[caption id="attachment_407952" align="aligncenter" width="600" caption="salah satu fasilitas layanan wi-fi berbentuk shelter, berada di depan gedung Perpustakaan Kota Yogyakarta (Sumber:Ratih Purnamasari)"][/caption]
Jika menghabiskan waktu di perpustakaan selalu identik dengan kebiasaan pelajar atau mahasiswa saja maka kali ini saya akan memberikan gambaran yang berbeda tentang Perpustakaan Kota Jogja yang terletak di Jalan Jend.Sudirman. Setiap hari saya selalu menghabiskan waktu di perpustakaan tersebut, bahkan di hari libur seperti Minggu misalnya, saya lebih suka bersantai di tempat ini. Perpustakaan Kota Yogyakarta memang tetap melayani kunjungan tamu setiap hari, kecuali hari Senin layanan akan buka pukul 15.30 sore.
Layanan yang diberikan Perpustakaan Yogyakarta tidak terbatas pada kelengkapan literatur dan koran-koran saja, ada banyak fasilitas yang disediakan disana. Fasilitas menarik bagi penggila informasi di mesin “pencari” seperti saya tentu senang dengan wi-fi gratis yang ditawarkan. Sadar akan peluang menarik minat warga ke perpustakaan melalui wi-fi gratis, maka pengelola Perpustakaan Yogyakarta menambah fasilitas lain seperti gazebo dan shelter wi-fi. Pengelola juga menyediakan fasilitas tambahan untuk listrik gratis dan fasilitas pengisi daya baterai laptop.
Seringkali saya perhatikan, perpustakaan ini dikunjungi macam-macam profesi dan usia. Dari beragam usia dan profesi ini, suatu kali saya sempat dibuat geli melihat sekumpulan anak SD yang mengunjungi perpustakaan kala itu. Mereka terlihat serius membicarakan sesuatu sebelum memasuki perpustakaan, hingga salah satu dari mereka memutuskan untuk masuk ke dalam gedung. Tidak lama berselang, rombongan anak SD ini keluar sambil membawa beberapa buku, seperti ensiklopedi, terdengar dari percakapannya mereka sedang ada tugas dari sekolah jadi disarankan mencari literatur di perpustakaan Yogyakarta.
Lansekap dan desain perpustakaan Kota Yogyakarta memang terlihat sangat homey dan nyaman digunakan selama berjam-jam. Kenyamanan ini membuat saya betah berlama-lama, saya biasa datang pukul 9.30 pagi, pulang kadang sore atau menjelang maghrib. Selain memanfaatkan wi-fi gratis saya juga suka dengan beberapa koleksi buku fiksinya. Jadi selain menikmati wi-fi gratis yang diganti secara berkala setiap tiga jam, saya juga bisa cukup puas hanya dengan baca buku saja.
Layanan Perpustakaan Jogja dimulai dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 00.00 malam. Tapi pukul 20.00-00.00 malam pengelola perpustakaan hanya melayani layanan untuk wi-fi saja dan menghentikan layanan peminjaman buku. Aturan ini juga tidak jadi masalah, jika merasa suntuk di kos-an maka saya mengisi waktu di perpustakaan kota.
Saat ini di Kota Yogyakarta ada empat perpustakaan yang cukup lengkap, baik yang disediakan pemerintah maupun pihak kampus seperti perpustakaan pusat Universitas Gadjah Mada. Perpustakaan pusat UGM juga melayani kunjungan berbagai mahasiswa dari kampus berbeda asalkan menunjukkan kartu identitas dan kartu perpustakaan bersama.
Banyak kemudahan yang ditawarkan perpustakaan pusat UGM, ada koleksi literatur untuk budaya Amerika dan Eropa, jurnal ilmiah, kumpulan tesis dan buku-buku akademik tersedia dalam jumlah cukup banyak. Layanan perpustakaan pusat UGM dimulai dari pukul 08.00-20.00, dan selama Anda berada di perpustakaan ini, pengelola perpustakaan berupaya melakukan pelayanan terbaik bagi pengunjung.
Pernah charger laptop saya ketinggalan di salah satu gazebo, dan baru menyadarinya di malam hari, 30 menit sebelum perpustakaan tutup pukul 20.00. Awalnya saya sempat putus asa, berfikiran kalau charger laptop saya sudah hilang, ternyata saat dilaporkan di pengelola perpustakaan charger itu masih ada. Barang-barang lain seperti dompet, kartu mahasiswa, kunci motor sering ketinggalan di perpus ini, sampai pengelola perpustakaan menyediakan lemari khusus yang menyimpan barang-barang mahasiswa yang ketinggalan.
Warga kota dapat apa?
Baik langsung dan tidak langsung kehadiran perpustakaan kota dan perpustakaan kampus yang terbuka untuk umum sangat menunjang kebutuhan informasi terkini warga kota. Selain sebagai sumber pengetahuan, dampak nyata kehadiran perpustakaan di era digital dan informasi seperti ini, lambat laun disadari sebagai bentuk pelayanan publik. Pelayanan publik di Jogja kini tidak hanya mengurusi urusan administrasi penduduk saja seperti pembuatan KTP, pembayaran pajak dan pembuatan sim kendaraan misalnya.
Selain itu keberadaan perpustakaan sebenarnya dapat dijadikan tolak ukur untuk mengukur indeks pembangunan manusia. Data kunjungan warga kota ke perpustakaan dapat menjadi indikator mengukur capaian target pembangunan manusia dalam satu kota. Saya juga optimis dengan memberikan “hadiah” kecil bagi warga kota seperti wi-fi gratis, baca koran gratis, menggunakan ruang diskusi/presentasi gratis dan prosedur penyewaan buku yang tidak berbelit akan meningkatkan minat warga semakin sering berkunjung ke perpustakaan.
Selama ini saya bisa memahami mengapa perpustakaan daerah di tempat lain terlihat sepi-sepi saja bahkan banyak buku-bukunya yang dipenuhi debu. Saya punya pengalaman ketika berkunjung ke salah satu perpustakaan daerah di kota Makassar tahun 2012 silam. Saya terkejut melihat kondisi buku-buku yang berada di lantai 2 dipenuhi debu seperti jarang disentuh, dan tidak terawat. Penyusunan katalog buku-buku di perpus ini juga tidak jelas, saya sampai kebingungan mencari buku yang saya butuhkan saat itu. Kebuntuan pencarian buku kala itu semakin diperparah karena pengelola yang bertugas di bagian peminjama buku malah tertidur di jam kerja.
Dilihat dari luar, bangunan perpustakaan di kota kelahiran saya sangat megah, dan besar juga terdiri dari dua lantai, sayangnya jarang dikunjungi masyarakat. Sejak saat itu saya menyadari jika bentuk fisik bangunan yang megah tidak selalu menjadi daya tarik utama orang untuk ke perpustakaan. Pengunjung membutuhkan kenyamanan dan desain perpustakaan yang lebih muda, tidak kaku dan tua. Sebagian gedung perpustakaan kita masih didesain seperti gedung pemerintahan yang kaku dan berjarak, dan belum tentu ada wi-fi gratis juga.
Sebelum ramai dikunjungi seperti sekarang Perpustakaan Kota Yogyakarta juga sepi pengunjung. Menyadari kekurangan tersebut, pengelola perpustakaan dan pemerintah Kota Yogyakarta segera membenahi lansekap dan desain perpustakaan, kemudian memberi fasilitas tambahan seperti layanan wi-fi sehingga tingkat kunjungan warga meningkat setiap hari, terlihat dari ditambahkannya shelter baru di sebelah timur gedung perpustakaan. Pengunjung perpustakaan ini tidak sekadar memanfatkan fasilitas wi-fi saja, karena sesekali saya temukan beberapa anak SMA memanfaatkan perpus untuk kegiatan les privat, atau mahasiswa untuk kerja kelompok.
Dalam perkembangannya, Perpustakaan Kota Yogyakarta memang masih memiliki beberapa kekurangan dalam bentuk fisik. Kekurangan fisik seperti jumlah tempat duduk di gazebo atau shelter yang jumlahnya terbatas, apalagi di jam-jam puncak 09.00-14.00 biasanya tidak ada kursi yang tersisa. Akan tetapi bagi saya ini juga bukan masalah besar, kekurangan ini justru menunjukkan adanya peningkatan pelayanan yang semakin baik sehingga kunjungan ke perpustakaan terus bertambah.
Tahun mendatang saya membayangkan jika keterbatasan lahan untuk menambah fasilitas gazebo dapat disiasati dengan cara-cara unik. Desain unik ini seperti memanfaatkan ruang di atas shelter yang ada sekarang, jadi semacam shelter bertingkat, di atasnya masih bisa dimanfaatkan untuk tambahan ruang fasilitas wi-fi.
Desain unik, kreatif dan muda biasanya lebih menarik perhatian, terutama jika digunakan di bangunan publik seperti perpustakaan. Pelayanan Perpustakaan Yogyakarta memberikan contoh baru tentang model pelayanan publik yang lebih menyatu dengan warga kota, melebur dan dapat diterima semua kalangan. Tidak ada salahnya sesekali pemerintah kita melakukan pendekatan yang unik dalam menarik minat warganya berkunjung ke perpsutakaan, seperti penyediaan fasilitas serba gratis tersebut.
Pendekatan unik yang dilakukan oleh pemerintah kota agar warga memanfaatkan dengan baik ruang publiknya sudah dibuktikan oleh Walikota Bandung dengan Taman Jomblo dan Walikota Surabaya dengan Taman Bungkulnya. Keluar dari pakem dan konsep di pemerintahan yang serba kaku dalam merencanakan desain ruang publik nampaknya lebih mudah diterima msayarakat karena pemerintah tahu apa yang disukai warganya. Dan Jogja perlahan mencapai target kebahagiaan warga kotanya dengan slogan yang paling dekat yakni "Kota Pelajar" melalui inovasi pelayanan di perpustakaannya.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI