Lelaki berbusana serba hitam dengan penutup kepala (passapu) memanggil nama saya. Saya berjalan sambil membungkuk melewati petinggi-petinggi adat (palak) yang ada di sekeliling lelaki itu. Lalu dia memperhatikan dengan seksama sembari Bapak menjelaskan latar belakang saya. Lelaki itu mengangguk dan mulai mengeluarkan doa atau mungkin serupa mantera doa-doa yang tidak satu kata pun saya pahami artinya.
Komat kamit itu akhirnya selesai juga, lalu memegang pundak saya dengan hati-hati, lelaki itu mengeluarkan suaranya yang cukup berat namun lantang. "Ikau Ratih, mulai sekarang kuangkat ko jadi anakku." Lalu diiringi petuah-petuah lanjutan yang kembali tidak saya pahami artinya. Di akhir doa-doa yang bersemayam, lelaki itu katanya menasehati saya agar bekerja dengan benar dan menjaga nama baik kedua orang tua di manapun saya berada. Sebuah pesan yang sangat membekas di hati saya.
Setelah doa itu selesai ditamatkan, saya lalu mundur perlahan dan kembali ke posisi semula lalu giliran adik saya yang berhadapan dengan pria berbaju serba hitam itu.
Lelaki berpakaian hitam itu nukan dukun
Sekali pun dia bermantera dengan bahasa yang sulit dipahami, dia bukanlah dukun pemulus segala urusan yang suka menebar iming-iming kekayaan. Dia adalah ketua adat Suku Kajang yang bergelar Amma Toa. Saya berkunjung ke Kawasan Adat Suku Kajang (Dusun So'bu dan Dusun Benteng, Kecamatan Kajan, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan) dalam rangka mengunjungi tanah leluhur orang tua saya. Sejak dahulu sudah begitu banyak cerita mistik tentang Suku Kajang, entah karena pakaian serba hitam yang mereka kenakan sehari-hari sering dihubung-hubungkan dengan ilmu tidak kasat mata.
Saya tidak peduli itu, karena nyatanya alasan di balik penggunaan busana berwarna hitam adalah sejatinya pertanda kesetaraan dan kesederhanaan. Sebagai prasyarat adat saya dan rombongan harus mengenakan busana hitam terlebih dahulu sebelum masuk di Kawasan Adat Kajang Dalam. Suara-suara telepon genggam ataupun aktivitas mengambil gambar tidak diperkenankan ketika memasuki Kawasan Adat Kajang Dalam. Semua harus mematuhi peraturan tersebut atau tidak masuk sama sekali.
Dengan diguyur hujan tipis-tipis saya mulai menapaki jalan berbatu memasuki Kajang Dalam tanpa menggunakan alas kaki. Saya kewalahan berjalan di atas jalan bebatuan dalam kondisi jalan yang licin seperti itu. Dalam hati sejujurnya saya menggerutu, menyesal masuk ke dalam Kajang Dalam, rasanya hanya ingin menunggu dan duduk diam di luar kawasan saja. Jarak yang harus saya tempuh dari gerbang utama hingga ke rumah ketua adat sekitar 2 Km jauhnya. Meskipun terbiasa dengan aktivitas jalan kaki, namun entah mengapa siang itu rasanya berat sekali dan terasa melelahkan.
Amma Toa kemudian mempersilakan kami menyampaikan maksud kedatangan, lalu bapak saya menjelaskan dalam bahasa lokal yang kembali lagi tidak saya pahami. Amma Toa terlihat manggut-manggut dan mengamati kami satu persatu. Sepengetahuan saya lelaki ini sangat sulit ditemui, jadi jika bisa bertemu dengannya maka itu dianggap suatu keberuntungan. Ya saya berharap kami cukup beruntung setelah melalui perjalanan sejauh 2 Km tanpa alas kaki di atas jalan berbatu.
Amma Toa bukanlah orang biasa, dia adalah pimpinan tertinggi Suku Kajang yang proses pengangkatannya melalui syarat-syarat adat hingga bertahun-tahun setelah pimpinan sebelumnya meninggal dunia. Seorang Amma Toa harus menguasai ajaran Pasang to Ri Kajang, sebuah ajaran kuno yang berisi tata acara hidup bermasyarakat beserta hukum-hukum adat yang melekat di dalamnya. Ajaran Pasang itu tidak tertulis atau dibukukan melainkan diwariskan secara turun menurun ibarat sabda yang harus diingat lekat-lekat dalam kepala oleh calon-calon penerusnya. Wakil Amma Toa yang bergelar Gallak jumlahnya sebanyak 26 adalah pejabat struktur adat yang bertugas membantu Amma Toa menjalankan kepemimpinan di Kajang Dalam. Kepemimpinan Amma Toa sendiri adalah jabatan seumur hidup.
Kepemimpinan kuno
Di tengah-tengah pembicaraan kami bersama Amma Toa, tiba-tiba datanglah dua pria yang hanya mengenakan sarung dan menutupi setengah badannya yang tidak berbaju. Katanya busana itu dikenakan sebagai tanda berduka bila salah satu anggota keluarga meninggal dunia. Pria itu menyampaikan sesuatu dan seperti terlibat pembicaraan sangat serius, beberapa wakil Amma Toa juga diminta memberi semacam pendapat terhadap aduan si pria tak berbaju.
Diam-diam saya bertanya ke Rahma, putri bungsu Amma Toa, soal apa yang sedang terjadi. Dengan suara yang cukup pelan Rahma menuturkan jika pria tidak berbaju itu meminta persetujuan untuk pelaksanaan upacara adat atas meninggalnya salah satu kerabat mereka. Namun karena alasan rumah kerabat yang meninggal tersebut melanggar aturan adat dengan memberi atap peneduh di atas tangganya, Amma Toa keberatan menghadiri upacara adat tersebut. Lelaki itu diberi pilihan untuk membongkar atap di atas tangga tersebut jika ingin diadakan upacara pemakaman adat.
Menurut Rahma setiap bentuk dan pola bangunan rumah (yang berbentuk rumah panggung) dalam Kawasan adat Kajang dalam harus seragam. Bahkan tiang penyangga rumah-rumah tidak boleh diberi alas penyangga beton sebagai penopang rumah. Tiang penyangga rumah panggung harus ditancapkan ke dalam tanah.
Makna dari tradisi ini karena tanah bagi Suku Kajang diibaratkan seperti Ibu. Setiap tiang rumah harus langsung ditancapkan langsung ke tanah agar pemilik rumah menyatu dengan Ibu, tanah leluhurnya. Selain itu tanah disimbolkan sebagai tempat peristirahatan akhir sehingga harus terjaga, tidak boleh dicemari oleh benda apapun di atasnya.
Saya pernah membaca literatur terkait penolakan masyarakat Suku Kajang pada pembangunan jalan beraspal dan pemasangan jaringan listrik di dusunnya. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka menolak kemajuan atau karena mereka terbelakang. Bagi masayarakat adat, ada nilai-nilai luhur yang harus dipertahankan dalam teritori adat beserta pantangan larangan yang menyertainya dan itu tidak bisa diganggu gugat atau diterabas begitu saja. Tujuannya tidak lain untuk menjaga sumber penghidupan dari alam agar masyarakat adat tidak jadi serakah dengan mengeruk sumberdaya untuk kepentingan pribadi semata.
Tanah leluhur ini begitu dijaga di malam hari. Hanya ada lampu minyak yang menerangi rumah-rumah warga. Sedangkan di rumah Amma Toa sendiri, penerangannya hanya menggunakan biji kemiri yang dibungkus dengan daun pisang kering lalu diikat dengan karet. Mereka menyebutnya Sulo-sulo. Sebuah keheningan yang sangat jarang kita temukan di era yang serba-berisik ini.
Kawasan Kajang Dalam menyisakan momen perenungan atas kehidupan yang serba cepat saat ini. Di sini saya bisa merasakan darah saya mengalir lebih deras dan detak jantung yang terasa lebih cepat dari biasanya. Entah karena saya lelah berjalan kaki atau saya benar-benar mengalami sensasi keheningan yang tidak biasa.
Di akhir perjalanan saya kembali belajar. Satu kasus kecil warga tadi membuka mata saya tentang hidup dan masih kokohnya benteng adat Kajang Dalam. Segenap warga menaruh kepercayaan tinggi pada pimpinan mereka. Dan Amma Toa, sebagai sosok penting yang bersuara demi kepentingan adat, memosisikan dirinya tidak cuma sebagai pemegang otoritas, tetapi juga penemu jalan keluar.
Pikiran saya masih terngiang-ngiang kata yang Amma Toa nasihatkan tidak cuma ke saya, tetapi semua orang yang saya saksikan hari itu.
Sungguh, saya memercayai bahwa dunia canggih penuh modernitas sekalipun mewarisi kebijaksanaan dan keutuhan kepemimpinan kuno yang ditunjukkan seorang Amma Toa. Bentuk kearifan universal yang tidak terbatas ruang dan juga kemanusiaan dasar yang mengalir dalam darah kita semua. Seperti misal, Amma Toa menghadiahi saya sebotol air yang dia serahkan dengan doa, lalu saya habiskan dalam sekejap menyapu dahaga saya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H