Mohon tunggu...
Dwi Ratna Sari
Dwi Ratna Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Gadis dengan kelahiran 14 September, senang membaca buku fiksi dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Sebuah Memoar di Balik Bangku Sekolah

19 Desember 2024   04:52 Diperbarui: 19 Desember 2024   05:47 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lahir di sebuah desa kecil yang jauh dari pusat keramaian kota. Desa Pucangarum namanya. Desa terpencil di area perbatasan kabupaten yang jalannya kerap kali rusak, juga sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai seorang petani. Keadaan geografisnya dilewati dengan Sungai Bengawan Solo, maka tak heran jika hamparan tanahnya sangat layak untuk dijadikan area persawahan dan ditanami banyak tanaman pangan seperti padi dan sayur-sayuran.  Kedua orang tuaku juga bekerja sebagai petani. Tadinya ibuku merupakan seorang pedagang sayuran keliling yang menjualkan dagangannya dari satu desa ke desa lain menggunakan sepeda kayuh tuanya. Namun, semenjak aku lahir, ibuku mulai beralih menjadi petani, seperti bapak.

Masa kecilku tak luput dari membantu bapak-ibu. Teringat dulu saat masih di jenjang MI dan SMP, melalui sepeda tua ibu, aku dibonceng di belakang pergi ke sawah. Aku memang memaksa ikut, sebab ingin merasakan segarnya angin persawahan, namun aku juga tak berdiam diri. Terkadang, juga ikut membantu ibu menanam padi saat musim tanam tiba, atau paling tidak, ikut mengusir burung-burung yang memakan butiran padi saat musim panen. Iya, aku bisa menanam padi dari ajaran ibu. Dari situ, aku menyadari bahwa mencari nafkah adalah suatu hal yang sulit. Terlebih menjadi seorang petani yang harus tahan cuaca panas, harus bersabar ketika menunggu panen tiba, harus ikhlas jika terkena dampak luapan banjir dari Sungai Bengawan Solo saat musim penghujan tiba.

Tinggal di pedesaan membuatku lebih bersyukur atas adanya kehidupan. Sebab begini, udara segar tak akan kau temui di kota-kota besar juga masyarakat yang ramah dan saling membantu satu sama lain yang tak akan kau temui pada padatnya perumahan kota. Rumah kami memang tidak besar, rumah kayu sederhana yang kerap kali bocor tiap kali hujan. Namun di sanalah aku merasakan kehangatan yang luar biasa yang mungkin belum pernah ku temui di rumah lain. Kehangatan itu bukan berasal dari kompor dapur ibu ataupun sinar matahari yang masuk melalui celah jendela, melainkan dari cinta yang menyelimuti kami setiap harinya.

Bapak merupakan sosok yang pekerja keras, ia selalu mengusahakan kata mampu dalam tiap kerja kerasnya. Bapak yang tidak pernah lupa untuk mengingatkan untuk selalu berdoa dan berdzikir kepada anak-anaknya. Bapak juga yang mengantar kami kemana pun dan rela menjemput putrinya ketika hujan dengan motor tuanya.

Di sisi lain, ada ibu yang menjadi pusat kehangatan rumah kami. Ibu merupakan sosok yang bertutur kata lembut dalam setiap ucapannya. Masakan ibu selalu menjadi nomor satu untuk kami, selalu dirindukan oleh anak-anaknya yang merantau untuk kembali pulang. Ibu paling pandai dalam hal memasak dan membuat jajanan pasar. Ia juga yang paling tahu bagaimana meredam masalah kecil dalam keluarga. Senyumnya mampu menghangatkan seisi rumah, mengubah suasana menjadi damai kembali.

Aku mempunyai kakak laki-laki dan perempuan. Keduanya, bisa dikatakan sebagai role modelku sebab mereka adalah sosok yang pekerja keras, mandiri, dan rendah hati. Pernah suatu ketika aku menginginkan untuk mempunyai sepeda, aku tidak berani meminta sebab aku pun sadar ekonomi kami di bawah rata-rata. Namun ketika aku menyampaikan keinginanku itu, aku disuruh oleh orang tuaku mengumpulkan uang dengan cara menabung, mencontoh seperti halnya apa yang kakak perempuanku lakukan. Jika punya keinginan harus menabung dahulu. Akhirnya, aku mulai menabung lewat hasil uang lebaran yang aku dapatkan serta uang sakuku senilai dua ribu rupiah setiap harinya. Rela tidak jajan hanya untuk mendapatkan sepeda. Saat dirasa uang telah cukup terkumpul, aku menyerahkan uang yang tak seberapa itu kepada bapak dan memintanya untuk membelikan sepeda bekas yang masih layak untuk dinaiki. Aku mendapatkannya, keinginan itu terwujud dari usahaku menabung. Entah mengapa ada rasa senang tersendiri ketika memiliki sepeda tersebut. Seperti mendapatkan buah dari hasil jerih payah sendiri.

Kemudian saat duduk di bangku MI, aku tidak mempunyai banyak teman. Aku juga seorang murid yang tidak begitu menonjol di kelas. Masalah peringkat pun, paling mentok masuk di sepuluh besar akhir. Bahkan, rasa semangat belajar tidak muncul dalam diriku, bisa dikatakan aku ini pemalas anaknya dalam urusan membaca. Lebih suka mendengarkan penjelasan dari guru daripada harus membuka buku yang berisi banyak tulisan itu. Namun, keluargaku selalu menyemangati hingga acapkali membujukku dengan janji manis mereka. "Kalau kamu nanti masuk peringkat tiga besar di kelas, semua keinginan kamu bakal ibu turuti," ucap ibu kala itu.

Sampai suatu ketika di kelas 6, peringkatku naik menjadi peringkat 4 di kelas. Entah mengapa muncul rasa bangga dalam diriku, menginginkan peringkat yang lebih tinggi lagi. Aku merasa tertantang juga disaat aku terpilih menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti Kompetisi Sains Madrasah atau sejenis olimpiade tingkat MI dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Bukan tanpa alasan aku terpilih, sebab untuk mengikuti kompetisi ini juga melalui tahap seleksi tulis. Meskipun tidak menang, namun aku tetap merasa senang karena membawa pulang sertifikat keikutsertaan sebagai peserta.

Menjelang ujian nasional, kakak perempuanku sangat mendukung proses belajarku dengan membelikan buku-buku soal ujian. Tiap sore hingga malam aku mengikuti les yang diadakan oleh sekolah, pengajarnya tentu guru kami sendiri. Mendekati hari ujian, semangat belajar makin menggebu, dari yang tadinya malas belajar kini malah sering membaca dan berlatih menjawab soal-soal dari buku yang kakak berikan. Bohong jika aku tidak mengharapkan nilai yang tinggi, nyatanya aku sangat terobsesi untuk masuk tiga besar. Namun setelah ujian usai, aku tidak peduli lagi jika nilai yang ku peroleh rendah ataupun tinggi sebab usahaku sudah terlampau maksimal. Hanya bisa pasrah menunggu pengumuman tiba.

Hari dimana perpisahan sekolah akan tiba tentunya banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh sekolah, termasuk pertunjukan pentas seni seperti drama, tarian, nyanyian, dan lain sebagainya. Setiap tahun dari seluruh kelas diwajibkan untuk menampilkan penampilan masing-masing baik itu individu maupun kelompok. Kelas 6 yang akan berakhir masanya juga turut berpartisipasi, bedanya terletak pada perwakilan, yakni pidato yang terdiri dari tiga bahasa: bahasa Arab, bahasa Jawa, dan juga bahasa Inggris.

Lebih mengejutkannya lagi, aku ditunjuk untuk membawakan pidato berbahasa inggris. Yang benar saja? Aku memang sangat menyukai bahasa inggris, tetapi untuk tampil di depan banyak orang, itu adalah hal yang baru dan pertama karena realitanya, aku lebih suka tampil di belakang layar. Ada banyak ragu muncul di kepalaku, aku takut, aku tidak percaya diri, juga tidak bisa menolak jika sudah ditunjuk begini. Pada akhirnya, aku memilih menerima karena mau tidak mau juga harus dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun