Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Amma Toa, Kepemimpinan Kuno, dan Kearifan Universal Suku Kajang, Sulawesi Selatan

25 Januari 2018   07:12 Diperbarui: 25 Januari 2018   16:49 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi permukaan jalan di Dusun So'bu

Diam-diam saya bertanya ke Rahma, putri bungsu Amma Toa, soal apa yang sedang terjadi. Dengan suara yang cukup pelan Rahma menuturkan jika pria tidak berbaju itu meminta persetujuan untuk pelaksanaan upacara adat atas meninggalnya salah satu kerabat mereka. Namun karena alasan rumah kerabat yang meninggal tersebut melanggar aturan adat dengan memberi atap peneduh di atas tangganya, Amma Toa keberatan menghadiri upacara adat tersebut. Lelaki itu diberi pilihan untuk membongkar atap di atas tangga tersebut jika ingin diadakan upacara pemakaman adat.

Menurut Rahma setiap bentuk dan pola bangunan rumah (yang berbentuk rumah panggung) dalam Kawasan adat Kajang dalam harus seragam. Bahkan tiang penyangga rumah-rumah tidak boleh diberi alas penyangga beton sebagai penopang rumah. Tiang penyangga rumah panggung harus ditancapkan ke dalam tanah.

Makna dari tradisi ini karena tanah bagi Suku Kajang diibaratkan seperti Ibu. Setiap tiang rumah harus langsung ditancapkan langsung ke tanah agar pemilik rumah menyatu dengan Ibu, tanah leluhurnya. Selain itu tanah disimbolkan sebagai tempat peristirahatan akhir sehingga harus terjaga, tidak boleh dicemari oleh benda apapun di atasnya.

Bersama putri bungsu Amma Toa dalam busana serba hitam
Bersama putri bungsu Amma Toa dalam busana serba hitam
Penjelasan Rahma menguatkan keyakinan saya bahwa lelaki pembawa pesan ini akan membutuhkan waktu lama untuk memakamkan kerabatnya. Cukup rumit kelihatannya namun seperti itulah tradisi kuno yang mereka jalankan.

Saya pernah membaca literatur terkait penolakan masyarakat Suku Kajang pada pembangunan jalan beraspal dan pemasangan jaringan listrik di dusunnya. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka menolak kemajuan atau karena mereka terbelakang. Bagi masayarakat adat, ada nilai-nilai luhur yang harus dipertahankan dalam teritori adat beserta pantangan larangan yang menyertainya dan itu tidak bisa diganggu gugat atau diterabas begitu saja. Tujuannya tidak lain untuk menjaga sumber penghidupan dari alam agar masyarakat adat tidak jadi serakah dengan mengeruk sumberdaya untuk kepentingan pribadi semata.

ajran-pasang-to-ri-kajang-2-5a692076cbe5235d5904c6c2.jpg
ajran-pasang-to-ri-kajang-2-5a692076cbe5235d5904c6c2.jpg
Kawasan adat Suku Kajang terdiri dari batas-batas teritori berjenjang yang memiliki aturannya sendiri-sendiri. Teritori ini terdiri dari Kajang Luar yang berada di bagian paling depan, lalu Kajang Dalam atau Kawasan inti dan hutan adat. Pada Kajang luar masyarakat diberi kewenangan, kebebasan untuk memanfaatkan hutan dan tanahnya untuk penghidupan sehari-hari, namun begitu memasuki Kajang Dalam dan hutan adat, aktivitas budidaya dilarang sama sekali. Pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar di Kawasan Kajang Dalam dan hutan adat misalnya tidak boleh mengambil lebah, hingga ranting pohon.

Tanah leluhur ini begitu dijaga di malam hari. Hanya ada lampu minyak yang menerangi rumah-rumah warga. Sedangkan di rumah Amma Toa sendiri, penerangannya hanya menggunakan biji kemiri yang dibungkus dengan daun pisang kering lalu diikat dengan karet. Mereka menyebutnya Sulo-sulo. Sebuah keheningan yang sangat jarang kita temukan di era yang serba-berisik ini.

Kawasan Kajang Dalam menyisakan momen perenungan atas kehidupan yang serba cepat saat ini. Di sini saya bisa merasakan darah saya mengalir lebih deras dan detak jantung yang terasa lebih cepat dari biasanya. Entah karena saya lelah berjalan kaki atau saya benar-benar mengalami sensasi keheningan yang tidak biasa.

Di akhir perjalanan saya kembali belajar. Satu kasus kecil warga tadi membuka mata saya tentang hidup dan masih kokohnya benteng adat Kajang Dalam. Segenap warga menaruh kepercayaan tinggi pada pimpinan mereka. Dan Amma Toa, sebagai sosok penting yang bersuara demi kepentingan adat, memosisikan dirinya tidak cuma sebagai pemegang otoritas, tetapi juga penemu jalan keluar.

Pikiran saya masih terngiang-ngiang kata yang Amma Toa nasihatkan tidak cuma ke saya, tetapi semua orang yang saya saksikan hari itu.

Sungguh, saya memercayai bahwa dunia canggih penuh modernitas sekalipun mewarisi kebijaksanaan dan keutuhan kepemimpinan kuno yang ditunjukkan seorang Amma Toa. Bentuk kearifan universal yang tidak terbatas ruang dan juga kemanusiaan dasar yang mengalir dalam darah kita semua. Seperti misal, Amma Toa menghadiahi saya sebotol air yang dia serahkan dengan doa, lalu saya habiskan dalam sekejap menyapu dahaga saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun