Enam bulan yang lalu saya terlibat dalam satu project Master Plan Persampahan di salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak kegiatan ini dimulai hingga akhirnya selesai, saya merasa ada yang keliru dengan pola pikir sebagian besar masyarakat perkotaan saat ini, terutama ketika menyangkut sampah (saya pun termasuk dalam kasus ini).Â
Kekeliruan yang saya maksud ketika sebagian besar masyarakat kota menganggap sampah adalah urusan petugas sampah, selama mereka rutin membayar iuran maka urusan selesai, yang penting jangan sampai sampah menumpuk berhari-hari/tidak diangkut.
Kekeliruan sekaligus geli yang saya rasakan ketika seluruh responden dimintai tanggapan tentang pemilahan sampah, apakah bersedia melakukan pemilihan atau tidak, dan jawabannya ternyata sebagian besar menjawab tidak dengan alasan yang "masuk akal" bahwa mereka sibuk jadi tidak sempat untuk memilah sampah.Â
Saya hanya mencoba menguji diri saya sendiri, apakah sanggup untuk benar-benar mengurangi kebiasaan nyampah di rumah?
Cukup mencengangkan bila melihat target pemerintah pusat untuk masing-masing daerah tentang kegiatan pengurangan dan penanganan sampah dengan perbandingan 30% dan 70% (Perpres No.97 Tahun 2017). Mengapa mencengangkan? jadi begini, sejauh ini  daerah yang sudah cukup maju pengelolaan sampahnya (bank sampah dan TPS 3R aktif) ternyata baru mencapai 7% kegiatan pengurangan dan 15% kegiatan penanganan sampah.Â
Bisa dibayangkan kondisi kota-kota yang bahkan Bank Sampah dan TPS 3R saja tidak ada. Perlu diketahui bahwa masih banyak pengelolaan sampah kota yang sistemnya benar-benar hanya kegiatan pengangkutan dari rumah tangga sampai ke TPA (tempat pembuangan akhir).
Lalu seperti apa pemerintah daerah/kota mengejar target bombastis tersebut? sementara disatu sisi, jika memang harus ditargetkan sedemikian tinggi maka daerah harus siap-siap menganggarkan kegiatan penanganan sampah yang tidak sedikit, dengan fasilitas yang masih sederhana saja pemerintah harus menganggarkan anggaran penanganan sampah >20 Milyar.Â
Mengapa biaya penanganan persampahan sebegitu mahal? Apa perbedaan antara kegiatan pengurangan dan penanganan sampah?
Berikut ilustrasi tentang perbedaan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah:
Bagian menarik dari kegiatan penanganan ini adalah adanya perbedaan misi antara Bank Sampah dan TPS 3R. Selama ini kita sama-sama tahu, bagaimana pemberitaan tentang Bank Sampah begitu menjual bahkan kalah jauh dengan TPS 3R. Padahal pada dasarnya Bank Sampah sebenarnya tidak benar-benar menjadi kegiatan pengurangan sampah secara keseluruhan karena yang diputuskan rantainya hanya sampah anorganik.Â
Dalam praktiknya (di kota-kota besar) sampah anorganik ini memang menjadi salah satu bisnis menggiurkan, makanya sebenarnya Bank Sampah tidak lebih dari kegiatan bisnis persampahan.
Tapi apakah Bank Sampah benar-benar berkontribusi dalam pengurangan sampah maka saya optimis, berkontribusi tapi dengan dampak yang tidak terlalu besar. Sebaliknya, kegiatan penanganan sampah yang benar-benar fokus mengurai sampah hingga 10% menjadi residu di TPA adalah kegiatan di TPS 3R.
Dengan konsep penangan persampahan yang digaungkan pemerintah pusat selama ini maka sampah yang selama ini dikelola di TPS 3R bisa langsung di bawa ke TPST, dan dihabiskan dalam incenerator. Sedangkan untuk pengelolaan sampah organik tetap diselesaikan di TPS 3R. Â Harapannya adalah sampah-sampah perkotaan ini habis di TPST, atau minimal hanya 10% yang dibawa ke TPA (residu).
Mengapa pemerintah repot-repot membangun fasilitas-fasilitas pemutusan rantai persampahan dari hulu hingga ke hilir? jawabannya karena beban pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah melebihi ambang batas. Kita bisa bayangkan dengan sistem Sanitary Landfill yang optimal diterapkan selama ini ternyata malah semakin merusak kualitas air tanah.Â
Saya gambarkan seperti ini, konsep Sanitary Landfill ini fokus pada kegiatan pemadatan-penimbunan dengan jangka waktu sekali kegiatan pemadatan sampah setiap dua hari.
Bisa dibayangkan ketika beban timbulan sampah (tanpa proses penanganan di TPS3R) maka dalam sehari kegiatan pemadatan ini akan terkendala. Jika sampah-sampah ini terus ditumpuk, tidak lekas diolah dalam kolam lindi (karena sampah sebagian besar mengandung cairan) maka pencemaran langsung ke air bawah tanah ini terjadi lebih cepat dan akan merusak sumber mata air.Â
Beberapa tindakan protes warga yang tinggal di sekitar TPA umumnya mengeluhkan kondisi air (warna dan bau) yang tidak layak untuk dikonsumsi akibat pencemaran air tanah dari TPA dekat tempat tinggal mereka. Salah satu yang cukup memprihatinkan misalnya kondisi di TPA Kaliori (Kecamatan Banyumas, Jawa Tengah) di mana warga menunjukkan dampak pencemaran air tanah yang sudah berawarna merah dan berbau.Â
Pencemaran air tanah di sekitar TPA sudah menjadi ironi selama ini karena konsep TPA sejak awal memang sudah keliru. Salah karena sistem yang diciptakan adalah pembuangan sampah dari rumah tangga ke TPA, tanpa ada kegiatan pemilahan, pengurangan dan pembakaran (dengan incenerator) terlebih dahulu. Masyarakat kita juga sudah terbiasa dengan sikap "tidak mau tahu" soal sampah. Selama kita masih rutin membayar iuran maka urusan sampah kita selesai di rumah.
Kampanye-kampanye pengurangan plastik dengan membawa wadah belanja sendiri nyatanya belum benar-benar mengurangi produksi sampah plastik.
Contohnya ketika saya ke supermarket berbelanja, sekalipun saya sudah membawa wadah belanja tapi tetap saja barang-barang kecil-kecil diberi kresek dan begitu sampai ke rumah, wadah sampah yang saya gunakan untuk mengumpulkan sampah juga dari plastik. Tindakan yang abru bisa saya lakukan adalah pemilahan atau setidaknya mencoba membuang sampah organik saya (sayur-sayuran dan sisa makanan) ke wadah khusus (composter kecil). Sementara yang dibawa/diangkut hanya sampah anorganik (plastik, botol dan kaleng).Â
Pemerintah kita mungkin sudah belajar dari masalah terdahulu soal buruknya pengelolaan sampah yang ada selama ini, dan pelan-pelan dibenahi dalam kegiatan review master plan persampahan. Meski sesungguhnya masalah sampah ini adalah tanggung jawab orang per orang, tidak seharusnya jika hampir 95% masalah sampah per individu ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.Â
Mungkin juga tidak ada salahnya sebagai warga kota kita lebih kreatif mengelola sampah sendiri, entah dengan mengganti wadah plastik pembuangan sampah dengan benda lain yang lebih mudah terurai jika dibuang ke tanah (sampai saat ini saya masih mencari-cari material apa yang paling ramah lingkungan).
Memang butuh waktu, meski setidaknya pelan-pelan kesadaran ini mulai terbangun dan kita tinggal menunggu waktu untuk melihat bahwa permasalahan sampah kelak akan jadi pembelajaran penting bagi anak cucu kita.
Karena sejatinya tanah adalah tempat manusia kembali, maka sudah selayaknya ia dijaga, dan tidak dicemari karena raga kita pun tak ingin dicemari.
***
Tulisan ini adalah rangkaian seri polusi
1. Air yang Tak Memantulkan BayanganÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H