Gadis itu duduk di kursi roda, menggenggam erat trofi yang berkilau di bawah sorotan lampu panggung. Si pemilik wajah bulat telur itu tersenyum penuh kemenangan, sementara tepuk tangan membahana memenuhi aula. Di tengah keramaian, pandangannya hanya tertuju pada satu sosok yang berdiri dengan senyum bangga. Dialah si pemilik hati yang selama ini selalu ada untuknya.
Saat tiba giliran berpidato, perempuan muda itu menarik napas dalam-dalam. Suaranya terdengar tegas, meskipun ada sedikit getar di awalnya.
"Kehidupan saya berubah drastis beberapa tahun lalu. Dulu, saya adalah seorang atlet lari yang mengandalkan kecepatan kaki. Kini, saya belajar berlari dengan pikiran dan hati. Semua ini tidak akan tercapai tanpa sahabat yang selalu percaya pada saya, Hani."
Dia mengalihkan pandangan ke sudut ruangan, tempat sahabat itu berdiri. Dengan mata berkaca-kaca, perempuan yang setia di sisinya menyeka air mata.
"Hani tidak hanya mendukung saya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata. Saat saya merasa segalanya sudah berakhir, dia menunjukkan bahwa saya masih bisa memulai hal baru. Trofi ini bukan milik saya saja, tetapi milik kami berdua."
Sorakan penonton menggema, tetapi pikirannya melayang jauh, kembali pada perjalanan panjang mereka. Perjalanan penuh perjuangan, air mata, dan harapan yang tak pernah padam.
Persahabatan mereka berdua dimulai di bangku SMA. Si atlet berbakat bernama Anita itu selalu berlari menuju garis finis dengan semangat membara. Sementara itu, Hani, si kutu buku, sibuk merancang masa depan melalui buku dan layar komputer di sudut perpustakaan. Dua dunia yang tampak berbeda, tetapi anehnya selalu menemukan cara untuk saling melengkapi.
Sewaktu Anita kesulitan memahami rumus Fisika, Hani dengan sabar menjelaskan hingga larut malam. Sebaliknya, saat si gadis berambut panjang itu merasa terlalu canggung berbicara di depan umum, Anita tidak segan memberinya dorongan.
"Kamu bisa, kok. Aku saja berani lari di depan ribuan orang, kenapa kamu takut berdiri di depan kelas?" katanya sembari tertawa.
Persahabatan itu terus berlanjut hingga mereka kuliah. Sang pelari tetap mendalami olahraga, sedangkan si pemimpi teknologi menekuni dunia pemrograman. Semua terlihat berjalan sesuai rencana, sampai tragedi itu terjadi.