Yang bisa saya pelajari dari cerita-cerita sukses desa-desa tersebut adalah, semuanya bermula atau berangkat dari hal kecil. Masyarakat disini tidak melihat bahwa memajukan desanya harus diawali dengan anggaran bombastis.Â
Karena ada juga desa yang sudah mendapat anggaran bombastis sayangnya minim analisis sehingga program yang ditawarkan atau keberlanjutan dari proyek bernilai fantastis itu mangkrak di tengah jalan. Ya, kita sering terseok-seok bila berbicara keberlanjutan.
Banyak konsep dan ide pemberdayaan desa yang menguap di permukaan. Kendalanya macam-macam, semangat membangun yang tidak sama, prinsip nafsi-nafsi (sendiri-sendiri) atau pilihan menggiurkan lainnya yang jauh lebih menguntungkan ketimbang membangun kegotongroyongan bersama membangun desa.Â
Mungkin karena di level tertinggi pun, setingkat kementerian misalnya masih saja terdapat perbedaan data jumlah desa antar lembaga yang satu dengan lembaga lainnya.
Berangkat dari fakta-fakta bahwa sesungguhnya desa-desa di Indonesia itu bisa maju dan mandiri dari dengan pendekatan kegotong-royongan.Â
Dari sana terbersit ide bahwa pemerintah bisa mengembangkan desa-desa inkubator terlebih dahulu, sebagai percontohan untuk desa-desa lain di Indonesia yang baru memulai visi besar membangun ekonomi desa dan masyarakatnya.
Seorang kolega yang cukup konsen dengan penelitian pengembangan desa tematik mengungkapkan bahwa keberhasilan pengembangan desa wisata di Jogja atau di Klaten itu karena kita mewarisi nilai-nilai kegotong-royongan yang masih kental. Sehingga pendekatan Top Down sepenuhnya pun tidak menjadi kendala.
Namun perlu berhati-hati juga karena pendekatan Top Down tidak bisa diadoposi sepenuhnya diterapkan bila sumberdaya manusia di desa tersebut belum cukup mumpuni mengembangkan potensi desa.Â
Di tahap ini sangat dibutuhkan pendamping desa yang mampu mengarahkan stakeholder dan masyarakat desa dalam menyusun potensi dan masalah di desanya, kemudian dipetakan dan dibuat profiling/pengkategorisasian untuk setiap isu.
Lalu Desa Inkubator itu seperti apa?