Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerita Pagi: Telur Ceplok Badrun

13 Januari 2014   09:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13895807431019214058

Rumah khas betawi milik keluarga bapak Ramli Nasir nampak lengang, hanya suara-suara riuh induk ayam yang sesekali mengeluarkan suara berisik. Setiap pukul 08.00 pagi Pak Ramli berangkat ke sawah, menggarap sawah tiga petak miliknya.

Ibu Rukinah berangkat ke pasar ketika suami dan anaknya Badrun meninggalkan rumah. Anaknya Badrun, anak satu-satunya berangkat ke sekolah pukul 06.15, jarak sekolah dan rumah Pak Ramli bisa ditempuh sekitar 10 menit dengan berjalan kaki.

Pagi itu Badrun kembali berulah. “Mak, Badrun minta telor ceploknya lima ya, nasinya dibanyakin mak”. Badrun masih mengunyah pisang goreng dimulutnya sambil menonton tv. Ibu Rukinah masih bingung dengan permintaan Badrun, sudah seminggu ini Badrun meminta lima telur ceplok setiap pagi.

“Banyak amat telurnya Run, emang mau dihabisin semua?”.

“Iya mak, buatin aja telornya, ini Badrun udah mau berangkat, nanti telat”.

“Ni anak ngomongnya enteng benar ya, emang lu pikir minyak goreng murah?” Mak Rukinan mengomel dalam hati.

“Ya sudah, ini sarapannya, lima telor ceplok nasi dua kobokan, belajar yang bener Run”.

“Makasih mak”, Badrun belajarnya rajin kok, hehehe”.

Mak Rukinah tersenyum melihat tingkah anak satu-satunya itu, sekalipun kadang membuat Mak Rukinah dongkol, pada dasarnya Badrun anak yang penurut sama orang tuanya.

“Pak, si Badrun minta lima telor ceplok terus tiap ke sekolah, padahal persediaan telur buat sarapannya Badrun kan bisa buat dua minggu, lha ini cuma dua hari, telor ceploknya Badrun udah ludes”.

“Mungkin lagi banyak makannya si Badrun, udah ga usah dipikirin, ntar ayamnya si Badrun kan bakal bertelur tuh, Nyak ga bakal kekurangan stok telur”. Pak Ramli senyum-senyum melihat Mak Rukinah dengan muka dongkol.

“Tapi pak, Badrun itu kagak biasanya minta sarapan aneh kayak gitu, kalau emang dimakan semuanya sama Badrun, kenapa setiap pulang sekolah makannya Badrun tetap banyak?”.

“Hmm, entar bapak nanyain Badrun Nyak, ya udah bapak berangkat dulu ya”.

“Iya Pak, hati-hati”.

Bu Rukinah belum bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Kalau sampai besok Badrun masih minta lima telor ceplok lagi, bu Rukinah janji tidak akan memberi telur ceplok sampai Badrun mau jujur soal lima telur ceploknya setiap pagi.

Keesokan harinya…

Sebelum berangkat ke sekolah sesuatu terjadi di kediaman Pak Ramli Nasir.

“Mak, Badrun ada hadiah buat emak, ini di lihat dulu mak”.

Badrun bersemangat sekali pagi itu. Bu Rukinah memandangi rajutan yang dipegang Badrun, motifnya sangat indah.

“Kain rajutnya dapat dimana Run? bagus sekali motifnya”.

Ibu Rukinah teringat sesuatu, dulu sebelum menikah dirinya selalu mendapat pesanan membuat rajutan dari pelanggan yang senang dengan rajutan. Setelah menikah Ibu Rukinah tidak sempat lagi mengerjakan rajutan, dia bahkan tidak lagi memikirkan soal rajutan tangannya yang dulu begitu digemari pelanggan.

“Cara kerjanya rapi sekali dan kombinasi warnanya sangat menarik, gumam bu Rukinah. “Badrun dapat dari siapa rajutannya nak?”.

Dengan wajah polosnya Badrun menuturkan kalau kain rajutan itu dari temannya.  Badrun kemudian menceritakan alasannya selalu membawa lima telor ceplok setiap pagi ke sekolah. Badrun punya teman sebangku namanya Alif, dia tinggal cukup jauh dari sekolah. Alif harus naik sampan untuk menyeberang ke kampung Jaban Timur, setiap pagi.

“Badrun lihat, si Alif ga pernah bawa sarapan ke sekolah mak”, Alif tidak sempat menunggu ibunya buatin sarapan soalnya dia punya adik yang masih kecil, tiap pagi harus diurusi sama ibunya”.

“Kalau tetap nunggu dibuatin sarapan, Alif takut ga kebagian naik sampan”.

“Alif bisa terlambat ke sekolah mak kalau terlambat naik sampan”.

“Jadi Badrun ngasih telornya buat Alif juga? Bu Rukinah masih penasaran dengan cerita Badrun anaknya.

“Iya mak, maafin Badrun. Badrun takut ngasih tau emak, takut dimarahin emak sama bapak”. Badrun tertunduk lesu tidak berani melihat wajah ibunya.

“Ya ampun Run, emak ga mungkin marahin Badrun kalau emak ga tau salahnya Badrun apa”.

“Badrun sarapan sama Alif sebelum jam pelajaran dimulai mak, habis 2 telur ceplok. Jam istirahat kami makan lagi, sisanya masih ada 1 telur ceplok.”.

“Berarti masih ada 1 telur lagi Run”. Ibu Rukinah makin penasaran dengan cerita Badrun dan temannya Alif.

“Satunya dibawa Alif pulang ke rumah mak, dibagi juga sama ibunya”.

“Kata Alif bapaknya pulang mulung kadang ga menentu jadwalnya, jadi sambil nunggu bapaknya pulang, ibunya makan telur ceploknya Badrun”.

“Kain rajutan itu dikasih sama mamanya Alif, katanya dulu pernah jadi tukang cuci di rumah orang kaya, trus pas mau lebaran, majikannya bagi-bagi baju bekas, Ibunya Alif dapat banyak baju bekas, salah satunya rajutan ini mak”.

Rajutan ini katanya yang paling disukai mamanya Alif, dia juga terima kasih sama emak soal telur ceplok itu”. “Kain rajut ini dikasih ke emak dari mamanya alif”.

Ibu Rukinah terdiam, sedikit hampir menitikkan air mata, ada perasaan haru yang menyelimuti pikirannya pagi itu. Telur ceplok Badrun membawanya pada satu jalinan kekeluargaan yang tidak nampak, namun terasa begitu dekat. Anaknya Badrun di usianya yang masih kanak-kanak, menemukan jalinan persahabatan yang tak ternilai harganya.

Seperti rajutan yang diterima Bu Rukinah, dia semakin meyakini bahwa hidup ini mirip rajutan. Benang-benang kehidupan dirajut dengan baik, menghasilkan kombinasi warna yang sangat indah, mesti dijaga agar tak menjadi rajutan kusut yang tidak bermakna.

“Run, ini sarapannya, lima telor ceplok seperti biasa, sampaikan salam emak sama Alif ya, sering-sering ajak Alif main ke rumah ya”. Badrun berbinar-binar menatap emaknya, “ terima kasih mak”.

Pagi itu terasa sangat berbeda, sangat tenang, semunya merasakan kebahagiaan, begitu pun keluarga Alif, senyum tak pernah lepas dari wajahnya sepanjang perjalanan menuju sekolah, sebentar lagi dia bertemu Badrun, menyantap telur ceplok kesukaannya.

*** Ilustrasi: aries20031973.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun