Kecelakaan mobil merenggut kemampuan kedua kaki Anita. Si gadis berjiwa bebas itu merasa hidupnya hancur seketika. Dunia yang sebelumnya berputar di sekitar lintasan lari, saat itu terasa berhenti. Dia, bahkan menutup diri dari semua orang, termasuk sahabat terbaiknya.
Namun, Hani tidak menyerah. Perempuan gigih itu terus datang, membawa buku, makanan, dan cerita-cerita lucu untuk menghibur sahabatnya yang murung.
"Kamu pikir hidupmu sudah selesai? Hidup itu bukan cuma tentang lintasan lari. Kadang, kita harus berhenti sejenak, mengambil jalan baru, dan mulai lagi. Sadar, dong, An!" ucapnya suatu sore.
Anita hanya diam, meskipun kata-kata itu menyentuh hatinya. Namun, menerima kenyataan pahit tak semudah itu.
Hingga suatu hari, Hani datang dengan membawa ide baru. Dia menunjukkan selebaran lomba pengembangan teknologi untuk penyandang disabilitas.
"Ini kesempatan kita. Aku punya ide untuk membuat aplikasi yang bisa membantu banyak orang sepertimu," katanya penuh semangat.
Pemilik senyum simpul itu hanya menatap ragu. "Aku bahkan tidak tahu apa-apa soal teknologi."
"Tapi kamu tahu apa yang diperlukan teman-teman penyandang disabilitas. Aku butuh kamu untuk itu. Kita kerja bareng!"
Setelah beberapa hari berpikir, Anita akhirnya setuju. Mereka mulai bekerja sama, menciptakan aplikasi yang dapat mempermudah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Si atlet yang dulu hanya mengenal lintasan lari, saat itu sibuk mengumpulkan data kebutuhan berdasarkan pengalamannya sendiri, sementara sahabatnya mengolah teknologi di balik layar.
Meski semangat mereka menyala, jalan menuju kesuksesan tidak selalu mulus. Mentor mereka di balik layar mengkritik karya yang telah mereka susun selama berminggu-minggu.
"Idenya bagus, tetapi fitur ini belum cukup relevan dengan kebutuhan pasar," ujar mentor itu dengan nada datar.
Anita menunduk lesu. Namun sesaat kemudian, dia lampiaskan kata frustrasi pada Hani.
"Aku tahu ini ide buruk. Ngapain aku buang-buang waktu buat hal enggak penting begini!"