Akan tetapi, melihat usaha yang sementara ini dijalankan Pak Sarjio dengan mengembangkan pembenihan lele, saya percaya pelan-pelan dan bertahap warga sekitar bisa mengikuti jejaknya. Berdaya secara ekonomi dan tetap menjaga lingkungan itu yang diharapkan Pak Sarjio tanpa lekas-lekas menyalahkan aksi pembakaran lahan oleh teman-temannya. Karena sampai saat ini memang tidak ada terobosan baru dalam hal meningkatkan kesejahteraan orang Teweh selain berkebun karet dan sawit dengan cara membakar lahan.
Diam-diam saya mengagumi orang ini, ternyata tinggal di desa dan jauh dari ibukota kabupaten tidak pernah menyurutkan ide dan kreativitasnya untuk terus berdaya di daerah transmigrasi.
“Kita ini perantauan, kalau tidak berusaha cari makan sendiri, tidak kerja, maka kita bisa mati kelaparan, itu rumusnya nggih.” Kembali dia terkekeh-kekeh sambil sesekali bergurau dengan teman-temannya dengan Bahasa Kalimantan yang sudah terdengar fasih di telinga saya.
Dari perjalanan ini saya belajar satu hal, apa yang saya pelajari dan ketahui ternyata tidak sebanyak realita yang ada di lapangan. Tanah Kalimantan menyimpan masih banyak masalah, tetapi tak pernah kehilangan orang-orang yang ingin memperbaiki dari hal-hal sederhana.
Pak Sarjio juga membuka pandangan lain pada saya, bahwa masalah di sana bukan hanya isu lingkungan. Ada banyak masalah yang cukup kompleks di sana, tanah yang kaya mineral, subur dengan hutan lebatnya tapi ternyata belum memberi banyak perubahan berarti dalam kehidupan mereka. Jauh di dalam batas kritis antara lahan-lahan hutan, tanaman produksi dan ceruk-ceruk pertambangan yang menggurita, ada upaya-upaya tanpa suara yang meneruskan perjuangan pulau ini sejati dirinya, seumpama paru-paru kepulauan yang tersohor dan berjaya.
***
*) Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H