekati hari ujian, semangat belajar makin menggebu, dari yang tadinya malas belajar kini malah sering membaca dan berlatih menjawab soal-soal dari buku yang kakak berikan. Bohong jika aku tidak mengharapkan nilai yang tinggi, nyatanya aku sangat terobsesi untuk masuk tiga besar. Namun setelah ujian usai, aku tidak peduli lagi jika nilai yang ku peroleh rendah ataupun tinggi sebab usahaku sudah terlampau maksimal. Hanya bisa pasrah menunggu pengumuman tiba.

Hari dimana perpisahan sekolah akan tiba tentunya banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh sekolah, termasuk pertunjukan pentas seni seperti drama, tarian, nyanyian, dan lain sebagainya. Setiap tahun dari seluruh kelas diwajibkan untuk menampilkan penampilan masing-masing baik itu individu maupun kelompok. Kelas 6 yang akan berakhir masanya juga turut berpartisipasi, bedanya terletak pada perwakilan, yakni pidato yang terdiri dari tiga bahasa: bahasa Arab, bahasa Jawa, dan juga bahasa Inggris.

Lebih mengejutkannya lagi, aku ditunjuk untuk membawakan pidato berbahasa inggris. Yang benar saja? Aku memang sangat menyukai bahasa inggris, tetapi untuk tampil di depan banyak orang, itu adalah hal yang baru dan pertama karena realitanya, aku lebih suka tampil di belakang layar. Ada banyak ragu muncul di kepalaku, aku takut, aku tidak percaya diri, juga tidak bisa menolak jika sudah ditunjuk begini. Pada akhirnya, aku memilih menerima karena mau tidak mau juga harus dilakukan.

Hari-hari selanjutnya, aku disibukkan dengan menghafal dua lembar teks pidato bahasa inggris. Aku kebingungan, meskipun selang waktu menghafal lama, namun tetap saja, rasa takut itu selalu menghantui diriku, berkali-kali itu juga diam-diam aku menangis. Bagaimana jika nanti di pertengahan, kosakata yang ku hafal mendadak hilang? Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha, berlatih seolah-olah tengah berpidato di depan banyak orang. Lucu sekali, pikirku.

Hari kelulusan pun akhirnya tiba. Satu persatu rangkaian acara telah selesai. Ketika dilanjutkan dengan acara berikutnya, yakni penampilan pidato tiga bahasa, aku menjadi sangat gugup di atas panggung. Seluruh tubuhku gemetar hebat bahkan mungkin orang-orang yang menonton pun menyadari aku demam panggung, terlihat jelas dengan suaraku saat menyampaikannya. Ini pertama kalinya. Aku selalu menyemangati diriku agar aku bisa melakukannya. Tatkala teman-temanku membaca teks dalam pidatonya, aku menjadi satu-satunya yang hafal teks pidatoku sampai akhir. Turut bersenang hati, turut berbangga walaupun sempat gelagapan di beberapa kata.

Tak berselang lama, acara terakhir yakni penyerahan hadiah kepada tiga besar di kelas kami. Di situ aku sangat berharap namaku menjadi salah satunya. Pada pembacaan nama pertama dan kedua memang bukan namaku, namun di urutan ketiga namaku disebutkan. Aku terkejut bukan main. Sempat tidak percaya, seorang anak yang dulunya menjadi urutan sepuluh besar di akhir kini menjadi tiga besar. Aku maju ke atas panggung untuk menerima hadiah berupa piala dan amplop yang berisi uang. Senang sekali, rasa banggaku kini menjadi dua kali lipat. Harapanku untuk menjadi tiga besar akhirnya dapat terwujudkan.

Memasuki jenjang SMP berarti tingkat kesulitan pelajarannya menjadi lebih susah. Sengaja aku memilih mendaftar di sekolah yang jaraknya jauh dari rumah, jauh dari teman-temanku juga, sebab mengikuti rekomendasi kakak perempuanku yang dulunya merupakan alumni dari sekolah tersebut. Sering mendapatkan pertanyaan, "kok kamu berani banget, sih, sekolah di sana, satu kelas nggak ada, loh, yang mendaftar ke sana." Aku pun juga tidak paham, mengapa tidak ada rasa takut yang muncul dalam diriku. Mungkin sudah terbiasa melakukan apa-apa sendirian, makanya ketakutan itu tidak ada.

Aku mendapatkan banyak teman berkat sekolah di SMP tersebut. Bahkan, sampai mempunyai sahabat dekat yang masih akrab sampai sekarang. Di tahun pertama sekolah, tepatnya kelas 7, aku berhasil menduduki peringkat pertama pada semester ganjil dan genap. Namun, pada saat naik ke kelas 8, peringkatku menurun menjadi urutan di lima besar. Hal ini dikarenakan, setiap naik kelas, satu angkatan akan diacak, sehingga aku harus bersaing dengan anak yang lebih pintar. Di sini, aku sudah kehilangan semangat belajar, aku tidak peduli perihal mengejar nilai lagi. Belajar pun tidak sesering dulu, lebih memilih menerima apa yang dihasilkan. Dapat nilai bagus, Alhamdulillah, dapat nilai yang rendah, ya sudah. 

Pada jam-jam istirahat sekolah, aku lebih sering mengunjungi perpustakaan daripada menghabiskan uang sakuku untuk jajan ke kantin. Kalau ditanya kenapa harus perpustakaan, maka akan ku jawab, sebab saat itu aku lebih mengutamakan menabung dan menghemat uang. Lagipula mengunjungi perpustakaan bukan suatu perkara yang sia-sia. Aku bisa lebih dekat dengan guru mapel favoritku yang merangkap sebagai pustakawan, aku bisa memenuhi kartu pinjamku dengan berbagai buku yang sampai tiga lembar itu, yang paling penting aku bisa membantu merapikan buku, memberi sampul, dan membubuhi stempel buku kepemilikan perpustakaan bila kedatangan buku baru. Semenyenangkan itu bukan?

Kegiatanku mengunjungi perpustakaan terhenti saat duduk di kelas 9. Aku menjadi lebih jarang pergi ke perpustakaan karena jarak kelas yang jauh, terlebih sibuk-sibuknya mendekati ujian nasional. Kali ini aku tidak berharap apa-apa lagi pada nilai, tidak berekspetasi kembali. Mendapatkan peringkat kelas saja saingannya susah, apalagi bermimpi mendapatkan peringkat angkatan yang anaknya tiga kali lipat lebih banyak. Lagi-lagi aku meremehkan diriku sendiri. Namun dari belakang sana, ada keluargaku yang menyokong, terutama kakak perempuanku yang selalu membelikan buku-buku ujian nasional untuk adiknya. Aku belajar soal-soal yang sering muncul di ujian nasional. Niatku, ku tujukan untuk mendapatkan nilai bagus, bukan untuk meraih nilai terbaik di angkatan.

Tak bisa dipercaya kembali, mulutku ternganga lebar ketika melihat papan pengumuman yang berisi nilai-nilai ujian nasional. Sujud syukur ku lakukan sembari mengucapkan pujian serta rasa terima kasih kepada Allah. Namaku berada di urutan ketiga paling atas. Itu artinya, nilaiku menjadi ketiga terbaik satu angkatan. Rasa senang dan haru itu kembali hadir, mengingatkanku pada hal yang sama seperti dulu. Aku bisa ternyata. Terkadang kita meragukan kemampuan kita sendiri, padahal kita sudah memiliki potensi yang hanya perlu kita gali dan perlu diasah. Seperti halnya meraih peringkat, tentu proses belajar harus dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang agar ilmu yang didapatkan tidak mudah terlupa dan menghilang.

Tiga tahun yang sebentar, setelahnya aku memasuki masa SMA. Jujur, aku sempat kebingungan untuk melanjutkan sekolah di mana, namun dari SMP aku sudah jatuh hati pada sekolah yang digaungkan sebagai satu-satunya SMA Robotika di Kabupaten kami. Kenyataannya, aku mengikuti pilihan ibu, tidak lanjut ke sana sebab ibu tidak memperbolehkan dengan alasan jarak yang jauh dan harus melewati jalan raya untuk mengaksesnya. Pada akhirnya, aku melanjutkan sekolah di MA Negeri sesuai dengan keinginan ibu.

Selama di sekolah, aku mengesampingkan rasa maluku dengan tekad untuk menjadi murid menonjol yang dikenal banyak orang. Sebab begini pikirku, ini adalah masa terakhir sekolah, tentu tidak akan punya kesan tersendiri jika hanya berdiam diri tanpa menunjukkan aksi apapun. Aku aktif beberapa kegiatan sekolah, seperti OSIS dan Pramuka yang membuatku memperoleh pengalaman yang lebih serta relasi yang banyak. Aku hanya melakukan hal yang membuat diriku berproses dan berprogres, siapa tau saja di masa penerimaan kerja peluang diterimanya menjadi banyak.

Aku juga tetap memperhatikan nilai akademik, walaupun sebenarnya nilai itu bukan penentu kesuksesan, tapi setidaknya aku bisa membuat bangga orang tua ku dengan nilai yang ku peroleh. Bersyukurnya, walupun nilaiku beberapa kali turun, aku selalu konsisten mempertahankan posisiku di tiga besar. Semangat mengejar nilai itu menjadi nyata ketika siapapun yang berhasil menempati tiga besar di kelas akan mendapatkan sertifikat dan juga keringanan SPP. Selama tiga tahun di MA, aku menjadi orang yang selalu mendapatkan reward tersebut, puluhan kalimat syukur pun tak henti-hentinya terucap dalam doaku.

Aku juga masih setia menyisihkan uang jajanku untuk kemudian ditabung. Sebenarnya ingin mendapatkan apa sampai menabung banyak begini? Sebuah handphone. Sebetulnya aku sangat iri ketika teman-teman SMP ku mendapatkan benda tersebut secara gratis dari orang tuanya. Namun, aku justru memilih bersabar sembari menunggu uangku cukup terkumpul membelinya. Sampai akhirnya, keinginan tersebut terwujud. Aku berhasil menabung dengan jumlah total dua juta rupiah dari uang sakuku selama sekolah. Kalau dipikir-pikir aku juga tak bisa mempercayai jika aku memegang uang sebanyak itu, memang benar kata orang, jika menabung hari ini adalah investasi untuk impian besok. Ingin mendapatkan sesuatu perlu adanya perencanaan dan pengorbanan melalui disiplin kecil, dan disiplin itu dimulai dengan menyisihkan sedikit demi sedikit yang kamu simpan setiap hari.

Beragam lomba sekolah pun tak lepas dari kendaliku. Atas bujukan dan rayuan dari guru, aku bersedia mengikuti beberapa lomba yang diadakan di tingkat SMA. Mulai dari mengikuti olimpiade bahasa Inggris, karya tulis ilmiah, esai, dan membuat cerpen yang nantinya dipublikasikan di web sekolah. Bersama guru Sejarah favoritku, aku belajar banyak dari beliau mengenai kepenulisan. Beliau juga adalah orang yang tak henti-hentinya menyemangati, memotivasi, serta memberikan nasihat ketika aku merasa putus asa dan tak percaya pada diri sendiri. Walaupun dari beragam lomba yang ku ikuti tidak memperoleh kemenangan, namun aku senang bisa berpartisipasi untuk lebih mengembangkan minatku, sebab dari lomba-lomba tersebut, aku jadi mengetahui kemampuanku seperti apa.

Pada saat acara kelulusan tiba, aku berhasil meraih peringkat pertama lulusan terbaik dari jurusan IPS. Ingin sekali rasanya menangis ketika nama bapakku dan namaku disebutkan oleh pembawa acara. Kami diminta untuk naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan berupa piala dan piagam penghargaan. Ini menjadi momen yang jauh lebih mendebarkan karena ditonton ratusan wali murid beserta jajaran guru yang hadir di siang itu. Teman-temanku tak henti-hentinya mengucapkan selamat atas pencapaianku. Hari itu senangku bertambah dua kali lipat, satu per satu yang aku harapkan selalu terwujud, semuanya tak akan pernah terjadi jika bukan karena orang-orang terdekatku yang selalu mendukungku, terutama keluargaku yang menjadi sumber motivasi dan semangatku.

Perjalananku tak berhenti di situ saja, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebelumnya ada rasa kekhawatiran yang muncul dari kedua orang tuaku ketika aku memutuskan untuk kuliah di luar daerah. Namun aku meyakinkan mereka bahwa nanti aku akan baik-baik saja jika nantinya aku diterima pada kota yang menjadi tempat kampusku nanti. Perihal biaya, aku sudah memutuskan untuk mencari beasiswa guna meringankan beban kuliah.

Setelah dinyatakan tidak lulus jalur SNMPTN dan SPAN-PTKIN semangat belajarku untuk mencoba jalur tes merosot, aku gagal dan memilih harus merelakan kampus impianku itu, banyak sedih sebenarnya. Tapi ya sudah, mau bagaimana lagi mungkin itu bukan jalanku. Kemudian aku mencoba jalur SBMPTN dengan tekad yang penuh, aku berangkat sendirian ke Surabaya menaiki kereta api. Itu menjadi hal yang pertama kalinya aku pergi ke kota besar tanpa didampingi orang terdekatku. Jujur, sedikit takut. Tapi aku menenangkan diriku supaya lebih berani dan tidak harus melulu merepotkan orang lain.

Di SBMPTN, aku gagal lagi. Ya, aku gagal untuk untuk ketiga kalinya. Namun, aku tidak menyerah begitu saja. Masih ada jalur UMPTKIN satu-satunya harapanku, jika sampai tidak lulus, mungkin aku akan menunda kuliahku selama setahun. Tapi Qadarullah, aku dinyatakan lulus di salah satu Perguruan Tinggi  yang terletak di Surakarta. Puji syukur Alhamdulillah tak lupa selalu ku panjatkan dalam doaku. Aku menerima dengan lapang dada, mungkin ini cara Allah untuk menempatkan hambanya pada posisi yang terbaik, karena manusia hanya bisa berusaha selebihnya Allah yang mengatur sebaik-baiknya rencana bagi hambanya.

Aku berangkat ke Surakarta tentu tidak sendiri, bersama bapak menggunakan motornya aku diantarkan ke kos dengan selamat. Sungguh, perjuangan bapak yang luar biasa mengantarkan putrinya selama 6 jam perjalanan. Aku masih ingat hari itu merupakan pertama kalinya aku jauh dari rumah. Tidak ada lagi harum masakan ibu, tidak ada lagi canda tawa dari Bapak yang meramaikan seisi rumah. Hari demi hari aku merasakan apa itu dunia perkuliahan, senang berkenalan dengan banyak orang, terlebih dosen di kampus pun juga ramah. Walaupun begitu, aku masih sangat merindukan rumah, ingin rasanya berkumpul bersama bapak-ibu lagi.

Tiba saat liburan semester awal, aku pulang dengan senangnya. Namun, ada sesuatu hal yang tak enak hadir di indera pendengaranku. Bapak berkata bahwa, "Nanti kalau kamu berhenti kuliah apa nggak papa, nak?" Aku tau, aku paham kondisi perekonomian keluargaku sedang tak baik-baik saja. Sedari awal memang aku yang merengek kuliah, tanpa melihat situasi ke belakang. Jika sudah begini, aku pasrah, kalau memang jalanku berhenti, maka aku akan bekerja untuk membantu keluarga, pikirku kala itu. Namun entah uang darimana, bapak memberiku sejumlah uang untuk membayar semester berikutnya. Artinya, aku masih diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikanku. Ada rasa perasaan bersalah yang menjalar dalam diriku tatkala menerima uang itu.

Aku tidak tinggal diam, berbagai macam beasiswa sudah banyak ku ajukan sampai harus melalui tahap yang panjang. Hingga suatu hari, aku dinyatakan lolos beasiswa dari pemerintah kabupaten. Keluargaku sangat senang mendengar kabar ini, aku pun sama senangnya. Perasaan syukur dan lega campur jadi satu. Lagi dan lagi, Allah mempermudah jalanku kembali.

Aku masih bertahan menjalani kehidupanku sebagai seorang mahasiswa hingga sekarang, aku mengerjakan tulisan ini ditemani tugas yang sedang banyak-banyaknya di semester 5. Kegiatanku sebagai mahasiswa tidak terbatas hadir di perkuliahan saja, melainkan aku juga turut aktif di organisasi fakultas seperti DEMA Fakultas dan juga Himpunan Mahasiswa. Ikut beberapa organisasi mengajarkanku banyak hal yang menjadikan pengalamanku kian bertambah, relasi yang membangun, juga mengasah soft skill untuk mengembangkan kualitas mahasiswa. Aku juga aktif mengikuti lomba-lomba kepenulisan yang banyak tersebar di media sosial. Tulisanku pernah termuat di web dan beberapa lainnya seperti cerpen juga diterbitkan.

Lalu terakhir, aku ingin mengingatkan kepada orang di luaran sana bahwa jika kita lahir dari latar belakang yang sederhana bukan berarti itu menjadi penghalang untuk memiliki impian yang tinggi. Justru, ini menjadi dorongan untuk berusaha lebih giat, sebab keberhasilan sejati adalah bahwa impian besar bukan hanya milik mereka yang kaya, tetapi juga milik mereka yang kaya akan semangat. Jadikan keterbatasan sebagai landasan untuk mencapai lebih tinggi, bukan alasan untuk menyerah. Semoga adanya tulisan ini menjadi suatu hal yang memotivasi untuk mencapai harapan dan mimpi. Kita penuhi hari ini dan seterusnya dengan semangat dan usaha yang tanpa henti, karena setiap hari merupakan peluang baru untuk mengejar impian. Dan di tengah kesibukan kita sebagai manusia, jangan lupakan untuk selalu bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.

nb: kisah ini merupakan kisah nyata penulis

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun