Mohon tunggu...
Ratih K. Wardhani
Ratih K. Wardhani Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI

Menulis adalah hobi. Melakukan hobi setiap hari, berulang kali itu menyenangkan, menenangkan. Ibarat tamasya, semoga tulisan yang saya terbitkan bisa menjadi tempat tujuan dari sebuah perjalanan. Menggairahkan, dan selalu menemukan kebenaran dalam setiap letak keberadaan. Selamat liburan!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Demokrasi di Bawah Represif Aparat

15 Oktober 2019   06:04 Diperbarui: 15 Oktober 2019   07:44 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polri yang secara kasat mata cenderung berlebihan dalam menangani gelombang demonstrasi ini tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Hong Kong. Di mana untuk pertama kalinya, pada 26 Agustus 2019, tercatat kepolisian Hong Kong meletuskan pistol dan menembakkan meriam air dalam menghadapi aksi massa yang terjadi selama tiga bulan lamanya.

Termasuk, menembakkan sekitar 1.400 gas air mata, 900 peluru karet, dan enam peluru karet yang mengarah langsung ke demonstran. Lebih dari 100 orang terluka dalam bentrokan.

Pada hari itu menjadi hari yang paling mencekam sepanjang gelaran aksi penolakan RUU Ekstradisi sejak Maret lalu. Warga Hong Kong menolak RUU Ekstradisi yang diinisiasi pemerintah. RUU ini mengusulkan perubahan perjanjian ekstradisi berupa diperbolekannya penjahat yang tertangkap di Hong Kong diekstradisi ke China.

Unjuk rasa di distrik Tsuen Wan berubah menjadi konfrontasi antara demonstran dengan polisi. Disebutkan, polisi kalah jumlah dengan massa aksi unjuk rasa. Sebagian massa yang merupakan pemuda bertopeng melemparkan batu dan membawa tongkat pemukul. (sumber)

Sejumlah polisi pun akhirnya mengeluarkan senjata, hingga akhirnya polisi Hong Kong menembak seorang pengunjuk rasa yang ternyata masih remaja berusia 18 tahun. Inspektur Leung Kwok Win bahkan mengakui bahwa tembakan itu memang diletuskan oleh seorang kolega kepolisian.

Sebelumnya dalam dokumen yang ditemukan Reuters, pemerintah Hong Kong telah melonggarkan aturan penanganan demonstrasi. Polisi diizinkan menggunakan senjata mematikan.

Kalau sudah begini, sebenarnya apa yang masih perlu diperjuangkan? Hak sebagai warga negara, atau lebih baik mundur demi mendahulukan keselamatan? Nyawa dipertaruhkan.

Sebagai rakyat Indonesia kita harus bersyukur dan memberikan penghormatan sebesar-besarnya kepada seluruh mahasiswa yang telah berjuang. Pengorbanan yang mereka lakukan tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan politik tertentu seperti yang dituduhkan kepada mereka oleh elite-elite politik. 

Perjuangan mahasiswa sebagai kaum intelektual adalah perjuangan murni, kaum intelektual adalah orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition), serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Mereka mereka selalu memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Selalu menjadi simbol gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap kenyataan kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun