Mohon tunggu...
Dwi Ratna Sari
Dwi Ratna Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Gadis dengan kelahiran 14 September, senang membaca buku fiksi dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Sebuah Memoar di Balik Bangku Sekolah

19 Desember 2024   04:52 Diperbarui: 19 Desember 2024   05:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hari-hari selanjutnya, aku disibukkan dengan menghafal dua lembar teks pidato bahasa inggris. Aku kebingungan, meskipun selang waktu menghafal lama, namun tetap saja, rasa takut itu selalu menghantui diriku, berkali-kali itu juga diam-diam aku menangis. Bagaimana jika nanti di pertengahan, kosakata yang ku hafal mendadak hilang? Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha, berlatih seolah-olah tengah berpidato di depan banyak orang. Lucu sekali, pikirku.

Hari kelulusan pun akhirnya tiba. Satu persatu rangkaian acara telah selesai. Ketika dilanjutkan dengan acara berikutnya, yakni penampilan pidato tiga bahasa, aku menjadi sangat gugup di atas panggung. Seluruh tubuhku gemetar hebat bahkan mungkin orang-orang yang menonton pun menyadari aku demam panggung, terlihat jelas dengan suaraku saat menyampaikannya. Ini pertama kalinya. Aku selalu menyemangati diriku agar aku bisa melakukannya. Tatkala teman-temanku membaca teks dalam pidatonya, aku menjadi satu-satunya yang hafal teks pidatoku sampai akhir. Turut bersenang hati, turut berbangga walaupun sempat gelagapan di beberapa kata.

Tak berselang lama, acara terakhir yakni penyerahan hadiah kepada tiga besar di kelas kami. Di situ aku sangat berharap namaku menjadi salah satunya. Pada pembacaan nama pertama dan kedua memang bukan namaku, namun di urutan ketiga namaku disebutkan. Aku terkejut bukan main. Sempat tidak percaya, seorang anak yang dulunya menjadi urutan sepuluh besar di akhir kini menjadi tiga besar. Aku maju ke atas panggung untuk menerima hadiah berupa piala dan amplop yang berisi uang. Senang sekali, rasa banggaku kini menjadi dua kali lipat. Harapanku untuk menjadi tiga besar akhirnya dapat terwujudkan.

Memasuki jenjang SMP berarti tingkat kesulitan pelajarannya menjadi lebih susah. Sengaja aku memilih mendaftar di sekolah yang jaraknya jauh dari rumah, jauh dari teman-temanku juga, sebab mengikuti rekomendasi kakak perempuanku yang dulunya merupakan alumni dari sekolah tersebut. Sering mendapatkan pertanyaan, "kok kamu berani banget, sih, sekolah di sana, satu kelas nggak ada, loh, yang mendaftar ke sana." Aku pun juga tidak paham, mengapa tidak ada rasa takut yang muncul dalam diriku. Mungkin sudah terbiasa melakukan apa-apa sendirian, makanya ketakutan itu tidak ada.

Aku mendapatkan banyak teman berkat sekolah di SMP tersebut. Bahkan, sampai mempunyai sahabat dekat yang masih akrab sampai sekarang. Di tahun pertama sekolah, tepatnya kelas 7, aku berhasil menduduki peringkat pertama pada semester ganjil dan genap. Namun, pada saat naik ke kelas 8, peringkatku menurun menjadi urutan di lima besar. Hal ini dikarenakan, setiap naik kelas, satu angkatan akan diacak, sehingga aku harus bersaing dengan anak yang lebih pintar. Di sini, aku sudah kehilangan semangat belajar, aku tidak peduli perihal mengejar nilai lagi. Belajar pun tidak sesering dulu, lebih memilih menerima apa yang dihasilkan. Dapat nilai bagus, Alhamdulillah, dapat nilai yang rendah, ya sudah. 

Pada jam-jam istirahat sekolah, aku lebih sering mengunjungi perpustakaan daripada menghabiskan uang sakuku untuk jajan ke kantin. Kalau ditanya kenapa harus perpustakaan, maka akan ku jawab, sebab saat itu aku lebih mengutamakan menabung dan menghemat uang. Lagipula mengunjungi perpustakaan bukan suatu perkara yang sia-sia. Aku bisa lebih dekat dengan guru mapel favoritku yang merangkap sebagai pustakawan, aku bisa memenuhi kartu pinjamku dengan berbagai buku yang sampai tiga lembar itu, yang paling penting aku bisa membantu merapikan buku, memberi sampul, dan membubuhi stempel buku kepemilikan perpustakaan bila kedatangan buku baru. Semenyenangkan itu bukan?

Kegiatanku mengunjungi perpustakaan terhenti saat duduk di kelas 9. Aku menjadi lebih jarang pergi ke perpustakaan karena jarak kelas yang jauh, terlebih sibuk-sibuknya mendekati ujian nasional. Kali ini aku tidak berharap apa-apa lagi pada nilai, tidak berekspetasi kembali. Mendapatkan peringkat kelas saja saingannya susah, apalagi bermimpi mendapatkan peringkat angkatan yang anaknya tiga kali lipat lebih banyak. Lagi-lagi aku meremehkan diriku sendiri. Namun dari belakang sana, ada keluargaku yang menyokong, terutama kakak perempuanku yang selalu membelikan buku-buku ujian nasional untuk adiknya. Aku belajar soal-soal yang sering muncul di ujian nasional. Niatku, ku tujukan untuk mendapatkan nilai bagus, bukan untuk meraih nilai terbaik di angkatan.

Tak bisa dipercaya kembali, mulutku ternganga lebar ketika melihat papan pengumuman yang berisi nilai-nilai ujian nasional. Sujud syukur ku lakukan sembari mengucapkan pujian serta rasa terima kasih kepada Allah. Namaku berada di urutan ketiga paling atas. Itu artinya, nilaiku menjadi ketiga terbaik satu angkatan. Rasa senang dan haru itu kembali hadir, mengingatkanku pada hal yang sama seperti dulu. Aku bisa ternyata. Terkadang kita meragukan kemampuan kita sendiri, padahal kita sudah memiliki potensi yang hanya perlu kita gali dan perlu diasah. Seperti halnya meraih peringkat, tentu proses belajar harus dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang agar ilmu yang didapatkan tidak mudah terlupa dan menghilang.

Tiga tahun yang sebentar, setelahnya aku memasuki masa SMA. Jujur, aku sempat kebingungan untuk melanjutkan sekolah di mana, namun dari SMP aku sudah jatuh hati pada sekolah yang digaungkan sebagai satu-satunya SMA Robotika di Kabupaten kami. Kenyataannya, aku mengikuti pilihan ibu, tidak lanjut ke sana sebab ibu tidak memperbolehkan dengan alasan jarak yang jauh dan harus melewati jalan raya untuk mengaksesnya. Pada akhirnya, aku melanjutkan sekolah di MA Negeri sesuai dengan keinginan ibu.

Selama di sekolah, aku mengesampingkan rasa maluku dengan tekad untuk menjadi murid menonjol yang dikenal banyak orang. Sebab begini pikirku, ini adalah masa terakhir sekolah, tentu tidak akan punya kesan tersendiri jika hanya berdiam diri tanpa menunjukkan aksi apapun. Aku aktif beberapa kegiatan sekolah, seperti OSIS dan Pramuka yang membuatku memperoleh pengalaman yang lebih serta relasi yang banyak. Aku hanya melakukan hal yang membuat diriku berproses dan berprogres, siapa tau saja di masa penerimaan kerja peluang diterimanya menjadi banyak.

Aku juga tetap memperhatikan nilai akademik, walaupun sebenarnya nilai itu bukan penentu kesuksesan, tapi setidaknya aku bisa membuat bangga orang tua ku dengan nilai yang ku peroleh. Bersyukurnya, walupun nilaiku beberapa kali turun, aku selalu konsisten mempertahankan posisiku di tiga besar. Semangat mengejar nilai itu menjadi nyata ketika siapapun yang berhasil menempati tiga besar di kelas akan mendapatkan sertifikat dan juga keringanan SPP. Selama tiga tahun di MA, aku menjadi orang yang selalu mendapatkan reward tersebut, puluhan kalimat syukur pun tak henti-hentinya terucap dalam doaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun