Alasannya sederhana: karena faktor usia dan tenaga, juga karena usaha pembenihan lele dianggapnya lebih banyak manfaatnya.
Sarjio mengungkapkan jika hampir setiap minggu dia bisa menjual ratusan benih lele yang dihargai Rp.300,-/lele. Beda lagi dengan pembesaran, kalau pembesaran lele, baru bisa dipanen setelah tiga bulan. Dari hitung-hitungan biaya pemeliharaan, dan pakan, Sarjio akhirnya fokus pada usaha pembenihan lele.
Bantuan pemerintah dalam hal ini Dinas Perikanan atas usaha-usaha pengembangbiakan benih lele dinilai sudah cukup membantu. Dinas Perikanan tetap memerhatikan keberlangsungan usaha kelompok pembenihan lele. Menurut Sarjio, biasanya orang dinas yang memasarkan kembali benih lele untuk memudahkan distribusi benih lele. Selebihnya dijual ke pasar dan menyediakan pesanan rumah makan.
Sejauh ini hambatan yang paling besar dirasakan adalah keseriusan anggota kelompok pembenihan. Sarjio menuturkan, tidak jarang ada anggota yang tidak sabar, ingin segera meraup untung sebanyak-banyaknya. Jika terlalu lama menunggu hasil dari pembenihan lele, perhatian anggota pembenihan bisa beralih ke profesi lain. Apalagi sumber pendapatan ekonomi di sana sangat bergantung pada kelapa sawit dan karet.
Karena alasan itu pula, Sarjio berusaha memanfaatkan lahan kurang dari setengah hektar untuk menanam sayur-sayuran, cabe dan juga padi. Pak Sarjio berusaha mencari penghasilan dengan cara kreatif berdasarkan pembagian waktu. Ada penghasilan mingguan yang berasal dari penjualan benih lele, penghasilan bulanan dari sayur-sayuran dan penghasilan tahunan dari tanaman karet. Semua ini dilakukan Pak Sarjio sebagai upaya membangun kemandirian.
Sarjio sangat bersemangat menceritakan harapan-harapannya di masa depan terkait usaha pembenihan lele Sangkuriang. Dia berharap pengembangan lele berikutnya tidak lagi fokus pada pembenihan saja, melainkan sudah sampai pada tahap pengolahan ikan lele. Ragam kuliner dapat dihasilkan dari lele seperti kripik dan kuliner khas seperti lele asam manis.
“Kalau tidak dibakar, tidak bisa meladang”
Tidak seperti tetangga dekat tempat tinggalnya yang katanya memilih menanam sawit, Pak Sarjio lebih memilih karet. Menurutnya untuk membuka lahan sawit, atau membersihkan lahan sawit cara paling umum bahkan sudah jadi tradisi masyarakat setempat adalah dengan cara dibakar. Hanya cara itu yang bisa dilakukan karena tidak memakan banyak biaya, sekalipun dampak lingkungan yang ditimbulkan juga cukup besar.
Karena alasan itu pula, Pak Sarjio memilih menanam karet. Selain karena harus membakar lahan lebih dulu, menanam sawit kurang baik untuk ketersediaan air tanah. Sarjio menjelaskan jika menanam sawit membutuhkan air lebih banyak, dengan begitu dia khawatir sumber mata air sekitarnya akan kering. Sungguh sebuah pemikiran yang sangat baik jika disebarkan ke seluruh warga sekitar.
“Sebelum menanam sawit, memang harus ada pembakaran lahan dulu mbak, setelah itu ditanami padi, baru ditanami sawit.” Pak Sarjio menjelaskan jika dirinya juga tidak pernah menghakimi pilihan teman-temannya yang ikut menanam sawit dan membakar lahan, karena alasan mereka sama-sama cari makan.