Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

(Polusi-2) Tentang Tanah-tanah yang Tercemar

20 Februari 2019   16:51 Diperbarui: 21 Februari 2019   12:56 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam praktiknya (di kota-kota besar) sampah anorganik ini memang menjadi salah satu bisnis menggiurkan, makanya sebenarnya Bank Sampah tidak lebih dari kegiatan bisnis persampahan.

Tapi apakah Bank Sampah benar-benar berkontribusi dalam pengurangan sampah maka saya optimis, berkontribusi tapi dengan dampak yang tidak terlalu besar. Sebaliknya, kegiatan penanganan sampah yang benar-benar fokus mengurai sampah hingga 10% menjadi residu di TPA adalah kegiatan di TPS 3R.

Dengan konsep penangan persampahan yang digaungkan pemerintah pusat selama ini maka sampah yang selama ini dikelola di TPS 3R bisa langsung di bawa ke TPST, dan dihabiskan dalam incenerator. Sedangkan untuk pengelolaan sampah organik tetap diselesaikan di TPS 3R.  Harapannya adalah sampah-sampah perkotaan ini habis di TPST, atau minimal hanya 10% yang dibawa ke TPA (residu).

Mengapa pemerintah repot-repot membangun fasilitas-fasilitas pemutusan rantai persampahan dari hulu hingga ke hilir? jawabannya karena beban pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah melebihi ambang batas. Kita bisa bayangkan dengan sistem Sanitary Landfill yang optimal diterapkan selama ini ternyata malah semakin merusak kualitas air tanah. 

Saya gambarkan seperti ini, konsep Sanitary Landfill ini fokus pada kegiatan pemadatan-penimbunan dengan jangka waktu sekali kegiatan pemadatan sampah setiap dua hari.

Bisa dibayangkan ketika beban timbulan sampah (tanpa proses penanganan di TPS3R) maka dalam sehari kegiatan pemadatan ini akan terkendala. Jika sampah-sampah ini terus ditumpuk, tidak lekas diolah dalam kolam lindi (karena sampah sebagian besar mengandung cairan) maka pencemaran langsung ke air bawah tanah ini terjadi lebih cepat dan akan merusak sumber mata air. 

Beberapa tindakan protes warga yang tinggal di sekitar TPA umumnya mengeluhkan kondisi air (warna dan bau) yang tidak layak untuk dikonsumsi akibat pencemaran air tanah dari TPA dekat tempat tinggal mereka. Salah satu yang cukup memprihatinkan misalnya kondisi di TPA Kaliori (Kecamatan Banyumas, Jawa Tengah) di mana warga menunjukkan dampak pencemaran air tanah yang sudah berawarna merah dan berbau. 

Pencemaran air tanah di sekitar TPA sudah menjadi ironi selama ini karena konsep TPA sejak awal memang sudah keliru. Salah karena sistem yang diciptakan adalah pembuangan sampah dari rumah tangga ke TPA, tanpa ada kegiatan pemilahan, pengurangan dan pembakaran (dengan incenerator) terlebih dahulu. Masyarakat kita juga sudah terbiasa dengan sikap "tidak mau tahu" soal sampah. Selama kita masih rutin membayar iuran maka urusan sampah kita selesai di rumah.

Kampanye-kampanye pengurangan plastik dengan membawa wadah belanja sendiri nyatanya belum benar-benar mengurangi produksi sampah plastik.

Contohnya ketika saya ke supermarket berbelanja, sekalipun saya sudah membawa wadah belanja tapi tetap saja barang-barang kecil-kecil diberi kresek dan begitu sampai ke rumah, wadah sampah yang saya gunakan untuk mengumpulkan sampah juga dari plastik. Tindakan yang abru bisa saya lakukan adalah pemilahan atau setidaknya mencoba membuang sampah organik saya (sayur-sayuran dan sisa makanan) ke wadah khusus (composter kecil). Sementara yang dibawa/diangkut hanya sampah anorganik (plastik, botol dan kaleng). 

Pemerintah kita mungkin sudah belajar dari masalah terdahulu soal buruknya pengelolaan sampah yang ada selama ini, dan pelan-pelan dibenahi dalam kegiatan review master plan persampahan. Meski sesungguhnya masalah sampah ini adalah tanggung jawab orang per orang, tidak seharusnya jika hampir 95% masalah sampah per individu ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun