Mohon tunggu...
Ratih K. Wardhani
Ratih K. Wardhani Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI

Menulis adalah hobi. Melakukan hobi setiap hari, berulang kali itu menyenangkan, menenangkan. Ibarat tamasya, semoga tulisan yang saya terbitkan bisa menjadi tempat tujuan dari sebuah perjalanan. Menggairahkan, dan selalu menemukan kebenaran dalam setiap letak keberadaan. Selamat liburan!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Demokrasi di Bawah Represif Aparat

15 Oktober 2019   06:04 Diperbarui: 15 Oktober 2019   07:44 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi krisis kepercayaan. Pemerintahan oligarki yang berkedok demokrasi semakin menyeruak ke permukaan. Berharap tak kasat mata, kepentingan-kepentingan "titipan" justru ditunjukkan oleh tuan-tuan di Senayan.

Hal ini semakin terang ketika kalangan berdasi ingin merevisi sejumlah undang-undang penting yang jelas berpihak pada rakyat. Lembaga anti-rasuah ingin dicampuri dengan merevisi Undang-undang KPK.

Begitu pula dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP, RUU Pertanahan, RUU Perkoperasian, dan berbagai isu lain yang sedang berusaha diberi "mantera" agar selalu berpihak kepada kepentingan elite-elite politik, ketimbang ketimpangan rakyat Indonesia.

Kalangan yang memiliki kepentingan dibalik gedung tinggi bertingkat Senayan. Katanya negara demokrasi, mengapa risih dengan kehadiran suara-suara protes dari rakyat?

Rakyat harus bergerak. Rakyat harus tergerak. Dua hari bersejarah pada 23 dan 24 September 2019 menjadi saksi pergolakan yang telah terjadi di bumi pertiwi ini. Para mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menuntut tanggungjawab wakil-wakil rakyat terhadap upaya pelemahan KPK dan sejumlah RUU bermasalah, sebagai rakyat para demonstrasi menuntut suaranya wajib didengarkan, hak asasinya wajib ditegakkan.

Penolakan besar-besaran ini ditunjukkan dengan aksi massa, ribuan orang di sejumlah daerah seperti Pekan Baru, Lampung, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang, Jember, Makasar, didominasi oleh mahasiswa yang memaksa masuk dan menduduki kantor-kantor DPRD dan kantor kepala daerah yang dianggap tidak menyuarakan kepentingan rakyat.

Dan jelas saja, pusatnya terjadi di Ibu Kota, Jakarta, di mana puluhan ribu elemen masyarakat dan mahasiswa bersatu turun ke jalan dan memaksa masuk ke dalam gedung DPR-RI. Bak pesta rakyat, demokrasi justru dikebiri.

Hal ini semakin mengikis kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya ketika polisi yang seharusnya menjadi alat negara, kini memiliki dwifungsi, atau bahkan seutuhnya mutlak, menjadi alat pemerintahan. Sedikitnya pemakaman tiga mahasiswa pendemo yang menjadi korban dan juga puluhan mahasiswa yang mengalami kekerasan dari pihak kepolisian menjadi saksi bahwa reformasi telah dikorupsi.

Tak hanya mahasiswa, sejumlah jurnalis yang turut mengambil dokumentasi ketika aparat kepolisian sedang melakukan tindakan kekerasan kepada para pendemo juga diintimidasi. Bahkan sempat dihardik dan diancam keras jika tidak segera menghapus rekaman video yang telah diambilnya.

Arogansi polisi menghadapi massa semakin tak berdasar, tak manusiawi. Alih-alih hanya bermodal senjata benda tumpul, aparat kepolisian justru dibekali senapan yang berhasil melucuti anak pelurunya ke badan para demonstran, hingga tewas. Sungguh bertolak belakang dengan nilai-nilai Demokrasi Pancasila.

Padahal sudah jelas, penanganan aksi diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 7/2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) telah diatur pelaksanaan waktu dan tempat mengenai unjuk rasa.

Di tempat terbuka aksi unjuk rasa yang dibolehkan antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00 WIB. Sementara di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00 WIB.

Namun, ketika aksi tak mengikuti waktu tersebut, berdasarkan aturan ini, aparat kepolisian dapat menghentikannya dengan sejumlah tahapan dengan cara persuasif, dan 'upaya paksa' sebagai jalan terakhir. Tetapi upaya paksa ini juga kemudian diatur dalam Pasal 28 di mana polisi harus menghindari aksi kekerasan.

Pasal 28

Dalam melakukan tindakan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain:

tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat;

keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;

tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya;

tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;

tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;

melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebuah pepatah mengatakan, terkadang peraturan dibuat untuk dilanggar. Indonesia memang kaya akan peraturan, pun pelanggarnya juga tidak sedikit. Mirisnya, pelanggar aturan justru dilakukan oleh kalangan penegak hukum itu sendiri.

Polri yang secara kasat mata cenderung berlebihan dalam menangani gelombang demonstrasi ini tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Hong Kong. Di mana untuk pertama kalinya, pada 26 Agustus 2019, tercatat kepolisian Hong Kong meletuskan pistol dan menembakkan meriam air dalam menghadapi aksi massa yang terjadi selama tiga bulan lamanya.

Termasuk, menembakkan sekitar 1.400 gas air mata, 900 peluru karet, dan enam peluru karet yang mengarah langsung ke demonstran. Lebih dari 100 orang terluka dalam bentrokan.

Pada hari itu menjadi hari yang paling mencekam sepanjang gelaran aksi penolakan RUU Ekstradisi sejak Maret lalu. Warga Hong Kong menolak RUU Ekstradisi yang diinisiasi pemerintah. RUU ini mengusulkan perubahan perjanjian ekstradisi berupa diperbolekannya penjahat yang tertangkap di Hong Kong diekstradisi ke China.

Unjuk rasa di distrik Tsuen Wan berubah menjadi konfrontasi antara demonstran dengan polisi. Disebutkan, polisi kalah jumlah dengan massa aksi unjuk rasa. Sebagian massa yang merupakan pemuda bertopeng melemparkan batu dan membawa tongkat pemukul. (sumber)

Sejumlah polisi pun akhirnya mengeluarkan senjata, hingga akhirnya polisi Hong Kong menembak seorang pengunjuk rasa yang ternyata masih remaja berusia 18 tahun. Inspektur Leung Kwok Win bahkan mengakui bahwa tembakan itu memang diletuskan oleh seorang kolega kepolisian.

Sebelumnya dalam dokumen yang ditemukan Reuters, pemerintah Hong Kong telah melonggarkan aturan penanganan demonstrasi. Polisi diizinkan menggunakan senjata mematikan.

Kalau sudah begini, sebenarnya apa yang masih perlu diperjuangkan? Hak sebagai warga negara, atau lebih baik mundur demi mendahulukan keselamatan? Nyawa dipertaruhkan.

Sebagai rakyat Indonesia kita harus bersyukur dan memberikan penghormatan sebesar-besarnya kepada seluruh mahasiswa yang telah berjuang. Pengorbanan yang mereka lakukan tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan politik tertentu seperti yang dituduhkan kepada mereka oleh elite-elite politik. 

Perjuangan mahasiswa sebagai kaum intelektual adalah perjuangan murni, kaum intelektual adalah orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition), serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Mereka mereka selalu memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Selalu menjadi simbol gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap kenyataan kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun