Mohon tunggu...
Ratih Wulandari
Ratih Wulandari Mohon Tunggu... Guru - Guru Fisika

Pendidik, pembelajar sepanjang hayat, penulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menyelamatkan Diri dari Bahaya Depresi (1)

20 Oktober 2019   09:53 Diperbarui: 20 Oktober 2019   10:19 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada hari senin yang lalu, kita dikejutkan oleh berita berpulangnya Sulli, salah satu mantan member f(x) yang tergabung di bawah label SM Entertaintment. Banyak yang tidak percaya, sebab berita itu sangat tiba-tiba. Bahkan, di media sosial pun beberapa orang berharap itu berita yang salah, semacam hoaks saja. 

Namun, hal itu ternyata benar. Kemarin, polisi Korea pun mengumumkan hasil otopsi awal yang menyatakan bahwa ia meninggal karena bunuh diri. Sulli, may her soul rest in peace, dimakamkan secara tertutup pada hari kamis lalu, 17 Oktober 2019.

Membaca berbagai pemberitaan di berbagai sumber dalam beberapa hari belakangan ini, nampak bahwa Sulli sebenarnya sudah lama "meminta" pertolongan. 

Dalam beberapa kesempatan, ia telah memberikan sinyal SOS. Ia pernah mengakui bahwa ia yang sebenarnya berbeda dengan yang tampil di layar kaca. 

Ia juga mengakui dirinya tidak nyaman dengan hujatan para netizen yang tercinta. Namun, perundungan via media sosial itu tetap gencar, dan akhirnya ia tetap meninggal karena "tertusuk" kata-kata hujatan.

Mungkinkah orang-orang tidak paham bahwa apa yang mereka ketikkan itu berpotensi menyakiti orang lain? Rasanya tidak. Tetapi, mungkin mereka tidak menyadari seberapa bahaya perbuatan mereka itu. Nampaknya mereka menganggap Sulli "hanya" akan merasa sedikit stres. 

Tak lama lagi juga dia akan tertawa lagi, nanti juga akan unggah foto-foto cantiknya lagi. Padahal, ada perbedaan yang jelas antara stres dan depresi. Andai saja mereka memahami, mungkin akan lebih banyak orang yang menahan diri untuk melakukan perundungan masal, baik langsung maupun tidak langsung.

Tidak. Artikel ini tidak saya tulis untuk menghakimi para pelaku perundungan. Justru, saya ingin mengajak kita semua untuk menyadari pentingnya memahami perihal depresi ini. 

Pernahkah Anda merasa stres menghadapi tenggat waktu? Setelah itu, yang tadinya Anda menunda-nunda pekerjaan, tiba-tiba saja anda mendapatkan ide jernih dan mampu menyelesaikannya sesuai tenggat waktu itu. Nah, dalam hal ini, stres telah berhasil menimbulkan motivasi dalam diri Anda. Stres juga mendorong kita untuk menghadapi tantangan dengan lebih fokus.

Namun, stres yang berlebihan dan yang berlangsung dalam jangka waktu lama justru tidak baik bagi kita, karena dapat mengganggu kesehatan mental, fisik, dan emosional. Lebih jauh lagi, jika dibiarkan, maka dapat menimbulkan depresi. 

Saya sendiri pernah mengalami depresi beberapa tahun yang lalu, dan salah satunya yang menyelamatkan saya adalah mengenali kapan stres berubah menjadi depresi.

Awalnya, tidaklah mudah bagi saya untuk mengenali depresi, sebab ya... saya bukan seorang psikolog, bukan juga penggemar buku-buku psikologi. Oleh karena itu, saya butuh waktu lama untuk menyadari, "Oh, ternyata saya depresi, bukan stres", dan agak terlambat untuk berusaha menanganinya. 

Jadi, menurut pengalaman saya, langkah pertama yang paling penting untuk menyelamatkan diri dari bahaya depresi ialah mengenali kapan ia datang. 

LANTAS, bagaimana membedakan stres dengan depresi?

Orang sering menganggap bahwa ketika kita depresi, kita akan merasa sedih yang berlebihan atau terus-menerus. Mungkin saja sih, begitu. Meskipun, sejauh pengalaman saya, ketika memasuki tahap awal depresi saya justru merasa numb. Seperti kebas, namun yang kebas itu perasaan dan pikiran saya, bukan tubuh saya. 

Kalau ada yang bertanya apakah saya baik-baik saja, saya selalu mengatakan "Ya, saya baik-baik saja." Bukan karena saya memang baik-baik saja, tetapi karena sudah tidak tahu harus bagaimana mengutarakannya. Lagi pula, saat itu saya sudah tidak dapat menjangkau perasaan saya sendiri. 

Pikiran saya pun ikut beku dan banyak hal mulai terbengkalai, termasuk kebiasaan saya untuk hidup sehat. Yang biasanya selalu makan teratur dengan menu yang sehat, malah mulai tidak nafsu makan. 

Ada kalanya saya merasa mual kalau melihat makanan sampai-sampai akhirnya tidak makan seharian. Saya mulai sadar ada yang salah dengan diri saya, tapi saya pikir itu hanya stres berat saja. 

Saya pun berusaha menurunkan tingkat stres saya dengan melakukan hal-hal yang saya sukai: membaca novel (cari yang ceritanya happy ending), jalan-jalan, bahkan meditasi dan yoga. Ibadah? Wah, itu tetap sih jalan, tapi kok rasanya beda ya? Mungkin karena hati saya sedang beku, ya ibadah juga nyaris tidak ada rasanya. 

Saya juga mulai menarik diri dari orang lain. Saya berhenti curhat sama sekali. Jangankan curhat, saya bahkan melarang suami saya berbicara kepada saya di kamar. Saya hanya ingin sendirian. Titik.

Kesimpulannya:

Jika Anda merasa terlalu banyak yang perlu diselesaikan (entah itu pekerjaan atau masalah Anda), sulit tidur nyenyak, dan masih bisa mengomel, mengeluh, atau curhat seperti biasanya kepada teman Anda, percayalah, Anda sedang mengalami stres.

Sementara, jika Anda memiliki perasaan tidak berdaya, hampa, tidak bersemangat, atau selalu ingin sendirian (menarik diri dari orang lain sampai mengganggu fungsi sosial atau pekerjaan Anda), sudah pasti Anda sedang depresi.

Seandainya Anda, atau teman/keluarga Anda mengalami gejala depresi, apa dong yang bisa dilakukan untuk mencegahnya berkembang lebih lanjut?

Biasanya orang akan menasehati. Tidak salah, karena saya mendapatkan nasehat yang akhirnya menyelamatkan hidup saya. Sayangnya, dari ratusan nasehat yang saya terima, hanya satu atau dua yang memperbaiki keadaan saya. 

Sisanya, yang semuanya diungkapkan dengan penuh kasih sayang kepada saya, justru malah memperparah keadaan dan akhirnya menimbulkan dorongan dalam diri saya untuk melakukan hal yang dilarang oleh agama (baca: mengakhiri hidup). 

Jika Anda sedang mengalami depresi, mungkin Anda membutuhkan pendengar yang baik, bukan penasehat yang baik. Jika Anda ingin membantu teman atau keluarga yang sedang depresi, belajarlah berempati dan mendengarkan dengan hati.

Dalam artikel selanjutnya, saya akan berfokus kepada tips untuk mengatasi depresi (bagi yang mengalaminya). Menurut saya hal ini penting karena biasanya hanya penderita yang sadar ia sedang depresi, sementara orang di sekitarnya butuh waktu untuk mengenali gejala ini. Untuk menyelamatkan diri dari depresi, orang pertama yang dapat membantu Anda sesungguhnya adalah diri Anda sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun